Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
"ahh, sekarang kau ingin bercerai? Kenapa? agar kau bisa bersama Bimo?"
Ara membelalakkan mata, apa Dean benar-benar berfikir dia ingin bercerai karna Bimo?
"kalau kau memang ingin bercerai kenapa tidak dari dulu Ara?!" bentak Dean, kini kedua tangannya memegang bahu Ara kuat.
"karna aku kira aku bisa mengubah perasaan kamu mas, aku kira kamu perlahan-lahan bisa luluh. Tapi ternyata aku salah, semua usahaku sia-sia, karna pada kenyataannya perasaan yang kamu miliki untuk aku hanya perasaan benci. Setiap harinya sulit mas, sangat sulit untuk kulalui, satu tahun bukan waktu yang singkat, aku selalu berusaha, memastikan kamu selalu makan dengan baik, istrahat dengan baik, aku ingin setidaknya aku bisa berguna dalam hal-hal sederhana itu, agar setidaknya kamu merasa sedikit kehilangan saat aku tidak ada, agar kamu sedikit mempertimbangkan saat hendak menyingkirkan aku. Akhir-akhir ini aku sedikit bingung, kukira kamu sudah mulai luluh, sikap baikmu seakan memberi aku harapan. Sebentar kamu baik, sebentar tidak, aku mulai memiliki harapan bahwa pernikahan ini tidak akan berakhir dengan perceraian , jika pun memang harus berakhir aku tidak pernah berharap akan berakhir secepat ini." Ara menjeda. Mengapus kasar air mata di pipi dengan tangannya yang bebas.
"sejak awal harusnya aku sudah paham, sejak kamu mengunci semua ruangan di rumah ini, aku seharusnya sudah cukup mengerti bahwa memang tempatku bukan di sini, ketika aku harus memunguti barang-barangku yang kamu buang keluar rumah harusnya cukup membuatku sadar, aku benar-benar tidak memiliki tempat, tidak di mana pun. Aku selalu berusaha menghindar, mencoba bersembunyi, aku takut kau semakin membenciku jika melihatku. Kadang aku berfikir seharusnya perpisahan ini bisa lebih mudah, jika aku tidak jatuh cinta kepada kamu."
Dean mematung, tangannya yang sejak tadi menekan bahu Ara kini terkulai di samping badannya. Dia merasa seperti waktu berhenti beberapa saat, telinganya masih mendengungkan kalimat terakhir Ara. Ara jatuh cinta padanya. Ara mencintai dia. Sekali lagi, Ara mencintai Dean.
Merasa tak mendapat respon dari Dean, Ara melangkah mundur, meletakkan piring yang isinya belum disentuh sama sekali ke atas meja makan.
Ara menuju ruang laundry, semua barang-barangnya ada di sana, beruntung dia tidak punya lemari di rumah ini jadi, dia tidak perlu berkemas, semua pakaiannya masih tersimpan rapi di dalam koper. Dia belum memiliki tujuan, namun menetap di sini bukan pilihan yang tepat.
Melihat Ara keluar dengan menyeret dua kopernya serta sebuah tas berukuran sedang. Dean seketika berlari, menyusul Ara di ruang tengah.
"kau tidak boleh pergi."
Dean berdiri menjulang di depan Ara, Ara terlihat terkejut sebentar namun ekspresinya segera berubah.
"kau tenang saja, aku akan memastikan kau tidak akan kehilangan apa-pun," ucap Ara bergeser satu langkah ke kanan untuk bisa lewat.
Dean juga bergeser tepat di depan Ara, kembali menutupi akses jalan. "baiklah Ara, pastikan aku tidak akan kehilangan apa pun termasuk dirimu."
Ara mematung, matanya yang masih basah berkedip. Mencerna kalimat Dean barusan. Apa Dean sedang marah dengan cara yang berbeda?
"kita tidak akan bercerai, tidak setelah kau mengatakan mencintaiku."
Dean menunduk, sedikit membungkuk untuk bisa menyamakan tingginya dengan Ara, tanganya bergerak melingkari punggung Ara, memeluk dengan hangat, pelukan yang sama yang dia berikan saat Ara menangis di ruang tamu waktu itu.
"aku tidak marah lagi Ara, maafkan aku, maaf." ucap Dean lembut tanpa melepaskan pelukannya.
Ara tidak menjawab, dia masih terkejut dengan perubahan sikap Dean yang tiba-tiba.
"selama ini hanya kesalah pahaman, kita bisa memperbaikinya. Tidak, aku bisa memperbaikinya, kali ini biarkan aku yang berusaha."
Dean melepaskan pelukannya, tangannya kini menangkup wajah Ara, ibu jarinya bergerak menghapus jejak-jejak air mata di pipi Ara. Wajah sembab itu masih terlihat sangat cantik.
"aku mungkin sedikit terlambat menyadarinya, tapi aku tidak ingin kehilangan kamu, aku mencintaimu Ara, sangat."
Ucapan sungguh-sungguh Dean membuat Ara terhenyak. Apakah dia sedang bermimpi? Seorang Dean mengatakan mencintainya?
Ara mundur beberapa langkah, mencoba mencerna semua kalimat Dean. Apa Dean sedang mencoba mempermainkannya?
Melihat Ara yang mengambil langkah mundur, Dean pun mengambil langkah maju, mendekat pada Ara, melepas pegangan Ara pada koper dan tasnya. Dean lalu menggandeng tangan Ara, menuntun langkah perempuan itu menuju kamar.
Dean mendudukkan Ara di pinggir kasur, dia kemudian berlutut, memegang ke dua tangan Ara, tangan itu sejak tadi bergetar dan terasa dingin.
"aku tidak akan membuatmu bingung lagi. Semua yang kau lakukan tidak sia-sia Ara, aku tidak tau sejak kapan, entah sejak pertama kali aku mengenalimu di kantor setahun sebelum pernikahan kita, atau saat pertama kali aku melihatmu mengenakan gaun pernikahan itu, atau saat aku melihatmu tertidur sambil memegang tanganku saat aku sakit, aku tidak tau, aku tidak tau kapan persisnya, tapi yang pasti kau diam-diam ada di fikiran dan hatiku. Aku selalu marah, aku mencoba menyangkal hal itu, namun semakin aku menyangkalnya aku semakin tersiksa. Aku ketakutan, aku takut menjadi lemah karna perasaan itu. Kau tau, saat Bimo berkata dia mencintaimu rasanya aku ingin membunuhnya, aku pernah berkata kepadamu bahwa aku bukan seseorang yang bisa membunuh tapi kau tau, hari itu rasanya aku bisa membunuh Bimo, seandainya membunuh diperbolehkan. Dan hari ini saat melihatmu pergi bersama Bimo kepalaku hampir meledak karna amarah Ara, aku marah padamu karna itu, aku marah karna aku tau aku bahkan tidak pernah makan berdua dengan kamu, tapi Bimo, kalian makan bersama."
Dean menunduk menenggelamkan wajahnya pada tangan Ara yang ada di pangkuan perempuan itu. Dia benar-benar tidak bisa membendung perasaannya.
Lagi-lagi air mata Ara menetes, namun kali ini bukan air mata kesedihan, ini adalah air mata haru. Tidak pernah dalam hidup Ara membayangkan akan menerima pernyataan cinta seperti ini, apa lagi dari seorang Dean.
Ara menarik tangannya, mengangkat wajah Dean, menangkup kedua pipi laki-laki itu, Dean mendongak, matanya memerah, apa laki-laki itu menangis?
Ara kemudian menepuk sisi kasur di sebelahnya, meminta Dean untuk duduk di sana. Dean pun menurut, laki-laki itu duduk miring menghadap ke arah Ara.
"Apa kita bisa memulainya dari awal?" tanya Ara dengan lembut. Dean mengangguk, "kita bisa," ucapnya.
"aku tidak ada hubungan apa-pun dengan Mama Ayana, jika itu yang sangat kamu takutkan, aku baru mengenal dia sama seperti aku mengenal kamu, jadi kamu tidak perlu mencurigaiku akan berbuat jahat kepada kamu, aku tidak punya alasan melakukannya, dan meskipun alasan itu ada aku tetap tidak akan bisa melakukannya, karna aku tau persis bagaimana rasanya disakiti orang lain, aku tau bagaimana rasanya dijahati orang lain, dan aku tidak ingin menjadi alasan orang lain merasakan hal itu. Dan tentang Bimo, aku tidak memiliki perasaan apa-pun pada Bimo, seandainya kita bercerai pun aku tidak akan bersama dengan Bimo, tidak akan."
Ara menunduk menatap tangan Dean yang masih menggenggam kedua tangannya. Tangan Dean selalu hangat saat menggenggamnya. Ara menyukai itu, tangannya dan tangan Dean yang saling bertaut.