Akibat jebakan dari tunangan dan saudara sepupu perempuannya.Aurel terpaksa harus menikah dengan Pria miskin yang hanya bekerja di salah satu hotel sebagai Cleaning Service yang gajinya tidak sepadan dengan Aurel.
Cacian dan hinaan terus di dapat oleh Aurel dan keluarganya yang mempunyai menantu miskin selalu di banding-bandingkan dengan menantu-menantu saudaranya yang bekerja di kantoran.
Tanpa Mereka ketahui Suami Aurel memiliki sebuah rahasia besar yang di sembunyikan identitasnya.
Siapakah sebenarnya Suami Aurel itu?
Dan kenapa Identitasnya di sembunyikan?
Ada tragedi apa sebenarnya kenapa identitasnya harus di sembunyikan?
Ketika Ia ingin mengungkap kebenaran siapa dirinya,Tanpa di duga Ia mengetahui sebuah fakta yang mengejutkan dirinya.
Ikuti terus perjalan kisah Aurel dan Suaminya dalam novel Ternyata Suamiku Kaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SumarsihMarsih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34.
"Pa, ada yang ingin Revan katakan sama papa." Ucap Revan setelah mereka semua menyelesaikan sarapannya.
Diam-diam Nadin mencuri pandang ke arah suami Aurel itu, ia memuji ketampanan suami sahabatnya itu.
Sandro yang baru saja mengelap bibirnya dengan tisu, memusatkan perhatiannya ke arah menantunya yang duduk di samping putrinya itu.
"Apa yang ingin kamu katakan pada papa?" tanya Sandro.
Revan menghela nafas panjang, ia harap papa mertuanya itu tidak akan marah dengan keputusan nya itu yang akan berhenti bekerja di casino milik papa mertua nya itu.
"Pa, saya memutuskan untuk berhenti bekerja pada casino tempat papa." Beritahu Revan.
"Apa kamu sudah gila ingin berhenti bekerja, mau kerja apa kamu kalau tidak bekerja di sana." Omel Sandra tidak terima menantu nya itu tidak bekerja.
"Gak usah bicara omong kosong, masih sukur papa aku mau mempekerjakan kamu di casino miliknya." Ucap Aurel.
"Dengar Revan kalau kamu tidak bekerja di tempat om Sandro, kamu mau bekerja di mana. Apa kamu ingin menggantungkan hidup kamu pada istrimu." Ucap Radit dengan tatapan mengejeknya.
"Duh tidak punya malu, masih sukur om Sandro memperkerjakan dirimu. Kalau tidak kerja di tempat om Sandro mau kerja di mana kamu." Ucap Ema menatap sinis pada Revan yang duduk di sebrang meja yang ada di depannya.
Revan cuma diam dan tersenyum, pria itu sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan atau pun ejekan mereka.
Nadin dan Siska diam saja, mereka berdua tidak mau ikut campur urusan mereka.
"Bukan begitu pa, Revan sebenarnya ingin buka usaha sendiri pa." Ucap Revan akhirnya buka suara.
"Terserah kamu, papa tidak peduli dengan apa yang ingin kamu lakukan. Papa sudah berusaha mencoba membantu kamu bekerja, dari pada kamu di rumah tidak ngapa-ngapain." Ucap Sandro yang tidak menolak pengunduran diri dari Revan.
"Cih, sok-sokan buka usaha. Jangan harap kamu minta modal dari anak ku Aurel ya." Sandra berdiri dari duduknya dan meninggalkan meja makan.
"Tenang saja ma, aku tidak akan minta modal pada istriku." Sahut Revan.
Meja makan kini hanya menyisahkan Aurel dan Revan saja, anggota keluarga lainnya sudah meninggalkan meja makan saat Sandro dan Sandra sudah terlebih dahulu meninggalkan meja makan.
"Kamu mau buka usaha apa Van?" tanya Aurel.
Baru kali ini mereka berbicara sedekat ini.
"Aku berencana mau buka bengkel," jawab Revan.
"Apa kamu butuh modal, kalau ia katakan butuh modal berapa?" tanya Aurel.
Aurel tertegun saat melihat Revan yang tersenyum.
"Aku sudah bilang, aku tidak akan meminta modal pada kamu." Jawab Revan dengan tegas.
"Insya allah modal yang aku miliki sangat cukup," lanjutnya lagi.
"Kalau kamu butuh modal lagi katakan saja, aku pasti akan bantu." Ucap Aurel.
Revan menganggukkan kepalanya untuk menenangkan Aurel.
Aurel menatap pergelangan tangannya, wanita itu menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan menatap Revan yang ada di sampingnya.
"Aku harus segera pergi bekerja, ini hari pertama aku menjalankan proyek kerja sama dengan hotel Evan grup." Pamit Aurel sambil mengambil tas miliknya yang ada di kursi kosong sampingnya.
Aurel berdiri dari duduknya , baru saja ia akan melangkahkan kakinya Revan memanggilnya terlebih dahulu.
"Aurel tunggu,"
Aurel menghentikan langkahnya yang akan meninggalkan ruang makan, wanita cantik itu membalik badannya dan tersenyum menatap Revan yang berjalan ke arahnya.
Revan melangkahkan kakinya menghampiri Aurel, kedua tangan nya ia masukkan dalam saku celana.
"Ada ada Van?" tanya Aurel dengan lembut.
"Ada yang aku lupa,"
"Apa itu?" tanya Aurel dengan dahi yang mengernyit bingung, apa yang membuat Revan lupa pikirnya.
"Ini untuk kamu." Revan menyerahkan amplop coklat ke hadapan Aurel.
"Apa ini Van?" tanya Aurel dengan wajah kebingungan menatap amplop coklat yang Revan sodorkan ke arahnya.
"Ini gaji aku, anggap saja ini nafkah pertama dari aku setelah kita menikah. Maaf baru kali ini aku memberikannya," ucap Revan dengan suara yang lirih.
Aurel tertegun sejenak menatap amplop coklat gaji Revan itu, Aurel yang tersadar pun mendorong amplop coklat itu ke arah Revan.
"Aku hargai pemberian kamu ini, jangan tersinggung bukan nya aku menolak nafkah dari kamu. Aku tahu kamu membutuhkan uang ini untuk tambahan modal kamu, nanti saja kamu memberikan uang itu kalau usaha kamu sudah berkembang." Tolak Aurel sambil menjelaskan alasannya menolak uang pemberian dari Revan, Aurel takut Revan tersinggung dengan penolakannya.
Revan bukannya tersinggung, pria itu malah tersenyum menatap istrinya.
Aurel memandang amplop coklat di tangannya, sebuah simbol pengakuan dan cinta dari Revan, suaminya.
Meski jumlahnya tidak seberapa, dia merasakan kehangatan mengalir dalam darahnya, mengetahui bahwa ini adalah bentuk dukungan Revan terhadapnya.
Saat Revan berlalu meninggalkan ruangan, Aurel tidak bisa menyembunyikan senyum yang merekah di wajahnya.
Dengan mata yang berkaca-kaca, dia membuka pelan amplop itu dan menghitung isinya. Setiap lembar uang terasa berharga, membuktikan usaha Revan untuk memulai kehidupan mereka dengan baik.
Dengan hati yang berdebar, Aurel memasukkan amplop itu ke dalam tasnya. Dia berdiri, mengambil napas dalam-dalam, dan melangkah keluar dari rumah, merasa bersemangat untuk memulai hari dengan dukungan baru dari suaminya. Kehidupan pernikahan yang baru saja dimulai sudah terasa begitu penuh harapan.
Aurel menghela napas lega saat duduk di kursi pengemudi mobil sedan yang berkilau itu. Dengan gerakan yang terburu-buru, dia memasukkan kunci ke dalam kontak dan memutar mesin. Suara mesin yang halus terdengar menenangkan bagi Aurel yang pagi ini terasa lebih gugup dari biasanya.
Wanita itu segera menekan klakson, suara pendek itu menggema di halaman rumah yang masih sepi. Pak Satpam, yang sudah siaga sejak dini hari, mendengar bunyi itu dan bergegas menuju pintu gerbang besar yang terbuat dari besi.
Dengan gerakan cepat dan efisien, ia membuka kunci dan mendorong gerbang hingga terbuka sepenuhnya.Matahari baru saja merangkak naik, sinar-sinarnya yang lembut menyinari jalan setapak menuju garasi.
Aurel menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Mobilnya perlahan meluncur keluar dari kediaman yang telah menjadi saksi bisu atas berbagai kisah hidupnya selama ini. Sambil melajukan mobilnya, pikiran Aurel melayang ke tumpukan berkas dan presentasi yang harus dia hadapi hari ini di kantor.
Aurel mematikan mesin mobilnya yang masih mengeluarkan bunyi dengungan lembut, lalu keluar dengan langkah penuh percaya diri. Sepatu hak tingginya mengetuk aspal parkiran, bergema di antara barisan mobil yang terparkir rapi.
Gedung yang menjulang tinggi di depannya tampak megah dengan kaca-kaca yang berkilauan menangkap sinar matahari. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar sebelum melangkah masuk ke dalam gedung kantor.
Lobi yang luas dan mewah menyambutnya dengan hiasan interior yang elegan. Di sana, dua sosok yang akrab sudah menantinya dengan senyum lebar.
Lusi dan Jeni, sahabat-sahabatnya, berdiri dengan tangan terbuka. Mereka berdua tampak tidak sabar untuk menyampaikan ucapan selamat yang telah lama terpendam.
"Aurel! Kamu benar-benar hebat, berhasil mendapatkan proyek dengan Evan Grup!" seru Lusi, matanya berbinar penuh kekaguman.
Jeni, dengan antusiasme yang tidak kalah, mengangguk-anggukkan kepala, rambut pendeknya ikut bergoyang.
"Kita harus merayakan ini!" tambah Jeni, tangan kirinya menyentuh lengan Aurel dengan penuh kasih sayang.
Aurel, merasakan kehangatan dari kedua sahabatnya, tersenyum lebar, menunjukkan barisan gigi yang rapi.
"Terima kasih, kalian. Tanpa dukungan kalian, aku mungkin tidak akan sejauh ini," balas Aurel, suaranya bergetar sedikit oleh emosi.
Mereka bertiga kemudian berpelukan erat, sebuah simbol solidaritas dan persahabatan yang telah terjalin lama, menguatkan Aurel di tengah pencapaian besarnya.
Ketiga wanita itu masuk ke dalam lift dengan langkah yang bersemangat. Aurel, Lusi, dan Jeni menekan tombol lantai 23, tempat dimana ruangan divisi pemasaran mereka berada. Sesampainya di lantai 23, pintu lift membuka dan mereka melangkah keluar dengan gembira.
Namun, langkah Aurel terhenti ketika suara lembut memanggil namanya dari belakang.
"Aurel," panggil suara itu sekali lagi. Aurel membalikkan badannya dan matanya bertemu dengan seorang wanita yang berpakaian sangat menarik.
Wanita itu menghampiri Aurel dengan langkah anggun, sambil tersenyum manis.
"Aurel, Pak Radit memanggilmu," kata wanita itu dengan suara yang merdu.
Aurel mengangguk, merasa sedikit gugup namun juga penasaran apa yang diinginkan Pak Radit darinya.
Dengan langkah yang sedikit berat, ia berpamitan sejenak kepada Lusi dan Jeni sebelum mengikuti wanita berpakaian seksi itu menuju ruangan Pak Radit.
Aurel menghela napas dalam-dalam sebelum mengangkat tangannya mengetuk pintu yang terbuat dari kayu mahoni itu.
Sebuah suara berat dan tegas terdengar dari balik pintu, "Masuk!"
Perlahan, Aurel membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi dengan aroma kopi segar dan buku-buku bertumpuk.
Matanya segera tertuju pada Radit yang sedang duduk di balik meja kerjanya yang besar, sibuk dengan tumpukan dokumen.
Di sisi lain ruangan, Ema, duduk dengan anggun di sofa kulit, senyum sinis terkembang di bibirnya saat melihat Aurel memasuki ruangan.
"Silakan duduk, Aurel," ujar Radit sambil menunjuk ke arah kursi di depan meja kerjanya.
Aurel menarik kursi dan duduk, mencoba menyembunyikan gugup yang mulai merayap di dadanya.
Sekretaris Radit, dengan gerakan yang terlatih, menutup pintu ruangan dari luar, meninggalkan ketiganya dalam suasana yang tiba-tiba terasa menggantung.
"Ada apa kamu memanggil saya Dit, eh maksud saya pak?" tanya Aurel sambil meralat panggilannya terhadap Radit.