pemuda bernama KaptenHanz baru saja memasuki sekolah barunya di SMA Zamen dengan kehidupan sederhana tinggal pada semacam kos bersama temannya dari kecil iyann selalu di samping KaptenHanz
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KaptenHanz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal baru di SMA Zamen
Pagi itu, udara masih segar di distrik D. Matahari baru saja menyapa cakrawala, sinarnya lembut membasuh kota yang mulai sibuk dengan aktivitas pagi. Di taman pusat kota, dua pemuda berlari mengitari lintasan, napas mereka terdengar berirama.
“KaptenHanz, kita ini udah anak SMA sekarang, loh. Rasanya gak kerasa banget,” ucap Iyann, suaranya sedikit terengah.
KaptenHanz tersenyum tipis, tatapannya lurus ke depan. “Hidup ini gak pernah berhenti, Iyan. Kita cuma bisa berjalan maju, menerima apa pun yang menunggu di depan.”
Iyann tertawa kecil, meski langkahnya mulai melambat. “Udah hampir jam enam, KaptenHanz. Kita sudahi dulu. Jangan sampai hari pertama sekolah malah bikin telat.”
“Benar juga,” sahut KaptenHanz dengan nada bercanda. “Gak lucu kalau hari pertama udah bikin malu.” Mereka tertawa, lalu berlari kecil menuju kos sederhana yang mereka tinggali.
---
Kos itu penuh kehidupan pagi ini. Beberapa pemuda berkumpul di depan kamar mereka, tertawa dan berbincang. Saat KaptenHanz dan Iyann tiba, salah seorang tetangga menyapa hangat.
“Iyann, KaptenHanz, semangat ya untuk hari pertamanya!”
“Terima kasih, Kak!” jawab mereka serempak, senyum menghiasi wajah keduanya. Setelahnya, mereka masuk ke kamar masing-masing.
KaptenHanz segera membuka lemari kecilnya. Di sana tergantung seragam SMA baru, lengkap dengan dasi biru tua. Ia memandangnya sejenak sebelum mengambil dan mengenakannya.
“Rapi, wangi, dan siap untuk hari pertama,” gumamnya sambil meraih tas hitam yang sudah ia siapkan sejak malam. Ia melangkah keluar, lalu mengetuk pintu kamar Iyann.
“Iyann, udah siap belum?” tanyanya.
“Sebentar!” sahut suara dari dalam. Tak lama kemudian pintu terbuka, memperlihatkan Iyann yang juga sudah rapi dengan seragamnya. “Udah aman semua. Ayo kita jalan.”
Mereka berjalan berdampingan menyusuri trotoar yang mulai ramai. SMA Zamen, tujuan mereka, tampak dari kejauhan. Gedungnya megah, perpaduan warna putih dan abu-abu yang elegan, dikelilingi taman asri yang terawat. Ini adalah sekolah bergengsi, tempat para siswa berbakat dan anak-anak dari keluarga terpandang berkumpul.
“Udah sembilan tahun kita bareng ya, KaptenHanz. Dari SD sampai sekarang,” ucap Iyann tiba-tiba.
KaptenHanz menoleh, senyumnya lembut. “Dan aku harap, sembilan tahun lagi pun kita masih bareng.”
Mereka terus melangkah, menikmati obrolan santai hingga akhirnya bel sekolah berbunyi.
“Ayo, cepat! Kita gak boleh terlambat!” Iyann setengah berlari, sementara KaptenHanz tertawa kecil di belakangnya, menikmati kepanikan sahabatnya itu.
---
Ruang kelas mereka perlahan dipenuhi siswa-siswa baru. Suasana yang tadinya sepi mulai ramai dengan obrolan ringan. KaptenHanz dan Iyann duduk bersebelahan di barisan tengah, tas mereka diletakkan di atas meja.
“Syukur banget kita bisa masuk lewat beasiswa, ya,” ujar Iyann sambil melirik sekeliling. “Sekolah ini keren banget.”
“Betul,” sahut KaptenHanz, menatap tembok bercat bersih. “Kita gak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.”
Tak lama kemudian, pintu kelas diketuk. Seorang siswa berseragam OSIS masuk. “Semua siswa baru diminta berkumpul di aula sekarang,” perintahnya dengan tegas.
“Aku yakin ini MPLS,” bisik Iyann pada KaptenHanz saat mereka berjalan menuju aula bersama siswa-siswa lain.
“Pasti. Tapi kita lihat aja, mungkin beda dari yang dulu,” jawab KaptenHanz sambil tersenyum tipis.
---
Aula OSIS itu luas, dengan panggung megah di tengah. Di sana, berdiri seorang pria berkacamata yang langsung menarik perhatian. Sosoknya gagah, dengan suara tegas yang terdengar jelas di seluruh ruangan berkat mikrofon.
“Saya kepala sekolah kalian, Pak Dito. Selamat datang di SMA Zamen. Semoga hari ini menjadi awal yang baik untuk kalian semua,” ucapnya penuh wibawa. “Semua sudah membawa peralatan yang diminta?”
“Sudah, Pak!” seru para siswa serempak.
Pak Dito menjelaskan bahwa MPLS tahun ini akan berbeda. Para siswa diminta menginap semalam di lingkungan sekolah, tepatnya di lapangan sepak bola yang luas. Wajah-wajah baru di aula terlihat beragam—ada yang antusias, ada pula yang tampak cemas.
Setelah itu, Ketua OSIS mengambil alih. Seorang siswa bernama Erga, dengan penampilan karismatik dan suara yang memikat, memperkenalkan diri. Beberapa siswi langsung ribut menggodanya.
“Kak Erga punya pacar gak?” salah satu dari mereka berteriak, diikuti gelak tawa teman-temannya.
Erga tersenyum kecil. “Udah, namanya Vika. Dia wakil OSIS di sini.”
Jawaban itu langsung mematahkan semangat para penggemarnya. Namun, sesi itu tak berlangsung lama. Erga segera menjelaskan peraturan MPLS dan membagi waktu 20 menit bagi semua siswa untuk mengambil perlengkapan dari kelas masing-masing.
---
Di lapangan sepak bola yang luas, para siswa mulai mendirikan tenda. KaptenHanz dan Iyann memilih tempat bersebelahan, seperti kebiasaan mereka sejak dulu.
“KaptenHanz, liat deh. Anak-anak di sini ganteng dan cantik semua. Mereka kayaknya anak-anak orang kaya,” gumam Iyann, sedikit minder.
“Jangan pernah merasa kecil, Iyan,” jawab KaptenHanz, menepuk pundak sahabatnya. “Kita harus bersyukur dengan apa yang kita punya. Mungkin, suatu saat nanti, kita akan lebih hebat dari mereka.”
Iyann tersenyum, rasa minder itu perlahan menghilang. “Kamu bener. Makasih ya, KaptenHanz.”
KaptenHanz hanya mengangguk, lalu memberi isyarat jempol. Bersama siswa-siswa lain, mereka melanjutkan tugas mendirikan tenda di bawah langit sore yang cerah. Suasana mulai penuh dengan canda dan tawa. Hari pertama di SMA Zamen resmi dimulai—dan ini hanyalah awal dari petualangan besar yang menanti