Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 Penyelamatan
“Bajingan! Apa yang kau lakukan!”
Suara Leon menggelegar, penuh kemarahan dan amarah yang nyaris tak terbendung. Rahangnya mengeras, dadanya naik turun, matanya menyalang tajam penuh kebencian pada pria yang berdiri di sisi ranjang dimana Nayla terikat.
Begitu melihat kondisi Nayla, kancing bajunya yang sudah terbuka separuh dan tubuhnya terikat di tiang tempat tidur dengan mata sembab penuh ketakutan, Leon benar-benar murka.
Dika tampak terkejut, wajahnya pucat karena tak menyangka akan dipergoki langsung oleh Leon.
“Sial… kenapa tadi aku lupa mengunci pintu,” umpatnya dalam hati.
Namun, sudah terlanjur. Tak ada lagi jalan mundur. Dika mencoba menguasai dirinya dan menyunggingkan senyum miring, berusaha terlihat tenang meskipun ketakutan sudah mulai menyelusup ke dadanya.
“Aku melakukan apa? Tentu saja, aku hanya menginginkan Nayla,” ucap Dika santai, matanya melirik Nayla seperti mangsa. Ia melangkah pelan, mendekati Leon.
“Tuan Leon datang mau jadi pahlawan, ya? Sayangnya, kau bahkan tidak bisa berdiri. Bagaimana bisa menyelamatkan Nayla?”
Kata-kata itu menusuk harga diri Leon. Tapi ia tak menggubrisnya. Walau kakinya lumpuh, bukan berarti ia tidak bisa bertarung. Tangannya masih kuat. Dan yang lebih penting, semangatnya untuk melindungi Nayla jauh lebih besar daripada rasa takutnya.
Saat Dika mulai menyerang, Leon dengan sigap menangkis dan menangkap tangannya. Tanpa ragu, Leon menarik tangan itu dan melayangkan tinju keras ke wajah Dika.
“Ugh!” Dika terhuyung, tak menyangka meski dalam keadaan lumpuh, Leon mampu melawan dengan kekuatan sebesar itu.
Amarah Dika semakin memuncak. Kali ini ia membidik kursi roda Leon. Satu tendangan keras menghantam kursi itu dan membuat Leon terlempar jatuh ke lantai.
“Sekarang bagaimana, Tuan? Kau tak bisa apa-apa, kan?” ejek Dika, mendekati Leon dengan niat menghabisinya.
Leon berusaha meraih kursi rodanya, namun Dika menyikut menjauhkan dengan kakinya.
Dari tempat tidur, Nayla menangis melihat Leon jatuh. Ia meronta-ronta meskipun tangan dan kakinya terikat, mulutnya terlakban. Air mata terus mengalir, menatap Leon dengan ketakutan dan rasa bersalah.
Leon menatap Nayla sejenak, lalu menggenggam erat tangannya. Ia tak boleh kalah.
Dika kembali mengangkat kakinya, bersiap menendang Leon. Tapi Leon lebih cepat. Ia menangkap kaki Dika, lalu menariknya hingga tubuh Dika seimbang di udara. Dengan satu pukulan keras ke arah lutut, terdengar suara "Krak!" yang memekakkan telinga.
“AAAAARRGH!!” Dika menjerit kesakitan.
Nayla memejamkan mata, tubuhnya gemetar. Ia tak sanggup melihat kekerasan itu, meski dalam hati ia bersyukur karena Leon berhasil menyelamatkannya.
Leon terengah-engah, berusaha mendekat ke kursi rodanya.
Tuan, terdengar suara Paman Juan yang baru datang tergesa-gesa ke dalam rumah. Nafasnya masih terengah.
"Maafkan saya, Tuan. Saya tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi," ucapnya dengan penuh penyesalan, matanya menatap ke sekeliling.
Leon menggeleng pelan.
"Sudahlah... tidak apa-apa, Paman. Lekas bantu aku naik ke kursi roda."
Dengan sigap, Paman Juan membantu Leon kembali duduk. Setelah memastikan Leon nyaman, pria tua itu menoleh ke arah Dika yang tergeletak sambil meringis kesakitan.
Mata Leon menatap tajam Dika. Rahangnya mengeras, lalu dengan suara dingin, ia berkata,
"Bawa dia… ke tempat biasa."
Mendengar perintah itu, Paman Juan langsung mengangguk.
"Baik, Tuan. Saya tahu harus melakukan apa."
Ia berjalan pelan menghampiri Dika yang kini mulai terlihat panik.
"Apa... apa maksudnya?! Jangan! Aku... aku khilaf!" Dika mulai meronta meskipun kesakitan di lututnya membuat gerakannya lemah.
Paman Juan mencengkeram lengan Dika dengan kuat.
"Makanya, jangan sok jadi orang, kau tak tahu seperti apa tuan Leon itu."
Nada suara Paman Juan rendah dan penuh ancaman.
"Ini belum seberapa, Dika. nanti kau akan tahu akibat nya .
Dika mulai menangis. Air matanya mengalir bukan karena rasa sakit di kakinya, tapi karena rasa takut yang mendalam.
"Lisa! Lisaaa! Ini semua rencananya Lisa!" jerit Dika putus asa saat Paman Juan mulai menyeretnya keluar dari rumah itu.
Leon menghela napas panjang, lalu mengarahkan kursi rodanya ke arah Nayla yang masih terikat. Dengan hati-hati, ia membuka lakban dari mulut Nayla, kemudian melepas ikatan di tangan dan kakinya
Begitu bebas, Nayla langsung memeluk Leon erat. Tubuhnya masih gemetar, air mata terus mengalir tanpa suara.
“Aku... aku takut...” bisiknya lirih di antara isaknya.
Leon memeluknya balik, tangannya mengelus punggung Nayla dengan lembut.
“Tenang, aku di sini. Kamu sudah aman,” ucapnya menenangkan.
Beberapa saat mereka tetap dalam posisi itu, membiarkan rasa aman merayap perlahan di antara kekacauan yang baru saja terjadi.
Tangis Nayla perlahan mereda. Leon pun mengangkat tubuh gadis itu ke pangkuannya. Dengan pelan, mengarahkan kursi rodanya keluar dari rumah itu. Nayla melingkarkan kedua tangan di leher Leon dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.
Di luar, Lisa yang baru kembali dari taman belakang terkejut bukan main saat melihat mereka.
"Hah? Kenapa Nayla keluar bersama Tuan Leon?! Lalu... Dika? Ke mana dia?!"
Wajah Lisa pucat. Panik dan cemas mulai menguasai pikirannya.
Nayla kini sudah berada di kamarnya. Tubuhnya duduk bersandar pada sandaran ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya masih terlihat pucat, sisa ketakutan belum sepenuhnya hilang dari sorot matanya. Namun setidaknya, kini dia merasa sedikit lebih aman, karena ada Leon di sisinya.
Leon duduk tepat di sisi ranjang Nayla. Pandangannya tak pernah lepas dari wajah gadis itu. Perlahan, tangannya yang kokoh dan hangat menyentuh rambut Nayla, merapikannya yang tampak berantakan akibat kejadian mengerikan tadi.
Tanpa berkata apa-apa, Leon mendekat dan menyatukan kening mereka. Sentuhan yang lembut namun penuh keteguhan itu membuat Nayla menahan napas.
"Aku janji, Nayla... Aku akan selalu menjaga dan melindungimu. Kau tidak perlu takut lagi," ucap Leon dengan nada serius namun penuh kelembutan.
Nayla hanya bisa menatap mata Leon. Kata-katanya membuat hatinya yang gemetar perlahan terasa hangat. Namun luka kejadian tadi masih membekas dalam benaknya.
Leon menatapnya dalam-dalam, lalu bertanya pelan, “Apakah dia sempat menyentuhmu?”
Nayla menunduk. Butuh beberapa detik sebelum dia menjawab, “Dia… dia sempat mengelus pipiku, dan…”
Nayla tidak melanjutkan kata-katanya. Matanya mulai berkaca-kaca, lalu turun menatap bajunya yang kusut, teringat apa yang dilakukan Dika. Nafasnya mulai tak beraturan, dan tangis pun kembali pecah. Nayla tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya jika Leon tidak datang menyelamatkannya
Melihat Nayla kembali menangis, dada Leon terasa sesak. Ia tahu gadis itu sangat trauma dengan apa yang hampir saja terjadi.
Tanpa banyak kata, Leon mendekatkan wajahnya lalu mencium lembut pipi Nayla yang tadi disentuh oleh Dika.
"Aku sudah menghapus jejak bajingan itu dari pipimu," kata Leon pelan, namun penuh makna. "Dan baju yang kau pakai itu... buang saja. Jangan dipakai lagi. Aku tak ingin kau mengenakan sesuatu yang pernah disentuh oleh tangan kotor itu."
Nayla terdiam. Perlakuan Leon membuat jantungnya berdetak kencang. Ia tidak menyangka pria yang selama ini tampak dingin dan tegas itu bisa begitu lembut padanya.
Leon kembali duduk tegak, ekspresinya tenang seperti tidak terjadi apa-apa.
"Berbaringlah. Kau harus istirahat. Aku akan menjagamu," ucap Leon, memberi perintah dengan nada yang lembut namun tegas.
Nayla menatapnya sejenak, masih ada rasa bingung di hatinya. Tapi dia memilih untuk menurut. Ia segera berbaring perlahan, menyesuaikan posisi tubuhnya di bawah selimut.
Leon menarik selimut itu hingga menutupi tubuh Nayla dengan nyaman. Lalu, dengan penuh kasih, tangannya membelai lembut kepala dan wajah Nayla. Sentuhan itu seperti mantra, perlahan rasa takut Nayla mulai menghilang.
Dalam waktu singkat, nafasnya mulai teratur. Nayla pun tertidur dalam ketenangan.
Leon menatap wajah Nayla yang kini terpejam, damai dalam tidurnya. Ia tahu bahwa mulai malam ini, Nayla bukan hanya sekadar perawat yang merawat nya. Nayla adalah seseorang yang akan ia lindungi... dengan seluruh hidupnya.
tak ada gangguan apa pun
dan Segera bisa jln untuk mempelai pria nya
lanjut thor ceritanya
do tunggu up nya
lanjut bacanya
mungkin ini karena masih Leon yg dingin dan nayla polos dan pemalu,
up yg rutin thoor