" Menikah dengan siapa?! om pamungkas?!!" suara Ratih meninggi, di tatapnya semua anggota keluarganya dengan rasa tak percaya.
" Pamungkas adalah pilihan terbaik untukmu nduk.." suara papanya penuh keyakinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
buku buku lama
Pamungkas masih ingat, saat pertama kali dirinya masuk ke dalam rumah keluarga Bapak tirinya,
Rumah yang sama dengan yang keluarga Adi tempati sekarang,
Pamungkas yang sejak bayi tinggal di asrama yang sempit tentu saja takjub dengan rumah yang besar dan berlantai dua.
Ia di boyong, setelah dua hari ibunya menikah,
dengan celana dan kaos yang biasa biasa saja, ia patuh dan turut.
" Hendra, Ratih.. kesini.." Pamungkas masih ingat betul Bagaimana Adi memanggil kedua anaknya sembari berdiri disamping pamungkas.
Dua bocah yang masih duduk di sekolah dasar itu memandangi Pamungkas dari atas ke bawah.
" Siapa itu papa?" tanya Hendra,
" panggil om Pamungkas.." Adi melingkarkan tangannya di bahu Pamungkas.
Pamungkas yang masih setinggi bahu Adi itu terus saja tertunduk.
" Om Pamungkas adalah adik papa.." ujar Adi tersenyum pada putra putrinya,
" adik papa?" celetuk Ratih dengan dahi berkerut,
" kok Ratih baru tau?" tanyanya masih heran,
" Iya.. Ratih tidak pernah tau karena om Pamungkas tinggal di luar selama ini,
tapi.. mulai sekarang om Pamungkas akan tinggal bersama kita.." jelas Adi.
Namun kedua anaknya masih diam di tempat,
" Eh.. ayo, salim dengan om kalian..?!"
Adi membuat kedua anaknya itu mendekat, mengulurkan tangan menunggu tangan Pamungkas,
namun Pamungkas ragu, ia malu dan takut.
" Tidak apa apa.. kami keluargamu, kami akan menyayangi dan melindungimu lee.." ujar Adi pelan, meyakinkan Pamungkas.
Hari itu tentu tak akan bisa Pamungkas lupakan,
untuk pertama kalinya ia di perlakukan dengan tulus,
tidak ada pukulan dan bentakan setiap saat,
juga.. ia tidak pernah lagi mendengar tangis ibunya saat tengah malam.
Pamungkas yang pendiam sangat menghormati dan menyayangi keluarga barunya,
meski ayah tirinya sudah cukup tua, namun ia berperan sebagai ayah yang baik.
Dia selalu bertanya apa yang Pamungkas makan dan kerjakan.
Tidak mudah bagi Pamungkas untuk berbaur, karena ia selalu merasa dirinya dan keluarga barunya sungguh jauh berbeda.
Namun kesabaran Adi mendidik Pamungkas membuat Pamungkas akhirnya menyatu dengan keluarga,
ia benar benar melaksanakan tugasnya sebagai seorang adik kandung, bukan adik tiri.
Bahkan dia sering di beri tanggung jawab untuk menjada kedua bocah itu.
" Apa yang kau pikirkan Pam?" suara komandannya tepat di belakangnya,
" ijin arahan ndan?" Pamungkas langsung berbalik dan menegakan badan.
Si komandan tersenyum, ia sedari tadi melihat Pamungkas yang berdiri menatap lapangan, sembari bersandar di tiang.
Entah apa yang sedang Pamungkas pikirkan, hingga langkah kaki komandannya itu tak terdengar olehnya.
" Kau tidak makan siang?"
" siap sudah ndan.."
" lalu apa yang kau perhatikan disini?"
Pamungkas diam, ia terlihat mencari jawaban yang tepat.
" ijin, memperhatikan rumput.." jawab Pamungkas, karena tidak mungkin ia mengatakan bahwa dirinya sedang melamun.
" Kenapa kau memperhatikan rumput?" di komandan tersenyum sembari meletakkan kedua tangannya di pinggang.
" Sudah tinggi ndan.." Pamungkas menundukkan kepala.
Si komandan lagi lagi tersenyum, ia menangkap keresahan Pamungkas.
" Malam ini kerumah, kita main catur!" Komandan menepuk pundak Pamungkas sedikit keras.
Ratih menjadi orang yang berbeda semenjak mendapatkan tamparan Hendra,
ia hampir tak pernah lagi berbincang dengan Hendra.
Ia berangkat pagi, dan pulang malam.
Saat di tanya ibunya ia beralasan membuka cafenya sampai malam sejak sebulan yang lalu.
Melihat itu Hendra mengurungkan niatnya untuk tinggal di bengkel.
Toh bengkel belum di buka, belum ada kabar juga dari omnya, jadi lebih baik ia tenang sembari mengawasi adiknya, pikir Hendra.
Ratih Sedang memilih buku buku lama di tempat langganannya.
Setelah sejam lebih ia memilih buku, ia memutuskan untuk janjian dengan teman temannya di cafe yang tak jauh dari tempat itu.
Ratih berjalan di pinggir jalan, dengan bawaan bukunya yang lumayan berat.
" Tin..!" suara klakson mobil di belakang Ratih.
Ratih menoleh, perasaannya langsung tidak enak, itu adalah mobil Arga, tentu saja ia hafal dengan mobil yang sering ia naiki dulu.
" Ratih?!" Arga keluar dari mobil dan berjalan mendekati Ratih.
Melihat Arga mendekat Ratih kembali berjalan, ia merasa tak punya kepentingan apapun dengan Ratih.
" Tunggu Ratih?! mau kemana? biar kuantar? sepertinya bawaanmu berat??" Arga mengejar langkah Ratih.
" Ratih?!" karena Ratih terus berjalan mau tak mau Arga menarik pergelangan Ratih yang sedang membawa buku itu.
Karena berat, tas plastik yang berisi buku itu terjatuh.
" Kau ini kenapa sih?! menyingkir!" sentak Ratih kesal sembari membereskan bukunya kembali ke dalam tas plastik.
Arga memandangi Ratih dengan pandangan sedih, entah apa maksudnya yang jelas masih tersisa banyak cinta di hati Arga.
" Aku sudah bilang.. ayo kuantar?" Arga ikut membantu merapikan buku buku itu.
" Jangan sentuh barangku!" Ratih memukul tangan Arga yang menyentuh bukunya.
" Kau benci sekali padaku ya Rat?" tanya Arga dengan raut sayu,
" Aku menikahi Tias karena tidak ada pilihan lain, dia hamil.. maafkan aku Rat..?"
Telinga Ratih rasanya panas, ia tak mau mendengar omong kosong tentang dua manusia yang baginya tak layak di sebut manusia.
" Aku tidak tertarik dengan permintaan maafmu,
ku peringatkan jangan berlagak mengenalku!" Ratih menarik tas plastiknya.
" Jangan begitu Rat, kau tau benar kalau aku tidak setuju untuk bercerai?"
" lalu kau mau menyimpan dua perempuan di hidupmu?!" Ratih meradang.
" Aku khilaf, Tias yang menggodaku.. seharusnya kita tidak bercerai?"
" Kau gila! telingaku bisa meleleh mendengar omong kosongmu!" Ratih berjalan dengan cepat, ia buru pergi dan menjauh.
Ratih menangis sekeras mungkin, hatinya lelah, karena Arga ia menggagalkan pertemuannya dengan teman temannya dan langsung pulang kerumah.
Bisa bisanya, laki laki itu membahas tentang pernikahannya dengan Tias di hadapannya,
belum lagi kabar kehamilan Tias.
Bohong hatinya tidak sakit, bohong luka itu sudah hilang, pengkhianatan mereka benar benar menghancurkan hati Ratih.
Hendra yang mendengar tangis adiknya tanpa pikir panjang membuka pintu kamar adiknya.
" Kau kenapa?!" tanya Hendra khawatir,
" Kau kenapa?! ada yang mengganggumu?!" Hendra benci melihat adik satu satunya itu menangis.
Ratih tak menjawab, ia terus saja terisak di bantal.
" Seseorang melecehkan mu? atau menghinamu?"
Ratih masih tidak menjawab,
" katakan padaku?! akan ku habiskan dia! berani beraninya membuatmu sampai menangis seperti ini?!" Hendra yang sudah jarang bicara pada adiknya itu sekarang menjadi banyak bicara lagi.
" Bicaralah Rat? aku bingung kalau kau menangis terus?!" Hendra lalu duduk disamping adiknya.
" Pergilah mas, tidak ada yang mengangguku, aku hanya lelah.." ujar Ratih di sela isak tangisnya.
" Aku hanya kecewa pada diriku sendiri.." imbuh Ratih dengan suara yang serak.
Hendra diam mendengar itu,
di pandangi adiknya itu, entah benar atau tidak yang di katakan adiknya itu, yang jelas ia tidak suka melihat Ratih bersedih seperti ini.
Biasanya di saat saat seperti ini dia akan mengadu pada Pamungkas, tapi sekarang..
itu sudah tidak mungkin ia lakukan,
ia sudah cukup dewasa..
harusnya ia bisa menyelesaikan permasalahan keluarganya sendiri tanpa terus mengadu pada Pamungkas.
Hendra menghela nafas berat, lalu di belainya kepala adiknya itu.
" Maafkan aku Rat.. karena sudah menamparmu waktu itu.." ujar Hendra lirih.
emang kamu pikir si ratih itu ga punya hati apa.....
luka karna dikhianati sama org terdekat itu susah sembuhnya, kamu malah ngerecokin si ratih mulu
slading online juga nih
istri rasa ponakan itu perlu pemahaman yang besar 😆😆