Kisah ini berasal dari tanah Bugis-Sulawesi yang mengisahkan tentang ilmu hitam Parakang.
Dimana para wanita hamil dan juga anak-anak banyak meninggal dengan cara yang mengenaskan. Setiap korbannya akan kehilangan organ tubuh, dan warga mulai resah dengan adanya teror tersebut.
Siapakah pelakunya?
Ikuti Kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kitab Kuno
Daeng Cening yang merasa diperhatikan, kembali bergelayut mesra. Ia seolah merasa jika dunianya hanya ada Andi Enre.
Keduanya berjalan menuju sofa, dua orang wanita datang menghidangkan sarapan.
Enre melirik mereka, sepertinya memiliki usia sekitar tiga puluh tahunan.
"Silahkan dimakan, Daeng." ucap salah seorang asisten rumah tangga yang menghidangkan dua porsi sup Pallubasa dengan kuah yang masih mengepulkan asap.
Sup pallubasa sendiri menggunakan isian jeroan sapi, dengan kuah rempah yang kuat.
Daeng Cening yang melihat isian daging, jeroan dan tambahan kuning telur itu terlalu menggugahnya.
Ia terlihat mengeluarkan air liurnya, dan merasa sangat begitu lapar, serta tak sabar untuk menyantapnya.
Sedangkan seorang wanita lagi membawakan nasi putih dan juga teh hangat, lalu menyajikannya kepada keduanya, tanpa harus ke meja makan.
"Terimakasih," jawab Andi Enre pada keduanya, dan dijawab anggukan.
Setelah keduanya pergi, Daeng Cening mengaduk kuning telur yang ada diatas sup, lalu menyantapnya dengan begitu rakus.
Abdi Enre menatapnya dengan seksama, dan sesekali ia melirik kulit sang istri yang terlihat semakin pucat.
"Bagaimana dengan lukamu yang tertancap gunting?" tanya Enre dengan sangat hati-hati, sembari mengaduk kuning telurnya.
"Sudah hampir sembuh, jangan khawatirkan aku," jawab Daeng Cening dengan santai.
"Syukurlah. Tapi bagaimana bisa kamu tertancap gunting? Bukankah kita sedang tertidur, dan tidak ada gunting didalam dikamar hotel," cecar Andi Enre dengan penuh selidik.
Daeng Cening menghentikan suapannya. Lalu menatap pada pria disampingnya. "Apakah kau mulai mencurigaiku?" tanyanya balik.
"Mengapa aku harus mencurigaimu, Sayang? Aku khawatir padamu, jika saja ada orang yang berusaha menyakitimu, maka aku akan membawanya ke Polisi," elak Andi Enre.
Daeng Cening terlihat berfikir, ia ingin mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan itu.
"Aku tidak tahu, Sayang. Aku juga tau saat terbangun dari tidur. Mungkin orang yang iri mengirimkan doti-doti (santet) karena tidak senang dengan keberhasilan kita," ucapnya dengan nada meyakinkan sang suami.
"Oh, mungkin saja. Aku akan mencari Sanro yang berilmu tinggi, untuk menemukan siapa pelakunya." Enre menyuapkan sup pallubasa ke mulutnya.
Sontak saja hal itu membuat Daeng Cening tersedak.
"Uhuuuk!" ia memegang lehernya yabg terasa pedas, dan dengan cepat Andi Enre menyodorkan segelas teh manis kepada sang istri.
"Minumlah, tidak perlu sampai harus terkejut seperti itu," ucap Enre.
Daeng Cening mengambil gelas dan meneguk airnya. Setelah merasa lega ia menatap sang suami. "Tidak perlu mencari sanro, lagipula aku sudah sembuh," ia berusaha menghalangi niat Enre.
"Emmm, terserah kamu saja, Sayang. Abang hanya khawatir padamu," sahut Enre dengan mengulas senyum tipis.
*****
"Sayang, aku ingin berbelanja. Ke Mall," ucap Daeng Cening saat setelah menghabiskan sarapannya.
"Abang tidak dapat mengantarmu, ajaklah salah satu asisten rumah tangga, atau juga keduanya, dan pergilah bersama sopir. Abang sedang menghitung kalkulasi pendapatan biji emas," tolak Enre dengan halus. Ia menyerahkan dua buah kartu yang terdiri dari kartu credit dan juga kartu debit.
"Pakailah sepuasmu, dan jangan lupa bawakan oleh-oleh untukku," pesan Andi Enre dengan nada tenang. Sejak ia lembali dari rumah Ambo Uleng, pembawaannya lebih begitu tenang dan tidak tergesa-gesa.
Meski sedikit kecewa, akhirnya Daeng Cening menyetujuinya. Ia mengambil dua buah kartu yang tentu saja ia ketahui kata sandinya.
Dengan cepat ia mengajak dua asisten rumah tangganya, dan pergi bersamanya.
Setelah kepergian Daeng Cening, Andi Enre masuk ke dalam kamar. Ia memindai seluruh isinya, dari perabotan dan juga aksesoris yang ada.
Hingga matanya tertuju pada sebuah lemari pakaian yang memiliki enam pintu.
Ia berjalan ke arah sana, dan berdiri mematung didepan pintu yang menyimpan pakaian dan juga perhiasan milik Daeng Cening.
Dua pintu sudut kiri adala miliknya, dan ia mengabaikan itu.
Tangannya mulai bergerak, membuka pintu dengan cekatan, lalu memeriksa isinya.
Semua lipatan pakaian tak lepas dari pencariannya, dan ia ingin menemukan sesuatu.
Nafasnya mulai tidak teratur, dan ia merasakan deguban didadanya kian memburu, hingga akhirnya ia menemukan sebuah kotak kecil yang terbuat dari kayu dan berbalut kain hitam.
Dengan perasaan campur aduk, Andi Enre mengambil benda berbentuk kotak tersebut.
Tangannya terlihat gemetar, dan ia mencoba membuka simpul yang menjadi pembungkusnya.
Setelah simpul terbuka, ia membuka pengunci kotak kayu yang memiliki ukiran dan symbol-symbol yang sulit dimengerti.
Taaak
Tutup kotak terbuka, dan aroma minyak kelapa menguar diudara.
Sesaat Andi Enre tertegun. Ia menatap isi kotak kayu yang ditaksir berusia ratusan tahun, didalamnya terdapat sebuah kitab kuno yang dengan tulisan tangan dan berasal dari lembaran kulit kayu.
Hati Enre semakin berdesir. Ia mengangkat kutab tersebut, lalu mulai mengamati setiap tulisan yang tertera diatasnya.
Ia memberanikan diri membukanya, lalu melihat setiap rapalan mantra yang tertera, tetapi tidak berani membacanya, hingga akhirnya, sebuah benda terjatuh dari dalam lembaran kitab kuno tersebut.
Sebuah foto yang terbalik, mendarat diatas lantai.
Dengan rasa penasaran, Andi Enre memungutnya. Namun ia dikejutkan oleh tulisan yang tertera dibalik foto tersebut.
Pria itu semakin merasakan nafasnya yang berat, dadanya terasa sesak, hingga ia membaca satu nama tertulis disana,
'Narekko mattinroi teddurekka, marekko motoi obbirengnganarekko ciyai lao, iya’pa lao Kuniakkangi kuputara nyawanya Andi Enre,'
Mendadak tubuh pria menjadi tremor. Bibir dan jemari tangannya bergetar. Ia membalik foto tersebut dengan gerakan lamban, dan saat foto itu terlihat jelas, ia semakin mersakan sesak didadanya.
"B-benar kata Andi Anni, aku terkena guna-guna oleh Daeng Cening." gumamnya dengan wajah pucat.
Ia bergegas menutup kotak tersebut, lalu pergi meninggalkan kamarnya, dan menuju kediaman Ambo Uleng untuk memberikan kotak beserta foto tersebut.
Andi Enre meninggalkan rumah dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya.
Ia baru menyadari, mengapa secinta itu pada sang wanita.
Sedangkan dahulu ia hanya menganggap sebagai seorang teman biasa saja.
Bahkan ia sampai berani menentang Andi Lalo sang ibu. Membiarkan jasad sang ibu tanpa ikut shalat jenazah. Tidak mengikuti acara mattampung, yang mana seharusnya sebagai anak lelaki, ia yang menjadi penyampai doa yang paling mustajab.
"M-maafin Enre, Ammak," ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Ia tidak menduga, jika cinta Daeng Cening terhadapnya sudah melampaui batas kewajaran.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya ia tiba dirumah Ambo Uleng. Ia keluar dari mobil dengan langkah yang terburu-buru.
Saat bersamaan, Andi Anni berada diambang pintu. "Anni, hubungi Sanro Tungke, katakan padanya, abang sudah menemukan kotak ini," ucap Enre dengan nafasnya yang tersengal. Ia tampak begitu pucat.
sukurin..
mudah-mudahan diampuni ya Cening .. karena kamu selama ini sudah menyekutukan Allah ..
benar-benar iblis tuh si Welang 😤😤
ooaalaah .... ternyata polisi Andre itu adalah kk nya si Ella toch istrinya si Takko 😱😱
jahat bgt tuh si welang 🤬🤬
kini Enre pun sdh terkena Ditinggal itu 😱
siapa pula yg mau mencuri Kitab Kuno dan Abu Parakang itu ,, psti orang jahat lg ajah 😡😡
Tp baru juga Daeng lepas dri ilmu hitam itu, ada lagi parakang baru hadehhh. 😇