Rani baru saja kehilangan kakaknya, Ratih, yang meninggal karena kecelakaan tepat di depan matanya sendiri. Karena trauma, Rani sampai mengalami amnesia atas kejadian itu. Beberapa bulan pasca tragedi tersebut, Juna, mantan kakak iparnya melamar Rani dengan alasan untuk menjaga Ruby, putri dari Juna dan Ratih. Tapi, pernikahan itu rupanya menjadi awal penderitaan bagi Rani. Karena di malam pertama pernikahan mereka, Juna menodongkan pistol ke dahi Rani dan menatapnya dengan benci sambil berkata "Aku akan memastikan kamu masuk penjara, Pembunuh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. (REVISI) Kabur Dari Bodyguard
Rani melangkah keluar dari ruangan dr. Pratiwi dengan wajah muram. Hari ini adalah jadwal terapinya yang kedua, tapi Rani merasa tidak ada kemajuan yang ia rasakan pada ingatannya. Memori yang baru Rani ingat hanya separuh, itupun tidak runtut. Padahal saat ini dirinya sedang dikejar waktu, karena menurut Rani, hanya ingatannya yang akan menjadi satu-satunya bukti kalau ia tak bersalah.
"Mungkin, Anda bisa mencoba untuk datang ke tempat kejadian secara langsung, siapa tahu memori yang hilang itu bisa kembali," Ucapan dr. Pratiwi kembali terbayang di ingatan Rani.
Rani melayangkan pandangannya ke arah dua bodyguard yang berada di dalam mobil. Sebenarnya, Rani juga setuju dengan ucapan dr. Pratiwi. Tapi, apa Juna akan mengizinkannya? Dua bodyguard yang bertugas mengawasinya sepanjang waktu itu pasti akan melaporkan seluruh pergerakannya pada Juna, dan jika Rani ketahuan pergi ke tempat terjadinya kecelakaan, laki-laki itu pasti akan semakin curiga.
Sedang bingung-bingungnya memikirkan solusi, ponsel Rani tiba-tiba berdering nyaring. Rani mengambil benda pipih itu di dalam saku. Sebenarnya ia malas untuk mengangkatnya. Pasalnya, tidak banyak orang yang menghubunginya akhir-akhir ini. Kalau bukan Mama atau ibu mertuanya, sudah pasti Juna, suaminya sendiri.
"Halo?"
Suara berat seorang pria membuat Rani mengernyitkan dahi. Ia memang mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa yang menelepon.
"Bian?" Rani terkejut. Ia tak menyangka laki-laki itu akan meneleponnya.
"Benar Rani kan? Maaf Rani, semalam aku tidak membuka ponsel sama sekali. Aku baru membaca pesan mu sekarang, dan langsung menelpon. Ah, maaf, apa aku mengganggu?"
"Tidak, tidak sama sekali," Rani reflek menggeleng meski Bian tak bisa melihatnya dari seberang sana. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benak Rani.
"Bian, apa sekarang kamu sibuk?" Rani bertanya ragu-ragu.
"Tidak kok, kenapa? Kamu mau mentraktir ku sekarang?" Seloroh Bian membahas janji Rani.
"Iya," Jawab Rani cepat. "Tapi sebelum itu, aku mau minta bantuan mu,"
"Bantuan?" Suara Bian terdengar heran. "Bantuan apa?"
Rani melihat sejenak ke arah para bodyguardnya, kemudian berjalan untuk bersembunyi di samping gedung. "Aku ingin pergi ke suatu tempat, karena itu aku harus kabur dari pengawalan bodyguard ku," ujar Rani sambil berbisik. "Jika kamu berhasil membawaku pergi, aku akan mentraktir mu sesuai janjiku,"
"Bodyguard?" Suara Bian terdengar terkejut. "Kenapa kamu harus dikawal bodyguard? Apa kamu sedang dalam bahaya?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, waktuku tidak banyak," Rani melirik ke arah mobilnya dan melihat dua pria kekar itu sudah mulai keluar dari sana. "Kalau kamu bersedia, jemput aku di samping supermarket yang ada di jalan xx. Aku akan menemui mu di sana,"
"Tunggu, Rani—"
KLIK!
Rani buru-buru mengakhiri panggilan telepon mereka saat melihat dua bodyguardnya sudah berjalan mendekat. Berusaha untuk tidak gugup, Rani berjalan menghampiri mereka dengan penuh percaya diri.
"Antarkan aku ke supermarket dulu," ujar Rani dengan nada memerintah. "Aku mau beli susu untuk putriku,"
"Baik Nyonya, mari kita pergi sekarang," kedua bodyguard itu mempersilahkan Rani berjalan lebih dulu. Rani lantas melangkah mendahului mereka, meski sesungguhnya di dalam hati dia gugup luar biasa.
Selama perjalanan menuju supermarket, Rani menggenggam kedua tangannya erat-erat. Otaknya sibuk merangkai rencana. Di sisi lain ia khawatir, apakah Bian mempercayainya? Bagaimana jika lelaki itu tidak menjemputnya sesuai rencana?
"Di sini saja," Rani meminta bodyguardnya menghentikan mobil di depan supermarket. "Aku akan masuk sendiri,"
"Tapi, Nyonya—"
"Tolonglah," Rani menunjukkan raut wajah memelas. "Tidak bisakah kalian memberikan aku kebebasan sebentar saja?"
Melihat Rani memohon sedemikian rupa, kedua pria kekar itu saling berpandangan. Sebenarnya mereka merasa tidak tega melihat Rani.
"Please.. Apa kalian tidak kasihan padaku?"
Mata Rani yang berkaca-kaca akhirnya membuat hati mereka berdua luluh.
"Baiklah Nyonya, tapi jangan lama-lama. Kami akan menunggu Anda di sini,"
"Oke, aku tak akan lama," wajah Rani berubah cerah. Ia melangkah menuju supermarket dengan semangat. Tapi, gadis itu tidak masuk ke pintu supermarket, melainkan berbelok ke kiri menuju samping. Gerakannya tak terbaca oleh para bodyguard karena tertutup orang-orang yang berlalu lalang.
"Maafkan aku para bodyguard!" bisik Rani sambil berlari secepat mungkin. Sampai di sana, matanya tampak mencari-cari dimana mobil Bian berada.
"Apa Bian tidak datang?" Rani menggigit bibir. "Apa dia tidak percaya padaku?"
Dalam beberapa menit, Rani masih berdiri di tempatnya sembari melayangkan pandangan ke seluruh arah. Tidak ada tanda-tanda kedatangan mobil Bian. Rani hapal betul pelat nomor lelaki itu sejak Bian menyelamatkannya pertama kali. Tapi ia tak menemukan mobil itu dimana pun sekarang.
Rani menundukkan kepala. Mungkin memang nasibnya sudah seperti ini. Mungkin memang tidak ada orang yang mau berada di sisinya sama sekali.
Rani menghela napas panjang. Ia mulai putus asa. Terpaksa, Rani membalikkan badan. Langkahnya terseok kembali ke supermarket.
TINNN!
Rani sontak menegakkan badan. Mobil Bian sudah berada di belakangnya, dan sang pemilik mobil berlari keluar dari kendaraan itu.
"Ayo! Cepat! Kamu bilang kita tak punya banyak waktu!"
Wajah lesu Rani langsung berubah dalam sekejap. Bian datang! Artinya lelaki itu percaya padanya. Tanpa menunggu lama, Rani segera berlari menghampiri Bian. Dengan gerakan cepat, Bian membukakan pintu untuk Rani dan melajukan mobilnya secepat mungkin.
kalau sudah jatuh baru mengharapkan bini yg sudah di sakiti!
kalau aku ma ya milih pergi!
ttep suka 🤗