Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Akhirnya terjadi
Beberapa hari berlalu. Semua orang kini sudah kembali menjalankan rutinitas seperti biasa. Keadaan Bu Azni juga sudah sangat baik dengan perkembangan yang begitu pesat.
Sore hari itu, Nara baru saja selesai rapat mingguan antar editor. Kakinya sibuk melangkah sedangkan matanya sibuk membaca pesan yang dikirim oleh Arjuna.
Mas Arjuna ku:
Mas sudah tiba di tempat parkir, Sayang
Nara tersenyum membaca sebilah pesan tersebut lalu tangannya lincah menari di atas layar untuk membalas pesan dari Arjuna.
Aku akan segera tiba. Rapat baru saja selesai.
Setelah itu, Nara kembali menyimpan ponsel dalam tas dan fokus berjalan. Ketika tiba di lobi kantor, senyum Nara merekah kala mendapati Arjuna yang sudah menunggu dengan duduk di atas kap mobil.
Lipatan-lipatan di lengan dan beberapa bagian kemejanya, sudah mampu menunjukkan jika hari yang dilalui sang Suami tidaklah mudah. "Capek ya, Mas? Maaf ya karena aku justru menambah rasa lelah yang Mas rasakan," tanya Nara yang juga dijawab sendiri, tentunya setelah tiba di hadapan Arjuna.
Arjuna menggelengkan kepala. "Tidak kok. Justru karena menjemput kamu, rasa lelah Mas hilang. Belum lagi senyuman manis kamu yang menyambut," jawab Arjuna bukanlah sebuah gombalan.
Nara berdecak mendengar ungkapan manis dari Arjuna. Suaminya itu memang pandai membuat pipinya bersemu.
"Ya sudah. Kita pulang sekarang?" ajak Nara tidak ingin berlama-lama berdiri di area parkir karena kini banyak pasang mata yang memperhatikan.
Arjuna mengangguk lalu membukakan pintu untuk sang istri. Setelah memastikan Nara duduk dengan benar, Arjuna memutari depan mobil untuk masuk ke bangkunya.
Baru saja Arjuna menyalakan mesin, dering panjang di ponselnya berbunyi nyaring. Nara menatap Arjuna yang kini juga sedang menghadap ke arahnya. "Siapa, Mas?" tanyanya penasaran.
"Mama."
"Angkat, Mas. Takut penting," titah Nara dan Arjuna segera menekan tombol hijau untuk tersambung dengan Bu Azni di seberang.
Karena Nara tidak mendengar suara Bu Azni di seberang, cukup raut wajah Arjuna yang kini menjelaskan. Suaminya itu tampak panik dengan bola mata seperti akan keluar. Nara tidak ingin langsung bertanya karena hal itu sama saja menyela.
"Mama tenang ya. Aku dan Nara akan segera kesana." Setelah itu, panggilan terputus. Arjuna menatap Nara dengan wajah paniknya.
"Kenapa, Mas?"
"Beta, Ra. Beta tidak sadarkan diri di kamar dengan luka sayatan di lengan. Kita harus segera ke rumah sakit karena Mama sedang dalam perjalanan ke sana," jawab Arjuna terburu-buru dan segera menarik tuas agar segera tiba.
Jantung Nara rasanya seperti mencelos mendengar kabar tentang Beta. Mulutnya sudah menganga tak percaya dengan kelopak mata yang membelalak. "Iya. Kita harus segera kesana," jawabnya lirih setelah berhasil menguasai diri.
Jalanan yang dilalui Arjuna seakan tidak ada habisnya. Mobil terasa lama sekali untuk bisa sampai ke rumah sakit tempat Beta akan ditangani. Belum lagi Nara dan Arjuna memilih diam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Setengah jam kemudian, akhirnya mobil tiba. Nara dan Arjuna segera berlari memasuki ruang UGD. Sesampainya di depan ruangan, pemeriksaan yang dilakukan dokter belum selesai. Bu Azni masih duduk terisak di kursi tunggu dengan bahu yang bersandar lelah.
"Mama? Bagaimana kondisi Beta?" tanya Arjuna sambil membawa sang Ibu dalam pelukan. Nara menatap ibu ibu mertuanya yang baru kemarin ditimpa musibah, kini harus mengalaminya lagi.
"Mama tidak tahu mengapa Beta sampai ingin mengakhiri hidupnya. Ini semua salah Mama yang jarang memperhatikan dia," sesal Bu Azni tidak ada drama di sana. Nara benar-benar melihat kesungguhan seorang ibu kepada anaknya.
Nara mengusap wajah untuk menghilangkan ketegangan di sana. Dia begitu gelisah menunggu dokter keluar dari ruangan. Dia takut rahasia Beta selama ini akan terbongkar karena sudah bisa dipastikan, dokter akan memeriksa keseluruhan dari tubuh Beta.
Detik jarum jam berlalu. Pintu ruangan putih itu akhirnya terbuka dan dokter perempuan muncul dari sana. Ada raut tak enak yang berhasil Nara tangkap dari riak muka sang Dokter.
"Bagaimana kondisi adik saya, Dok?" tanya Nara tidak sabaran. Begitu juga dengan Arjuna dan Bu Azni yang tampak menunggu penjelasan.
"Kondisi pasien kini dalam keadaan stabil. Setelah sadar nanti, mohon pasien diawasi dengan baik karena bisa saja melakukan hal yang membahayakan lagi," jelas dokter berusaha mengulas senyum tipis.
Semua bernapas lega setelah mendengar penuturan dokter. Begitu juga Nara yang lega sekaligus cemas secara bersamaan.
Namun, melihat sang Dokter yang masih berdiri di ambang pintu, seperti ada sesuatu lagi yang ingin beliau sampaikan, Bu Azni akhirnya menanyakan. "Apa ada hal lain yang ingin dokter sampaikan?"
Sang dokter menganggukkan kepala. "Jika boleh tahu, apa pasien sudah menikah?" tanya dokter tak enak hati.
Bu Azni dengan cepat menggeleng. "Belum lah, Dok. Anak saya masih kuliah," jawab beliau yakin.
"Maaf sebelumnya jika apa yang akan saya ucapkan setelah ini kurang berkenan. Tetapi, mungkin saja hal ini ada kaitannya dengan luka sayatan yang putri ibu buat." Dokter semakin tak enak hati.
"Kenapa memangnya, Dok?" tanya Bu Azni dengan dahi yang mengkerut.
Berbeda kondisi dengan Nara yang kini sedang menahan napas, menunggu pengungkapan dokter yang mungkin akan merubah segalanya.
"Pasien sedang hamil dan usia kandungannya sudah menginjak minggu ke tujuh belas."
Nara memejamkan mata. Ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Ketika kelopak matanya kembali terbuka, perhatiannya langsung teralih pada Bu Azni yang kini tak bergeming. Salah satu tangannya memegangi dada yang sudah naik turun.
Kejadian selanjutnya, tubuh Bu Azni ambruk dan Arjuna segera menopangnya. Nara menggusah napasnya kasar. Kejadian seperti ini pasti akan menjadi nyata.
"Dokter! Tolong tangani Mama saya!"