Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dihadang Keluarga Qing
Wei langsung menarik kendali kuda, menghentikan kereta. Dao memutar kudanya dan mendekat.
“Ada apa?” tanya Dao dengan dahi berkerut.
Mei turun perlahan dari kereta, jubahnya berkibar ringan. Ia menunduk, menatap tanah, lalu mengusapnya dengan jari, ada bekas jejak sepatu yang samar, terlalu dalam untuk ukuran orang biasa lebih mirip bekas prajurit berbaju besi.
“Jejak ini baru,” katanya dingin. “Kurang dari satu jam. Jumlahnya lebih dari lima orang.”
Wei menyipitkan mata, memindai sekeliling. “Apakah mereka penyamun?”
Mei menggeleng pelan. “Tidak, langkah mereka teratur. Ini bukan penyamun biasa.”
Rong yang kini keluar dari kereta tampak cemas. “Kalau begitu siapa?”
Mei menatap ke dalam hutan, matanya berubah tajam. “Kalau dugaanku benar ....” katany. “mereka dari keluarga Qing.”
Suasana langsung berubah tegang, Wei menggenggam gagang pedang di pinggangnya, Dao memutar kuda dengan waspada.
“Apa mereka ingin mengejar kita?” tanya Dao dengan suara datar.
Mei menatap jauh ke arah bayangan pepohonan, ia menyeringai kecil. “Sepertinya mereka tidak sabar untuk mati.”
Hutan itu semakin gelap, angin bertiup kencang dan suasana semakin sunyi.
Wei menoleh ke adiknya. “Mei’er, apa yang akan kita lakukan?”
Mei menatap lurus ke depan, cahaya halus mulai berpendar di ujung jarinya. “Kita sambut tamu-tamu kita, Kak. Tapi kali iniaku yang akan memimpin.”
Dari dalam kereta, Nyonya Rong mengintip dengan wajah khawatir.
“Ada apa, Mei’er?” tanya Rong sambil memunculkan kepalanya dari jendela.
Mei menoleh cepat, matanya tajam namun lembut saat menatap ibunya. “Ibu tetap di dalam kereta, jangan keluar sebelum aku bilang. Apa pun yang terjadi, jangan keluar.”
Rong mengerutkan kening, hendak berbicara, namun Mei langsung menggenggam tangan sang ibu. “Percayalah pada anak-anakmu, Bu.”
Nyonya Rong terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Baiklah tapi hati-hati, Mei’er, Dao’er, Wei’er.”
Rong kemudian menatap kedua putranya yang sudah turun dari kuda dengan wajah serius. “Wei'er, Dao'er jaga adik kalian.”
“Iya, Ibu,” jawab mereka serempak.
Mei lalu memberi isyarat pada kusir. “Bawa kereta ke pinggir hutan. Cepat.”
Begitu kereta bergerak, Mei menepuk tanah, mengalirkan sedikit energi spiritual, dan membentuk formasi pertahanan di sekitar kereta.
Terlihat cahaya melingkari kendaraan itu seperti kabut tipis. “Dengan begini, tak ada yang bisa mendekat tanpa aku izinkan,” gumamnya pelan.
Belum sempat mereka menarik napas lega, terdengar suara langkah-langkah berat dan kuda yang meringkik keras dari kejauhan.
Debu jalanan mulai berputar, dari balik pepohonan, muncullah Tetua Qing, disertai kedua putranya, Qing Shan dan Qing Long, bersama tujuh pengawal elit mereka.
“Hah! Jadi kalian benar-benar melarikan diri, ya?!” suara Tetua Qing menggema tajam.
“Sudah kuduga kalian akan mencoba kabur!” seru Qing Long dengan wajah dingin.
Wei dan Dao segera berdiri di sisi Mei, membentuk formasi bertiga, wajah ketiganya dingin tanpa rasa takut.
Mei mengamati mereka diam-diam dengan mata tajam. Dalam hati ia menghitung cepat. “Pengawal elit rata-rata di tingkat Ksatria tingkat lima Tetua Qing di ranah Jenderal Perang tingkat dua. Kedua putranya juga sama. Kalau bertarung langsung kita akan kalah.”
Mei lalu menggunakan telepati spiritual untuk berbicara pada kedua kakaknya.
“Kita tidak akan menang dengan cara biasa,” ujar Mei dengan suara dingin.
“Lalu bagaimana?” tanya Wei membalas menggunakan telepati.
“Aku punya ide. Tunggu isyaratku,” kata Mei
Dalam diam, Mei memanggil Mailong, penjaga ruang ajaibnya. “Mailong, keluarkan senjata yang aku dapat dari ruang ajaib, pistol itu.”
“Baik, Nona.”
Dalam sekejap, pistol berwarna perak hitam muncul di tangan Mei, disembunyikan di balik jubahnya agar tak terlihat. Pistol itu adalah hadiah dari ruang ajaib Mei yang kembali terbuka lagi, setelah Mei meningkatkan kultivasinya.
Tetua Qing maju selangkah dengan sorot mata penuh kebencian. “Serahkan semua harta kami yang telah kalian curi! Kalau tidak, jangan salahkan aku kalau kalian mati di sini juga!”
Mei tersenyum sinis. “Mencuri? Heh, kami tidak mencurinya, Tetua Qing. Itu adalah milik kami yang kalian rampas dengan cara kotor. Aku hanya mengambil kembali yang seharusnya jadi hak keluarga kami.”
Wajah Tetua Qing berubah merah padam karena murka. “Berani sekali kau bicara begitu padaku, bocah tak tahu diri! Kalian memang tak pantas diberi belas kasihan! Bunuh mereka semua!”
Ketujuh pengawal elit itu segera melesat cepat, aura spiritual mereka membentuk pusaran angin di tanah.
Dor!
Dor!
Dor!
Tapi ebelum mereka sempat mendekat, suara aneh memekakkan telinga, dan lima pengawal elit langsung terkapar, darah muncrat dari dada mereka.
“A–apa itu?!” teriak Qing Shan terkejut.
Mei berdiri dengan tenang, pistol di tangannya masih berasap. “Benda kecil ini? Namany kematian,” katanya dingin.
Dua pengawal tersisa mencoba menyerang dari dua arah berbeda, Mei menembak, namun kali ini mereka berhasil menghindar.
Shoot!
Shoot!
Tapi Mei tidak panik, dengan cepat, tangan kirinya melempar jarum beracun hampir tak terlihat dan sekejap kemudian dua pengawal itu jatuh ke tanah, tubuh mereka kejang-kejang sebelum diam tak bergerak.
Brugh!
“Kalian!” Tetua Qing menggeram, amarahnya memuncak. “Kau berani membunuh orang-orangku?! Akan kubunuh kau dengan tanganku sendiri!”
Kakek tua itu melesat ke depan dengan kecepatan luar biasa, telapak tangannya menyala biru. Tapi sebelum serangannya mencapai Mei, Wei sudah bergerak menahan dengan pedang.
Blaar!
Benturan energi membuat tanah di bawah mereka retak, Wei mundur beberapa langkah, wajahnya pucat, sedangkan Tetua Qing hanya bergeser setapak.
“Kalian bukan tandinganku!” seru Tetua Qing dengan nada sombong.
“Kita lihat saja!” teriak Dao, yang kini menghadapi Qing Shan yang melesat menyerangnya.
Trang!
Dua pedang beradu, memercikkan cahaya spiritual.
Sementara itu, Qing Long menatap Mei dengan marah. “Serahkan harta itu, dan aku akan beri kalian kematian yang cepat!”
Mei tersenyum tipis. “Aku tidak pandai menyerahkan milikku. Tapi aku pandai membuat orang menyesal.”
Qing Long meraung dan meluncur ke arah Mei. Mei melompat ringan menghindar, memutar tubuhnya dan menendang dada pria itu. Namun Qing Long cepat menangkis. Mereka bertukar serangan sengit.
“Tidak buruk, gadis kecil! Tapi—”
Sebelum kalimatnya selesai, Mei sudah melempar jarum beracun dari sela jarinya. Jarum itu menembus bahu Qing Long, dan racun bekerja cepat.
“Kau … kau licik!” katanya terengah, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke tanah, matanya membelalak tak bernyawa.
“Qing Long!” teriak Tetua Qing dan Qing Shan bersamaan.
Murka menelan kesadaran Tetua Qing. Ia berlari ke arah Mei, tangan kirinya bersinar pekat. “Kau akan mati hari ini, bocah!”
Tepa saat pukulannya hampir menghantam, Wei muncul di depan Mei, menahan dengan seluruh tenaga. Suara ledakan terdengar keras.
Boom!
Tanah terbelah, pepohonan semakin rusak. Wei terlempar beberapa meter, darah keluar dari mulutnya, tapi ia masih menggenggam pedangnya erat.
“Kau tak akan menyentuh adikku!” serunya, meski suaranya parau.
ksiham ya knp si mei lan sllu di bully apa slah mei lan.coba