Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 34
Air mata Gisela bercampur dengan air shower yang sejak tadi mengguyur tubuhnya. Bayangan percintaan yang tidak ia inginkan dengan Abram, begitu mengusiknya. Membuatnya merasa sangat benci kepada dirinya sendiri.
Menyesal. Tentu saja wanita itu menyesal. Jika sejak awal ia tahu semua kejadian akan seperti ini, sudah pasti Gisela tidak akan mendekati Abram.
"Bodoh! Aku bodoh! Aku sangat bodoh!" Gisela memukul dirinya sendiri. Merutuki kebodohan yang telah ia lakukan.
Setelah lebih dari setengah jam berada di kamar mandi, Gisela pun memilih untuk menyudahi semuanya. Membalut tubuhnya dengan jubah mandi lalu kembali ke ranjang. Beberapa kali Gisela mengembuskan napas kasar yang memecahkan keheningan di kamar tersebut. Sekadar mengurangi rasa tidak nyaman yang begitu menyelimuti hatinya.
Dalam hati Gisela merasa beruntung karena bisa kabur ketika Abram masih belum sadar. Jika ia tetap berada di tempat itu, Gisela yakin Abram akan membunuhnya ketika lelaki itu sudah terbangun.
"Huh! Aku harus bersikap seolah tidak ada apa-apa. Anggap saja itu adalah salam perpisahan. Lebih baik sekarang aku fokus saja pada kehidupanku," gumam Gisela.
Wanita itu sudah mantap untuk melupakan semuanya. Memulai lembaran baru lagi dan ia berjanji tidak akan pernah mendekati Abram dan tidak peduli atas apa pun yang terjadi kepada lelaki itu. Sudah cukup ia menderita selama ini dan ia tidak ingin bertindak bodoh lagi.
"Ya Tuhan, semoga setelah ini hidupku semakin baik dan tidak lagi dekat dengan Mas Abram," gumam Gisela sebelum akhirnya memejamkan mata dan berusaha agar bisa terlelap.
***
Hari ini Gisela terlihat sangat cantik dalam balutan kemeja yang dipadu dengan blazzer warna hitam pekat. Wanita itu hendak memenuhi janjinya kepada sang papa untuk mulai ikut bekerja di perusahaan sang papa. Untuk sekarang Gisela masih menjabat sebagai sekretaris pribadi sang papa.
Penampilan Gisela pun sudah tidak seperti dulu yang terlihat sederhana. Wanita itu terlihat cantik dan elegan. Auranya pun begitu terpancar hingga membuat perhatian para karyawan di kantor teralihkan. Ya, meskipun Gisela merasa sedikit tidak nyaman karena ia sudah terbiasa tampil apa adanya.
"Sudah waktunya makan siang, Gis." Hendarto mengalihkan perhatian Gisela dari layar komputer.
"Iya, Pa. Sebentar lagi," balas Gisela. Kembali fokus pada pekerjaannya.
"Sudah. Berhenti dulu. Kamu bisa lanjutkan nanti karena sekarang kita harus makan siang. Kasihan yang sudah menunggu kita terlalu lama."
"Memang siapa yang sedang menunggu kita, Pa?" tanya Gisela terheran.
"Pokoknya ada." Hendarto tersenyum sembari bangkit berdiri dan memaksa Gisela agar ikut bangun juga.
Walaupun merasa sangat penasaran, Gisela tetap saja mengikuti langkah sang papa yang keluar dari kantor. Selama dalam perjalanan pun Gisela terus menebak sampai ia lelah sendiri.
Mungkin rekan kerja papa. Batin Gisela menerka.
Mobil yang dikemudikan sopir Hendarto pun berhenti di depan sebuah restoran yang cukup terkenal di sana. Gisela tidak lagi bertanya karena sejak tadi sang papa hanya diam saja seolah memberi kode agar ia tidak terlalu banyak bicara.
"Jangan berjalan di belakang papa, kamu ini bukan pengawal." Hendarto berbalik karena jaraknya dengan Gisela cukup jauh.
"Langkah Papa lebar banget," ucap Gisela.
Hendarto hanya tersenyum lalu merangkul putrinya dan mereka melanjutkan langkahnya masuk ke sana.
Meja nomor tujuh.
"Bukannya itu Om Bisma dan Tante Yulia?" tanya Gisela ketika melihat dua orang paruh baya sedang duduk di meja yang sedang dituju mereka.
"Ya," sahut Hendarto dengan tersenyum.
"Pa, apa Dirga juga datang ke sini?" tanya Gisela ragu.
"Hai, Gis."
Baru saja bertanya seperti itu, Gisela justru mendengar suara yang tidak asing. Ia pun berbalik dan mendengkus kasar ketika melihat Dirga yang saat ini sudah berdiri di depannya. Senyum manis terlihat menghiasi bibir Dirga, sangat berbeda dengan Gisela yang sudah memasang raut wajah tidak suka.