Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Dirga POV
Ku parkirkan mobil di halaman rumah Ziva. Rumah yang belum genap dia tempati bersama Putranya. Aku bahkan itu membantu Ziva saat pindah dari rumah yang lama. Ziva bercerita kalau di rumah lama terlalu banyak kenangan manis bersama mendiang suaminya, dan hal itu hanya semakin membuatnya larut dalam kesedihan karna setiap saat teringat dengan suaminya itu.
Dengan membawa beberapa mainan untuk Rayyan, aku bergegas turun dari mobil.
Sepertinya suara deru mobilku di dengan oleh Rayyan, hingga bocah kecil itu membuka pintu sebelum aku mengetuknya.
"Daddy,,,," Rayyan berteriak bahagia sembari berlari ke arahku. Senyum di bibirnya mengembang sempurna dengan kedua tangan yang di rentangkan. Aku menunduk agar Rayyan bisa memelukku. Bocah yang hampir genap 3 tahun itu sangat lucu dan menggemaskan.
Aku langsung jatuh hati pada bocah tampan itu sejak pertama kali bertemu. Dan sekarang tumbuh rasa sayang yang semakin besar untuk Rayyan meski aku dan dia tak memiliki ikatan darah ataupun keluarga.
Selama ini aku begitu mendambakan seorang anak, sayangnya pernikahanku dsn Bianca belum di percaya untuk mendapatkan keturunan meski segala macam cara sudah kami lakukan selama 2 tahun terakhir.
Mungkin itu yang akhirnya membuatku bisa menyayangi Rayyan dan ingin selalu bertemu dengannya.
"Jagoan tampan sudah sembuh.?" Tanyaku sembari menggendong Rayyan setelah kami selesai berpelukan.
"Turunkan saja Di, nggak usah di gendong. Kamu kan baru pulang, pasti cape." Ujar Ziva yang baru saja keluar dari rumah dan berdiri di depan pintu.
Wanita itu memakai dress polos tanpa lengan di atas lutut dengan rambut panjang yang di urai.
Style Ziva tak banyak berubah, tapi dia lebih cantik dari 8 tahun yang lalu.
"Nggak papa Zi, santai saja." Aku bergegas membawa Rayyan masuk ke dalam rumah. Ziva tampak menutup pintu setelah aku masuk. Aku cuek saja, lagipula aku dan Ziva tidak melakukan apapun. Tapi meski begitu, awalnya aku sempat kaget waktu pertama kali Ziva menutup pintu di saat awal-awal aku mengunjunginya.
Tapi sekarang aku mulai terbiasa berada di dalam rumah bersama Ziva dan Rayya dengan pintu yang di tutup.
Aku menurunkan Rayyan di ruang keluarga. Kemudian menyodorkan mainan yang tadi aku beli untuknya.
"Wah,, bagus Daddy,," Rayyan menerima dengan antusias dan fokus memperhatikan mainan yang masih di dalam boxnya.
"Rayyan,, bilang makasih dong sama Daddy.?" Ziva menghampiri putranya dan memintanya agar berterimakasih padaku.
"Makasih Daddy,," Rayyan kembali memelukku.
Aku benar-benar kasihan padanya. Sampai detik ini Rayyan tidak tau kalau Daddy-nya sudah meninggal. Sampai suatu ketika, Ziva bercerita kalau Rayyan terus menangis setiap akan tidur sambil memanggil Daddy-nya. Itu sebabnya saat ini Rayyan memanggilku dengan sebutan Daddy.
Ziva meminta ijin padaku agar bersedia di panggil Daddy oleh Rayyan.
"Daddy, ayo main." Ajak Rayyan sambil menyodorkan mainan barunya.
"No Rayyan. Daddy mau makan dulu, Rayyan juga harus makan." Ziva menyahuti perkataan putranya sebelum aku menjawab.
"Nggak masalah Zi, aku bisa makan setelah menemani Rayyan bermain." Aku langsung menuruti permintaan Rayyan. Ziva tampak tidak setuju dan terus membujukku agar makan lebih dulu. Sayangnya, aku tidak bisa menolak permintaan Rayyan dan tak mau membuat anak itu sedih.
...******...
Bianca POV
Karna aku yang sudah menyebabkan Mas Agam mengalami luka di tangannya, aku terus di rundung rasa bersalah. Dan malam ini aku sengaja mengantarkan makan malam untuk Mas Agam.
Ku ketuk pintu rumah Mas Agam yang sejak sore tadi tertutup. Tepatnya setelah aku mengantar Mas Agam dan membantunya untuk melepaskan kemeja.
"Masuk Bi.!! Nggak di kunci.!!" Mas Agam teriak dari dalam rumah. Sepertinya dia malas beranjak untuk membuka pintu.
"Bia masuk ya Mas." Ucapku setelah membuka pintu. Rupanya pria itu sedang duduk di sofa ruang keluarga sembari menonton TV.
"Ada apa Bia.?" Mas Agam menatap wajahku, kemudian kembali bersuara setelah pandangannya turun kebawah dan melihat piring berisi makanan yang aku bawa.
"Kamu tau aja kalau aku lagi laper." Senyum Mas Agam merekah. Dia memberiku isyarat dengan gerakan kepala agar aku menghampirinya.
"Bia nggak enak aja sama Mas. Gara-gara Bia tangan Mas Agam sampe harus di jahit." Ku lirik tangan kanan Mas Agam yang terbalut perban.
"Rapat besok pagi juga terpaksa di undur karna kejadian ini." Aku menunduk, tak berani menatap Mas Agam karna sudah membuat kekacauan di hari pertama kerja.
Bahkan sampai membuat rapat penting itu diundur.
"Nggak usah terlalu di pikirin, ini bukan salah kamu."
"Soal rapat, nggak masalah kalau di undur. Jangan khawatir." Jawabnya.
Aku terperanjat saat tiba-tiba tanganku di tarik oleh Mas Agam dan di minta untuk duduk di sampingnya.
Aku menurut. Dengan perasaan bingung, aku menatap Mas Agam dan tidak tau kenapa tiba-tiba dia menarik tanganku dan memintaku untuk duduk di sampingnya.
"Aku lapar Bia. Kalau kamu berdiri terus sambil pegang piringnya, terus kapan aku bisa makan.?" Tuturnya.
"Ya ampun, maaf Mas. Bia jadi lupa ngasih makanannya." Aku tersenyum kikuk sembari menyodorkan piring berisi nasi goreng seafood padanya.
"Susah makan sendiri, tangannya sakit kalau digerakin."
"Tolong sekalian di suapin." Pintanya dengan ekspresi datar dan nada bicara yang santai.
Sedangkan aku di buat melongo dengan permintaannya.
Ingin menolak, tapi luka di tangan Mas Agam karna dia berusaha untuk melindungi ku.
Sedangkan jika aku menyuapinya, aku takut perasaan di antara kami semakin kuat.
"Aku cuma minta di suapin, Bia. Bukan minta di puasin, kenapa mikirnya sampai 1 abad." Tegurya dengan nada menyindir.
Sontak aku memukul lengannya. Bisa-bisanya Mas Agam bicara seperti itu dan membuat pikiranku sedang suci, seketika tercemari.
"Iya, iya.! Bia ambil dulu sendoknya." Aku meletakkan piring di atas meja dan buru-buru pergi ke dapur untuk mengambil sendok dan minum.
"Obatnya di taruh mana Mas.? Nanti habis makan harus di minum obatnya." Tanyaku setelah kembali dari dapur.
"Aku taruh di kamar. Ada di atas nakas. Masuk aja." Sahutnya. Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Rasanya tidak etis kalau sampai harus masuk ke dalam kamar pribadi Mas Agam. Walaupun hanya aku sendiri.
"Mas aja yang ambil." Pintaku.
"Ya udah biar adil kita ambil sama-sama ke kamar." Aku langsung melotot. Mas Agam. benar-benar hobi meracuni pikiranku sampai berfikir yang tidak-tidak.
"Jangan mulai Mas.!" Tegurku.
"Mulai bagaimana Bi.? Pemanasan saja belum." Sahutnya sambil beranjak dari sofa. Mas Agam berjalan ke arah kamarnya dengan melewatiku begitu saja. Tentunya dengan ekspresi wajah yang datar.
Aku jadi tidak tau apa semua ucapan nyeleneh Mas Agam serius, atau hanya sekedar candaan saja.
Tapi yang jelas dia berhasil membuat pikiran ku traveling.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong