Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
Amara berlari terengah-engah menuju ruang rawat inap ayahnya. Napasnya tersengal-sengal, kakinya terasa lemas. Saat ia mengintip dari pintu, hatinya mencelos. Ibunya terduduk di sisi ranjang, wajahnya pucat dan tak berdaya. Ayahnya terbaring lemah, hanya detak jantungnya yang masih berdebar lemah.
Amara mendekati ibunya dan memeluk erat. "Ma, aku sampai. Aku di sini." Suaranya gemetar, mengandung rasa takut dan sedih yang mendalam.
Ibunya hanya menangguk lemah. "Amara, Ayahmu..." Suaranya terputus-putus, diiringi air mata yang mengalir di pipinya.
Amara menenangkan ibunya. "Ma, tenang. Aku di sini menemanimu. Kita bakal lewatin ini bareng-bareng."
"Mira di mana?" tanya Amara, memandang keliling ruangan rawatnya.
"Mira di rumah. Dia lagi nggak mau urusin Ayahmu yang sakit. Dia lebih seneng pergi ke rumah teman-temannya."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Mira sudah berubah. Ia semakin menjadi-jadi.
Ketika Amara pulang dari sekolah, ia terus memeluk ibunya.
"Ma, tenang ya. Masih ada aku di sini. Aku bakal selalu menemanimu."
"Amara, kamu baik-baik aja?" tanya Ibunya, suaranya gemetar.
"Iya Ma, aku baik-baik aja. Aku kuat kok." Amara mencoba terlihat kuat di hadapan ibunya.
"Amara, kamu masih marah sama aku?"
"Marah? Nggak kok, Ma. Aku cuma sedih melihat Ayahmu begini." Amara mencoba menahan air matanya yang ingin mengalir.
"Amara, kamu berbohong. Aku tahu kamu masih marah sama aku."
Amara terdiam sejenak. Ia takut mengatakan yang sebenarnya. Ia takut melukainya lebih dalam.
"Tenang Ma, aku masih sayang sama kamu. Aku cuma sedih aja melihat Ayah begini."
Rizki, yang melihat Amara memeluk ibunya dengan erat, merasa terharu dalam hatinya. Ia tahu betapa sangat Amara mencintai orang tuanya.
"Amara, aku peduli sama kamu," kata Rizki, suaranya lembut menenangkan.
Amara menoleh ke Rizki dan tersenyum sedikit. Ia menghargai perhatian Rizki yang selalu ada untuknya.
****
"Makasih, Rizki," ucap Amara, matanya berkaca-kaca. Ia merasa terharu dengan perhatian Rizki yang selalu ada untuknya.
Tak lama kemudian, seorang perawat memanggil mereka untuk keluar dari ruang rawat. "Permisi, Ibu dan Nona, Dokter mau memeriksa pasien. Silahkan tunggu di luar."
Amara dan ibunya keluar dari ruangan. Amara menatap pintu ruangan dengan cemas. Ia tak menyadari bahwa kondisi ayahnya semakin melemah.
Beberapa menit kemudian, Dokter keluar dari ruangan. Wajahnya tampak muram. Ia menuntun Ayah Amara dengan kursi roda.
"Maaf, Ibu dan Nona. Kondisi pasien semakin parah. Kami harus membawanya ke ruangan gawat darurat."
Amara terkejut. Ia langsung memeluk Ayahnya erat. "Yah, cepat sembuh ya, Yah." Air matanya mengalir deras.
Ayahnya hanya menangguk lemah. Ia takut melihat kondisi Ayahnya yang semakin buruk.
"Hanya pasien dan petugas yang boleh masuk ke ruangan gawat darurat. Ibu dan Nona bisa menunggu di luar," kata Dokter.
Amara menunggu di luar ruangan gawat darurat dengan cemas. Ia berpegangan pada tangan ibunya. Rizki duduk di sampingnya, mencoba menenangkan Amara.
"Tenang, Amara. Semua akan baik-baik aja. Doakan Ayahmu semoga lekas sembuh."
Amara hanya menangguk lemah. Ia takut menunggu kabar dari ruangan gawat darurat. Ia takut jika terjadi sesuatu yang buruk pada Ayahnya.
"Rizki, aku takut," bisik Amara.
"Tenang, Amara. Aku di sini menemanimu. Kita berdoa bersama agar Ayahmu lekas sembuh," kata Rizki, mencoba menenangkan Amara.
Amara menangguk setuju. Ia berpegangan erat pada tangan Rizki. Ia menghargai perhatian dan kesigapan Rizki yang selalu ada untuknya.
Mereka bertiga menunggu di luar ruangan gawat darurat dengan cemas dan harap-harap cemas. Mereka berharap ada kabar baik dari dalam ruangan.
******
Jam menunjukkan pukul 12.00 malam. Amara, Ibu, dan Rizki duduk terpaku, menunggu kabar dari ruangan gawat darurat. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter keluar. Wajahnya tampak muram dan penuh kesedihan.
"Maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Namun, Tuhan telah berkehendak lain." Kata Dokter, suaranya gemetar.
Amara menjerit tak percaya. Ia tak bisa menahan tangisnya. "Ayah... Ayah..." Ia berteriak sejadi-jadinya, tak bisa menerima kenyataan yang pahit.
Ibunya juga tak bisa menahan tangisnya. Ia memeluk Amara erat, mencoba menenangkan putrinya yang sedang terpuruk dalam kesedihan.
"Amara... Tenang... Tenang, Nak..." Ujar ibunya, suaranya gemetar.
Rizki memeluk Amara dari belakang. "Tenang, Amara. Tenang. Semua akan baik-baik aja. Ini sudah rencana Tuhan."
Amara hanya bisa menangis terisak-isak. Ia tak bisa menahan kesedihannya.
Mayat Ayahnya pun dikeluarkan dari ruangan gawat darurat. Amara menangis sepanjang perjalanan menuju rumah. Ia menatap Ayahnya yang terbaring lemah di dalam mobil Avanza.
"Yah, Ayah... Aku sayang sama Ayah... Kenapa Ayah meninggalkan aku?" Tangis Amara terpecah keras.
Setibanya di rumah, Amara disambut oleh kerumunan orang-orang yang menunggu kedatangan mereka. Di antara mereka, Amara melihat Mira yang sedang menangis sejadi-jadinya.
"Kak Amara, aku sangat menyesal. Aku mohon maaf. Aku tak pernah mengingat Ayah yang sakit. Aku cuma memikirkan diriku sendiri. Aku sebenarnya tak mau meninggalkan Ayah, tapi..."
Mira tak bisa melanjutkan ucapannya. Ia hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Amara memeluk Mira erat. Ia memahami perasaan Mira. Ia tahu bahwa Mira juga merasa sangat berdosa.
"Sudahlah, Mira. Kita sama-sama menyesal. Yang penting kita sekarang bersama-sama menjalani masa berduka ini."
Amara melepaskan pelukannya. Ia memandang wajah Mira dengan tatapan yang penuh kasih sayang.
"Kita harus kuat, Mira. Kita harus menjalani hidup ini dengan tegar."
Mira menangguk setuju. Ia menatap Amara dengan tatapan yang penuh rasa hormat.
"Terima kasih, Kak Amara."
Amara tersenyum sedikit. Ia merasa terharu dengan ketulusan Mira.
"Kita bersaudara, Mira. Kita harus saling menguatkan."
Mira menangguk setuju. Ia merasa terhibur dengan kata-kata Amara.
****
Keesokan harinya, pukul 10.00 pagi, Ayah Amara dikuburkan. Amara masih diliputi kesedihan. Ia terus menangis, menyesali segala sesuatu yang belum ia lakukan untuk Ayahnya.
Ia menyesal karena belum sempat memberitahu Ayahnya tentang kehamilannya. Ia ingin sekali berbagi kebahagiaan itu dengan Ayahnya. Ayahnya pasti akan sangat senang mendengar kabar itu.
Amara juga menyesal karena belum sempat menceritakan tentang diusirnya dari rumah Mas Radit. Ia ingin mendapatkan pelukan dan kata-kata penghiburan dari Ayahnya. Ia ingin mendengar nasehat bijak dari Ayahnya.
"Yah, aku menyesal. Aku belum sempat memberitahu kamu tentang kehamilan aku. Aku juga belum sempat menceritakan tentang kehidupanku di rumah Mas Radit." Ucap Amara, menangis terisak-isak.
Amara merasa sangat sedih dan terpuruk. Ia takut jika ia tak bisa menceritakan segalanya pada Ayahnya. Ia ingin sekali mendapatkan kasih sayang dan dukungan dari Ayahnya.
"Yah, aku sayang sama ayah." Ucap Amara, suaranya gemetar.
Amara merasa sangat kehilangan. Ia menyesali semua kesalahan yang pernah ia lakukan pada Ayahnya. Ia ingin sekali bisa kembali menjalani waktu bersama Ayahnya.
"Aku ingin menceritakan segalanya padamu, Yah. Aku ingin mendapatkan pelukan dan kata-kata penghiburan dari kamu." Ucap Amara, menangis terisak-isak.
Amara merasa sangat takut dan kesepian. Ia takut jika ia tak bisa melewatkan masa berduka ini bersama Ayahnya. Ia ingin sekali mendapatkan kekuatan dan penghiburan dari Ayahnya.
"Yah, aku sayang sama padamu. Aku takut tanpa kamu." Ucap Amara, menangis terisak-isak.
Amara merasa sangat kehilangan. Ia merasa takut dan kesepian tanpa Ayahnya. Ia ingin sekali bisa kembali menjalani waktu bersama Ayahnya.
"Yah, aku menyesal. Aku takut tanpa kamu," ucap Amara, menangis terisak-isak.
Amara menatap peti mati Ayahnya yang terbujur kaku di dalam mobil. Ia merasa sangat kesepian tanpa Ayahnya. Ia ingin sekali bisa kembali menjalani waktu bersama Ayahnya.
"Yah, aku sayang sama padamu.Aku ingin Engkau kembali. Aku menyesal tak bisa menceritakan segalanya padamu," ucap Amara, menangis terisak-isak.
Amara merasa sangat kehilangan. Ia ingin sekali bisa kembali menjalani waktu bersama Ayahnya.
Rizki melihat Amara yang sangat terpuruk. Hatinya terasa sesak melihat kesedihan yang menyergap Amara. Ia tahu betapa sangat Amara mencintai Ayahnya.
Rizki mendekati Amara dan memeluknya erat. "Amara, aku tahu kamu sedang sangat bersedih. Tapi, kamu harus kuat. Ayahmu pasti bangga melihat kamu tegar."
Amara menangis di pelukan Rizki. Ia mengucapkan terima kasih pada Rizki yang selalu memberikan semangat padanya.
Amara menangis di pelukan Rizki. Ia merasa terhibur dan terlindungi di pelukan Rizki. Ia merasa tak sendiri dalam menjalani masa berduka ini. Ia memiliki Rizki, orang yang sangat ia sayangi.
"Terima kasih, Rizki. kau sangat peduli padaku."
Rizki tersenyum. sama - sama, Amara."
Rizki menarik Amara ke dekat dan memeluknya erat. Ia mencoba menenangkan Amara dengan sentuhan lembut di punggungnya.
"Tenang saja, Amara. Ayahmu pasti bahagia melihat kamu kuat."
Amara menangis di pelukan Rizki. Ia merasa terhibur dan terlindungi di pelukan Rizki. Ia merasa tak sendiri dalam menjalani masa berduka ini. Ia memiliki Rizki, orang yang sangat peduli padanya di masa sesukar ini.
Mereka berpelukan sejenak, mencari kekuatan satu sama lain. Rizki berharap bisa memberikan semangat pada Amara untuk melewati masa berduka ini.