Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Dingin dan Tak Tersentuh
Racun yang diberikan Angelic..
Di kamar yang hanya diterangi cahaya remang-remang, Ruby membolak-balik botol kecil yang berisi cairan hijau. Matanya menyorot tajam, memeriksa setiap detail dari botol tersebut.
"Untuk apa Angelic memberikan ini padaku?" gumamnya dengan pelan, nada suaranya penuh kecurigaan. Dia menduga-duga berbagai kemungkinan, termasuk satu yang paling menakutkan: "Apa jangan-jangan mereka mau meracuni Dominic?"
Ruby menggenggam erat botol itu, takut akan akibat yang mungkin terjadi jika cairan tersebut jatuh ke tangan yang salah. Dia tahu betul bahaya yang mengintai jika racun itu sampai digunakan. Dengan keputusan yang berat, dia memutuskan untuk tidak mematuhi perintah Angelic yang menyuruhnya memberikan botol itu kepada pelayan.
"Lebih baik aku simpan dulu, aku harus tahu apa yang akan mereka lakukan dengan cairan di dalam botol ini," lanjutnya bergumam. Ruby menatap lekat-lekat. "Tapi..... bagaimana jika ini bukan racun? Bisa saja ini sangat penting dan harus segera diberikan kepada pelayan."
Ruby menghela nafas kasar. Dia merasa bingung harus melakukan apa sekarang. Ruby sungguh takut, dia takut melakukan kesalahan yang akan berakibat fatal.
Pada akhirnya, Ruby memilih menyembunyikan botol racun itu di dalam laci meja riasnya yang paling dalam, menutupinya dengan pakaian dan barang-barang lain agar tidak mudah ditemukan.
Setiap detik terasa begitu berat, pikirannya terus melayang pada keamanan Dominic, suami dinginnya yang mungkin menjadi sasaran dari komplotan berbahaya ini. Ruby berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan memberikan botol berisi cairan hijau itu, apa pun yang terjadi.
"Ck, jika cairan hijau itu benar-benar racun, artinya mereka adalah orang-ornag yang sungguh mengerikan."
...****************...
Keesokan harinya.
Ruby menatap Dominic dari kejauhan, matanya mengikuti setiap gerakan pria itu yang tampak kesepian di sudut ruangan. Suasana hati Ruby bercampur antara simpati dan kebingungan, melihat suaminya yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini tampak terlantar tanpa dukungan.
Dalam diam, Ruby menghampiri Dominic yang tengah menyesap minumannya secara perlahan. "A-apakah kau baik-baik saja?" tanya Ruby dengan lembut, mencoba memecahkan tembok es di antara mereka.
Dominic mengangkat pandangannya, matanya yang semula hampa perlahan menajam saat menatap Ruby. "Jangan mendekatiku," jawabnya, suaranya serak. "Habiskan saja waktumu tanpa menggangguku, benalu!"
Ruby menelan ludah kasar mendengar ucapan Dominic. Padahal dia hanya ingin bisa bicara dengan pria dingin itu.
"Tunggu apa lagi kau!? Cepat pergi dari hadapanku!" Dominic mengusirnya lagi, namun Ruby masih berdiri di hadapan pria itu.
"Dominic, aku hanya ingin berteman denganmu. Aku tidak pernah sedikitpun berpikiran untuk menjahatimu," ungkap Ruby.
"Aku tidak butuh teman. Bagiku kalian semua adalah benalu, pengganggu ketentramanku!" balas Dominic.
Meskipun ucapan Dominic sangat kasar, Ruby tetap berdiri di sana. Dia tahu, apa pun yang Dominic lakukan sekarang, adalah bentuk pertahanannya terhadap orang asing.
Ruby semakin penasaran apa yang telah terjadi pada Dominic, sehingga pria itu menjadi sangat dingin.
"Kau tidak mau pergi? Biar aku saja yang pergi! Kau membuatku muak, Ruby!" kata Dominic. Tanpa menunggu jawaban Ruby, pria itu melangkah pergi begitu saja.
"Ck, dasar pria dingin! Tunggu sampai aku membuatmu jatuh cinta!" gerutu Ruby, menatap punggung Dominic yang semakin menjauh dan menghilang di balik pintu sebuah ruangan.
Ruby sendiri merasa heran dengan dirinya. "Untuk apa aku selalu mencoba bicara dengannya? Padahal dia tidak butuh teman, dia tidak mau bicara dengan siapa pun."
Ruby menghela nafasnya, dia menatap gelas yang baru saja Dominic tinggalkan. "Ck, menyebalkan sekali!"
...****************...
Pukul 2 dini hari.
Dominic memasuki kamarnya. Pria itu merasa jengkel karena Ruby sekarang menguasai kamarnya, namun dia tidak pernah mencoba mengusir Ruby dari kamar itu.
Dominic berdiri di samping ranjang dan menatap Ruby yang sudah terlelap. Wajahnya yang tenang dalam tidur, membuat Dominic terdiam.
Dominic teringat bagaimana Ruby selalu berusaha mendekatinya, mencoba untuk memahami dirinya. Namun, Dominic selalu bersikap dingin dan cuek, menolak untuk membuka hati.
Namun, Dominic tidak merasa bersalah karena telah menyakiti Ruby, dia tidak akan membiarkan dirinya jatuh cinta.
"Di dunia ini tidak ada yang namanya cinta. Semuanya hanya tipu daya untuk memusnahkan seseorang," gumam Dominic.
Dominic lalu berjalan ke meja rias dan membuka laci di meja rias. Matanya tertuju pada sebuah botol kecil yang tersembunyi di balik tumpukan kain. Dia meraih botol itu dan menatapnya dengan lekat.
"Ternyata dia menyembunyikannya?" gumam Dominic, sambil menatap Ruby yang sedang lelap.
Dominic mengetahui tentang pesan dari Angelic, yang meminta Ruby untuk memberikan racun itu kepada pelayannya. Keluarga Larsen benar-benar ingin menyingkirkan Dominic, karena menganggap Dominic adalah ancaman bagi kekuasaan keluarga mereka, ditambah lagi ada yang mengatakan bahwa Dominic adalah anak terkutuk.
"Apa dia tahu cairan ini adalah racun?" gumam Dominic, tatapannya masih tertuju pada Ruby. "Bagaimana dia mengetahuinya?"
Dominic kini merasa bingung. Kenapa Ruby tidak memberikan racun itu kepada pelayannya? Apakah yang Ruby rencanakan? Apakah dia berencana untuk menyelamatkannya, atau sebaliknya?
Dominic tidak bisa memahami pikiran Ruby. Dia tidak mengenal Ruby, dia tidak mengetahui sifat Ruby. Namun, dia tidak pernah mengira bahwa Ruby berani tidak mematuhi perintah Angelic yang memintanya memberikan racun itu.
Dominic menutup kembali laci meja rias dan menatap Ruby dengan tatapan yang sulit dibaca. Dia merasakan perasaan yang aneh di dalam hatinya.
Dominic tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tidak mempercayai siapa pun. Dia merasa terjebak dalam dilema.
Dominic menghela nafas kasar. Dia lalu meninggalkan kamar itu, meninggalkan Ruby yang sedang terlelap.
Di luar kamar, Robin menghampiri Dominic. Pria itu membawa dua gelas kopi dan mengajak Dominic duduk di balkon.
Robin menyesap kopinya, lalu dia memulai percakapan. "Tuan, orang-orang mulai penasaran dengan klan kita. Mereka mencoba mencari informasi tentang pimpinan Klan. Apa yang harus aku lakukan?"
"Seperti biasa, habisi mereka semua!" jawab Dominic, suaranya terdengar dingin, tak ada belas kasihan.
Robin mengangguk paham. Kemudian dia mencari topik lain. "Kenapa kau tidak mencoba membukan hati, Tuan Dom?"
Dominic mengerutkan keningnya. "Membuka hati untuk?"
"Nyonya Ruby, dia istrimu sekarang," jawab Robin.
"Tidak ada cinta, jangan memulai jika tidak mau berakhir sakit," sahut Dominic dengen tegas.
...****************...