Hampir separuh dari hidupnya Gisell habiskan hanya untuk mengejar cinta Rega. Namun, pria itu tak pernah membalas perasaan cintanya tersebut.
Gisell tak peduli dengan penolakan Rega, ia kekeh untuk terus dan terus mengejar pria itu.
Hingga sampai pada titik dimana Rega benar-benar membuatnya patah hati dan kecewa.
Sejak saat itu, Gisel menyerah pada cintanya dan memilih untuk membencinya.
Setelah rasa benci itu tercipta, takdir justru berkata lain, mereka di pertemukan kembali dalam sebuah ikatan suci.
"Jangan sok jadi pahlawan dengan menawarkan diri menjadi suamiku, karena aku nggak butuh!" ucap Gisel sengit
"Kalau kamu nggak suka, anggap aku melakukan ini untuk orang tua kita,"
Dugh! Gisel menendang tulang kering Rega hingga pria itu mengaduh, "Jangan harap dapat ucapan terima kasih dariku!" sentak Gisel.
"Sebegitu bencinya kamu sama abang?"
"Sangat!"
"Oke, sekarang giliran abang yang buat kamu cinta abang,"
"Dih, siang-siang mimpi!" Gisel mencebik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Gisel makan sate tersebut dengan lahapnya, hal itu tak luput dari perhatian Rega. Ia senang, rasanya seperti de javu. Mereka dulu sering makan berdua seperti ini.
"Ini kelebihan satu, buat kamu kalau mau!" ucap Gisel setelah menghitung jumlah potongan daging dalam satu tusuk sate yang akan ia makan.
Rega mengangkat piringnya lalu menyodorkannya pada Gisel. Hal yang sama selalu ia lakukan dulu.
"Sini!" ucap Rega.
Gisel melepas satu potongan daging pada tusuk satennya lalu menaruhnya ppada piring Rega.
Meski selalu merasa aneh dengan tingkah Gisel, namun Rega sama sekali tidak pernah protes. Justru ia merasa gemas dengan tingkah istrinya tersebut. Yang menurutnya unik dan langka. Perlu di lestarikan sebenarnya.
Dulu, Rega sama sekali tak pernah marah, ia selalu menuruti kemauan Gisel. Sekalipun Gisel salah, ia tak pernah berkata kasar atau marah.
Mungkin karena terlalu memanjakan gadis itulah yang membuat Rega dulu kewalahan sendiri saat mencoba membuat Gisel mengerti kalau hidup bukan hanya soal dirinya saja.
Ia merasa bersalah akan perubahan yang ada pada gadis itu sejak remaja. Karena obsesinya gadis itu menjadi berpikiran sangat sempit. Rega takut suatu saat Gisel akan menyesal jika terus Seperti itu. Hingga pada akhirnya ia mengambil keputusan yang fatal akibatnya.
Rega tak pernah menyangka jika Gisel akan memutuskan untuk pergi keluar negeri kala itu, mengingat sikap anak itu yang sangat manja. Tidak mungkin bisa jauh dari keluarga terutama dirinya. Tapi, ternyata dugaannya salah. Gisel nekat pergi seorang diri di tempat yang bisa di bilang cukup asing baginya meskipun Senja dan Elang sering bolak-balik ke Paris untuk urusan pekerjaan.
Pernah dulu Rega ada acara seminar di Paris. Diam-diam ia melihat gsiel meski hanya dari jauh. Karena tahu gadis itu benci dengannya dan sudah pasti akan menolak bertemu dengannya, Rega memutuskan hanya melihat wanita tersebut dari jauh. Ia ingin memastikan jika Gisel baik-baik saja. Setidaknya ha itu bisa sedikit mengurangi rasa bersalahnya terhadap Gisel.
Jika melihat kesuksesan yang kini Gisel capai, Rega tak ingin mengatakan jika ia menyesal atas keputusannya dulu. Karena keputusannya menjadi pecut buat Gisel untuk menjadi seperti sekarang ini. Yang mungkin tidak akan gadis itu capai jika pandangannya masih hanya fokus padanya.
Dan kini, saatnya Rega berusaha untuk membuat gadis itu kembali mencintainya dalam versi yang berbeda tentunya. Bukan hanya cinta monyet ataupun obsesi belaka. Melainkan cinta yang sesungguhnya. Meski ia tahu itu tidaklah akan mudah.
"Kenapa nggak di makan yang itu?" tanya Rega saat melihat meletakkan satu tusuk sate yang tak jadi ia makan setelah dihitung.
"Malas, cuma ada tujuh. Gimana sih kang satennya, ngak benar ngitungnya!" ucap Gisel. Ia mengambil tusuk sate yang lainnya yang jumlahnya delapan.
"Ya mungkin karena yang antre banyak, jadi dikira-kira aja sama kang satennya. Lagian kenapa sih harus delapan? kan sama aja rasanya, dek?"
"Emang harus ada alasan? Bawel deh tanya-tanya. Dulu aja nggak gitu," Protes Gisel.
"jadi kamu suka abang yang dulu?" tanya Rega.
"Tahu ah!" sahut Gisel yang merasa terjebak dengan ucapannya sendiri.
Rega memberikan sate bagiannya yang masih ada dua tusuk kepada Gisel, "Sini yang itu tukar sama punya abang," ucapnya.
Gisel memberikannya, "Belinnya cuma satu porsi sih, di bagi dua lagi. Ngirit amat, mana uangnya pinjam lagi," sindir Gise.
Rega hanya tersenyum menanggapinya. Dalam hati ia membenarkan ucapan Gisel, kenapa ia hanya membeli satu porsi tadi.
Tadi sih ia mikirnya makan seporsi berdua dengan Gisel akan romantis. Tapi, pikirannya salah karena sate bisa di makan sendiri-sendiri. Dan salahnya lagi, dia malah mengambil nasi di dua piring. Harusnya satu piring saja, ia menyesalkan hal itu.
Rega selesai terlebih dahulu makannya. Ia menunggui Gisel yang masih asyik mengunyah. Tiba-tiba saja bel apartemnnya bunyi tepat saat Gisel selesai makan. Ia bangkit dari duduknya untuk membuka pintu.
Tapi, melihat siapa yang ada di depan pintu melalui monitor yang ada di pintu, Gisel urung membukanya. Ia kembali masuk.
"Pacar kamu, tuh datang. Malas aku bukan pintu. Buka sendiri sana, aku mau ke atas!" ucap Gisel.
"Pacar? jangan ngawur, dek. Kamu itu istriku!" ucap Rega namun Gisel tak menggubris. Ia memilih naik ke kamar.
Rega yang penasaran siapa yang di maksud Giselpun membukakan pintu, "Dira?"
"Aku bawain makn malam buat kamu, Ga. Kamu pasti belum makn, kan?" Nandira menyerobot masuk poadahla Rega tak mempersilakannya untuk masuk.
"Aku udah makan, ra. Baru aja selesai. Kamu bawa saja itu kembali," ucap Rega. Nandira menghentikan langkahnya, ia mmeperhatiukanm di meja makan aada dua piring bekas makan. Ia jadi kesal, sepertinya memang benar di apartemen Rega ada orang lain yang katanya istrinya itu, pikirnya.
Nandira melihat ke sekeliling, ia tak mendapati siapapun di sana, "Sial, seperti apa sih istrinya, pakai diumeptin segala!" batinnya.
Padahal, Rega sama sekali tak menyembunyikan status pernikahannya maupun Giselnya. Hanya saja, menang ia merasa tidak perlu untuk menjelaskan apapun soal siapa istrinya kepada Nandira.
Nandira meletakkan ranntang yang ia bawa di atas meja dnegan sedikit keras, "Inu buat kamu, aku balik, ga!" ucap Nandira.
"bawa aja, ra. Aku udah makan sama istriku," sahut Rega.
"Buat kamu aja, bisa buat sarapan besok di angetin. Aku pulang!"
Setelah sampai apartemnnya, Nandira, mengumpat kebodohannya. Harusnya dia bisa sedikit basa-basi tadi untuk menanyakan istri Rega. Bilang saja mau kenal dengan istrinya, ah Nandira keburu cemburu tadi saat melihat bekas makan Rega dan istrinya.
Rega masuk ke dalam kamar setelah mencuci peralatan makannya. Untuk hal-hal kecil seperti itu menang Rega selalu mandiri sejak kecil. Pembantu hanya akan datang sesekali untuk membersihkan apartemen yang memang selalu rapi dan bersih tersebut.
"Udah pulang pacarnya?" tanya Gisel ketus saat melihat Reag masuk.
Rega berjalan mendekat, "Kenapa? cemburu, ya?" tanyanya sengaja memancing.
"Apaan sih, siapa juga yang cemburu? aku nggak suka aja kalau kalian pacaran di sini, bagaimanapun aku istri kamu. Selama aku tinggal di apartemen ini, aku haramkan wanita itu kesini! Cari tempat lain kalau mau pacaran!" ucap Gisel.
"Oh, kirain cemburu," Rega naik ke ranjang, ia merebahkan diri di samping sang istri.
Gisel hanya melirik suaminya sekilas, "Kenapa nggak di nikahi itu pacarnya? kasihan cuma di jadikan status pacar, tapi malah nikah sama aku," sindirnya.
"Tidur, dek udah malam. Nggak usah membicarakan orang lain dalam rumah tangga kita," ujar Rega menasihati Gisel.
Gisel mencebik, "Segitunya nggak mau pacarnya di sebut sama aku. Kalau mau tidur, ya tidur aja. Ini masih jam berapa, aku masih ada kerjaan," ujar Gisel, ia menyingkap selimut yang menutup sebagian kakinya lalu beranjak.
...****************...