Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Aku dan bang David duduk di kursi teras depan rumah. Baiklah, mungkin tiga puluh menit sudah sangat lama untuknya berbicara padaku.
Entah apa yang akan lelaki itu bicarakan. Aku tunggu saja.
"Ann ...." Bang David memanggilku lirih.
Aku menoleh, menatapnya. Ternyata dia tengah menatapku dengan begitu dalam. Andai aku bisa tertarik oleh tatapan itu, tentu saja aku telah masuk ke dalam kedua bola matanya. Untunglah, itu hanya khayalan konyolku saja.
"Ya ...." Aku membalas dengan mata terbuka lebar.
"Apa, kamu bisa mengambilkan aku air putih. Haus." Ucap lelaki itu dengan tangan mengelus lehernya.
Aku segera berdiri, menuju dapur untuk mengambilkan minum.
"Ada siapa?"
"Eh ibu .., ada bang David." Ibu mengangguk lantas berlalu meninggalkanku.
Aku kembali ke teras dengan membawa nampan berisi air minum. Setelah meletakkannya di meja, aku pun kembali duduk di kursi.
Bang David langsung menyambar gelas yang berisi air mineral, menegkunya dengan cepat dan sekali tandas.
Aku melongo dibuatnya. Sepertinya orang ini sangat kehausan.
Aku berdehem, mengalihkan perhatian lelaki itu. "Abang ke sini, mau bicara apa?"
"Iya, sabar ... baru juga nyampe," jawabnya santai.
Ealah, bukannya langsung bilang gitu mau ngapain. Sebenarnya penting enggak sih, yang akan dibicarakannya ini?
Aku mulai jenuh, lelaki itu tidak juga bersuara. Hanya terdengar helaan napas beratnya saja.
Aku menggoyangkan kaki. Hari semakin sore. Namun, belum ada tanda-tanda Alina akan pulang. Lantas, akupun mendesah.
"Ann, kamu cantik." Aku melirik ke arah bang David. Tampak lelaki itu tengah menatapku.
"Apa jauh-jauh ke sini, hanya untuk bicara itu?"
"Hmm, sebenarnya enggak, sih. Ada yang lain. Tapi Abang bingung mau mulai dari mana?" Bang David menggaruk kepalanya. Entah gatal atau enggak. Aneh.
Eh, sejak kapan sih, lelaki itu terlihat salah tingkah begini?
Aku menghadapnya ... menunggu apa lagi yang akan dia katakan.
"Anna ...." panggilnya lirih.
"Iya ...?"
"Bagaimana tentang hubungan kamu dengan Adrian?"
Sejak tadi, aku masih terkaget dengan semua ucapan yang terlontar darinya. Cantik, lalu sekarang tentang hubungan aku dengan pak Adrian. Ada apa dengannya?
"Ann ...." panggilnya lagi, sekarang terdengar sedikit menuntut. Apakah dia sepenasaran itu?
"Hubungan kami baik. Terimakasih telah memikirkannya."
Bang David menganggukkan kepala beberapa kali, satu tangannya memegang dagu. Tatapannya menerawang jauh ke depan.
"Sama-sama." Suaranya terdengar kecewa. Lalu, dia menghela napas panjang.
"Anna ...." Panggilnya lagi tanpa menoleh padaku. "Adrian udah ngajakin kamu nikah, ya? Kamu, udah nerima dia?"
Dari sini aku mulai paham ke mana arah pembicaraan ini. Dia seperti seorang mantan suami yang sedang mengawatirkan mantan istrinya. Baiklah.
"Ya ...." Hanya jawaban itu yang keluar dari mulutku. Rasanya apapun jawaban yang aku berikan pada pak Adrian tidak ada hubungannya dengan dia, kan?
"Jadi, tidak ada kesempatan untukku lagi ya?"
Ha? Apa maksudnya?
"Kesempatan itu selalu ada untuk Abang." Sontak tatapan itu beralih padaku.
Tatapan penuh tanya sekaligus penuh harap di sana. Aku membuang pandangan ke depan, menatap hari yang mulai menguning, sebab senja yang kian berlalu.
Matahari selalu setia menerangi hari, tanpa lelah tanpa meminta kembali. Sayangnya, cintaku tak sekuat panasnya sinarnya di siang hari. Panas yang kadang mampu membakar kulit penghuni bumi. Cintaku begitu hangat, yang mampu membakar diriku sendiri. Dan aku telah terluka oleh kobaran panas di dalamnya.
Hingga, kau menyerah. Menanti mentari pagi yang memberikan sinar hangatnya. Dan untuk ke sana, aku butuh melewati dinginnya malam. Sayangnya, saat pagi telah datang, Bang David telah pergi lalu berganti Pak Adrian yang selalu siap siaga melindungiku dari sengatan panasnya mentari itu.
Aku tahu, lelaki di sebelahku ini tersenyum. Mungkin mengira kesempatan itu benar masih ada untuknya saat ini.
"Sayangnya, Abang telah menyia-nyiakan kesempatan itu. Sampai tak ada sisa waktu sedikitpun," lanjutku dengan pandangan masih menatap jauh ke depan.
"Ah ..., aku kalah. Bahkan sebelum berperang," ujarnya penuh penyesalan.
"Seringkali kesempatan dan cinta bukanlah sebuah peperangan di medan laga. Dia hadir pada waktu yang sering tidak disadari. Dan saat semua telah menjadi nyata dalam hati, seseorang itu telah pergi atau mungkin kesempatan itu telah disia-siakannya."
"Ya ... dan, aku rasa baru kali ini juga kita berbicara tanpa harus bertengkar."
Aku mengangguk setuju tentang itu. Biasanya hanya perdebatan tak berujung yang kami lakukan. Entah untuk apa sebenarnya? Aku hanya merasa selalu ingin dimengerti, selalu ingin dia tahu jika aku mencintainya.
Perasaan ini sungguh berbeda saat aku bersama pak Adrian. Lelaki itu selalu memberikan aku kesempatan untuk hal apapun, sampai pada saat aku ingin menyendiri. Dia selalu tentang apa yang aku inginkan. Ah, tiba-tiba saja aku rindu dia.
"Perdebatan panjang itulah, yang akhirnya membuat aku merindukanmu. Aku rindu berdebat, bertengkar pada hal-hal yang sepele denganmu, Ann. Aku rindu semua tentangmu."
"Mungkin, Abang juga duku berkata begitu saat kita masih menikah. Selalu merindukan sosok Alina yang Abang cintai."
"Maafkan aku soal itu." Suaranya bergetar, matanya memerah.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua telah berlalu, Bang. Sekarang saatnya kita melakukan hal terbaik yang kita bisa pada pasangan masing-masing. Abang pada Alina, dan aku pada Pak Adrian."
"Tapi --"
"Cerita kita telah usai, Bang. Bersamaan dengan ketukan palu di meja pengadilan. Kisah kita telah usai." Entah apa yang membuatku bersedih. Namun, lagi-lagi saat aku mengingat bahwa aku pernah menikah dan diabaikan, hatiku kembali nyeri. Air mataku mengalir lagi.
Cepat aku menyeka air mata yang membasahi pipi. Menunduk, menyembunyikan wajah yang mungkin telah memerah.
Siapa sangka, hal itu malah membuat Bang David berjongkok di depanku. Dia menggenggam tanganku erat.
"Anna, aku sungguh-sungguh meminta maaf padamu. Aku ingin membenahi semua kesalahan yang telah aku lakukan padamu. Beri aku kesempatan sekali saja, Ann."
Aku menggeleng lemah. Mungkin, jika saat itu aku memberikan kesempatan kepadanya. Kisah kami akan berbeda. Kami masih bersama merajut asa dan membenahi segala kesalahan yang telah dilakukan.
Namun, semua kisah telah berlalu.
Bang David menyeka air mataku, membenamkan kepala dalam dada bidangnya. Tanpa bisa dicegah, aku menghirup aroma tubuhnya dalam.
"Bang ...." Aku berusaha mengurai pelukan bang David. Namun, dia malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Bang ...." Aku mendorongnya lagi. Sampai dia mau melepaskan pelukannya padaku.
"Maaf," lirihnya. Cepat dia membuang wajah, menghapus jejak basah di wajahnya. Dia menangis. Lelaki angkuh itu menangis. Ini pertama kalinya aku melihat dia menangis.
Sejenak hening. Hanya terdengar isakan lirih dariku, sedangkan dia menunduk, setia menungguku menghabiskan tangis yang belum mau mereda.
"Aku permisi dulu, ya ...." Aku pun berdiri, bergegas masuk. Langkahku terayun menuju kamar mandi, aku ingin mencuci wajah menghapus sisa tangis yang mungkin akan terlihat oleh pak Adrian.
Setelah mencuci wajah dan memakai make-up tipis, aku segera keluar.
Di teras, tampak dua lelaki dewasa tengah saling berhadapan dengan suasana menegang.
"Pak Adrian ...." Aku berujar lirih. Tampak rahang lelaki itu mengeras, dengan tatapan menyorot tajam pada Bang David.
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat