Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati si kembar
Hari ini Winda dan Windi diwisuda untuk gelar S1 mereka. Keduanya memang kuliah di kampus yang sama, namun Fakultas yang berbeda. Winda yang mengambil jurusan komunikasi, sedangkan Windi mengambil jurusan desain grafis.
Mereka berdua sudah siap dengan memakai setelan kebaya modern. Winda memakai warna maroon, sedangkan Windi warna pink. Keduanya juga memakai selempang nama. Meski mereka sudah dimane up dan susah dibedakan, namun ada yang menjadi ciri khas keduanya. Windi badannya lebih langsung daripada Winda.
Sebelum acara Wisuda dimulai, seorang pria muda yang berstatus sebagai asisten dosen menghampiri Windi dengan membawa bucket bunga. Pria tersebut bernama Reno. Pria dengan pembawaan dewasa, sabar dan berwibawa menjadi idaman banyak mahasiswi di kampus tersebut.
"Windi, selamat sudah mau wisuda."
"Terima kasih, kak."
"Iya, sama-sama."
"Ini untukmu."
"Untukku?"
"Iya. Em.... kalau kamu ada waktu aku mau ajak kamu jalan."
"Duh, maaf Kak. Nggak mungkin diizini sama Abi."
"Kalau begitu aku minta nomor handphone mu saja. Kamu kan sudah lulus, berarti aku boleh simpan nomor handphone-mu?"
"Oh iya, nanti aku chat Kakak kalau begitu."
"Oke, aku tunggu."
"Iya kak. Bay the way, Terima kasih bunganya."
"Iya, sekali lagi selamat karena sudah lulus."
"Iya kak."
Hati Windi seperti taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Bagaimana tidak? Pria yang selama ini ia dambakan, Tiba-tiba memberinya bucket bunga.
Mengetahui sang adik didekati seorang pria, Winda pun menahan diri untuk menghampirinya. Ia memperhatikan mereka dari kejauhan. Ada sedikit nyeri di hatinya, namun ia berusaha untuk menetralisir rasa itu, karena ternyata pria yang mendekati Windi adalah Pria yang ia suka.
Suara protokol memanggil para wisudawan dan wisudawati untuk segera memasuki ruang wisuda .Mereka berbaris dan duduk di kursi masing-masing sesuai latihan gladi bersih. Tentu saja Winda dan Windi duduk terpisah. Mereka menjalani prosesi wisuda sampai kurang lebih empat jam. Windi berhasil mendapatkan nilai tertinggi dalam fakultasnya. Tentu saja hal tersebut membuat keluarganya bangga. Meski begitu, keluarganya tetap bangga pada keduanya. Karena baik Winda maupun Windi sudah berusaha menjadi yang terbaik.
Setelah wisuda selesai, mereka mencari keluarga masing-masing.
"Dek selamat untukmu." Ucap Winda seraya memeluk kembarannya.
"Selamat juga untukmu, Mabok. Akhirnya kita lulus bareng."
"Ehem... Mbak kamu punya janji lho sama aku. Nanti aku tagih. Aku juga nanti bakal cerita kok. Jadi kita satu sama, Ok?"
Deg
Hati Winda mendadak gelisah. Ia baru ingat janjinya kepada Windi. Ia berjanji akan memberitahukan pria idamannya kepada Windi. Namun setelah melihat Reno dan Windi tadi, ia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya kepada Windi.
"Mbak, woy! Kok ngelamun sih?
"Winda... Windi.... " Panggil Bunda Salwa. Ibu mereka.
"Bunda... "
"Dari tadi dicariin, kalian malah di sini. Selamat ya sayang."
"Makasih, Bunda."
"Abi... "
Mereka berdua juga mendapatkan pelukan hangat dari Abi Tristan, Ayah mereka. Disusul saudara dan kakak ipar mereka yang lain beserta keponakan juga ikut menghadiri wisuda tersebut.
Mereka langsung mampir ke restoran untuk merayakan kelulusan putri bungsu Abi Tristan.
"Terus setelah lulus rencana mau ke mana, dek?" Tanya abang Fatan, Kakak pertama mereka.
"Kalau aku sih, mau kerja bang. Di salah satu perusahaan produk luar negeri." Ujar Windi.
"Tidak bisa!" Sahut Abi Tristan.
"Lho, kenapa bi? Bukannya aku kuliah untuk mengembangkan kemampuanku. Jadi agar ilmuku bermanfaat aku harus bekerja dong bi."
"Iya, tapi kamu tidak perlu bekerja di perusahaan luar. Perusahaan almarhum Kakekmu juga ada untuk mengembangkan bakatmu itu."
"Yah, masih dalam kandang dong aku, bi?"
"Di perusahaan Kakek atau tidak sama sakali?"
Windi tertunduk lesu.
Sedangkan Winda masih belum menjawab pertanyaan abangnya.
"Kamu gimana, dek?"
"Hah, apa?"
"Ya salam... ngelamun dia." Sahut Bang Fadil, Kakak kedua mereka.
"Em... aku belum ada rencana apa-apa kok."
"Lanjutkan nanti di rumah ngobrolnya. Sekarang makan dulu!"
"Iya, Bunda."
Mereka pun akhirnya melanjutkan makan. Setelah selesai makan mereka pulang ke rumah masing-masing.
Malam harinya.
Setelah selesai makan malam, Windi mengintip pintu kamar Winda.
"Mbak... "
"Iya."
"Boleh masuk?"
"Tumben nanya, biasanya main nyelonong saja kamu dek."
"Hehe... soalnya takut mengganggu."
Windi masik dan duduk di tempat tidur bersama Winda.
Melihat wajah bahagia adiknya, Winda dapat menebak apa yang dirasakannya saat ini.
"Em... kamu lagi seneng ya dek?"
"Kok tahu?"
"Wajahmu nggak bisa bohong."
"Ish, tapi aku juga kesel, Mbak."
"Kenapa?"
"Denger sendiri tadi kata Abi, kan?"
"Ya sudah, turuti saja!"
"Ah Mbak mah gitu! Aku kan ingin berkembang di luar sana Mbak Bukan di perusahaan sendiri."
"Memangnya kamu bisa menentangnya?"
Windi menggelengkan kepala.
"Ya sudah dek, nurut saja!"
"Aku ke sini mau nagih janji lho, mbak."
"Janji apa?" Winda pura-pura lupa.
"Siap Mr R yang kamu maksud, hem?"
"Eh, aku kebelet... "
Winda buru-buru masuk ke kamar mandi. Ia memang sedang sakit pertama dan ingin buang air besar.
Tidak sengaja Windi melihat buku diary Winda yang sedang terbuka di atas meja belajarnya. Sebenarnya ia tida berniat untuk membacanya. Namun matanya langsung tertuju pada satu nama yang tertulis dalam buku tersebut
"Reno"
Rasa penasarannya pun lansung hilang, saat ia membaca isi hati seindah yang tertera di lembaran buku tersebut.
Ceklek..
Pintu kamar mandi terbuka
Blug...
Buku diary terjatuh.
"Dek... kamu.... "
"Maaf... maaf Mbak."
Winda langsung memungut buku diary-nya.
"Dek, kamu tidak punya hak untuk membaca buku ini."
"Maaf Mbak, aku tidak sengaja tadi."
"Sengaja atau tidak, seharusnya kamu tidak perlu membacanya."
Emosi Winda lebih kepada sedih bukan marah. Ia takut jika adiknya mengetahui isi diary tersebut, maka adiknya akan merasa tidak enak hati. Dan hal tersebut sudah terjadi saat ini. Windi benar-benar tidak menyangka, jika pria yang selama ini Winda sukai adalah Reno. Sosok yang sama dengan pria yang ia idamkan selama ini.
"Mbak, maafkan aku." Windi menggenggam tangan Winda.
"Dek, maaf bukan maksudku marah. Tapi.. "
"Iya, iya aku tahu."
"Dek maaf, jangan hiraukan buku itu. Semua sudah berakhir. Aku hanya menyukainya belum mencintainya. Lagi pula belum tentu dia menyukaiku juga. Buktinya tadi dia ngasih kamu bunga, kan?"
"Kok Mbak tahu?"
"Hem... maaf tadi aku lihat kalian."
"Iya, bunganya aku titipkan ke temanku. Aku takut dimarahi Abi."
"Terus bagaimana, apa dia mengatakan sesuatu?"
"Ck... kenapa kita harus menyukai orang yang sama Mbak?"
"Mungkin karena kita pinya type yang sama."
Windi tidak mau menceritakan yang sebenarnya kepada Winda karena ia tidak ingin melukai hati Winda lebih dalam lagi. Sekarang ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.
Bersambung....
...****************...
semangat menulis dan sukses selalu dengan novel terbaru nya.
apa lagi ini yang udah 4tahun menduda. 😉😉😉😉😉😉