Selena tak pernah menyangka hidupnya akan seindah sekaligus serumit ini.
Dulu, Daren adalah kakak iparnya—lelaki pendiam yang selalu menjaga jarak. Tapi sejak suaminya meninggal, hanya Daren yang tetap ada… menjaga dirinya dan Arunika dengan kesabaran yang nyaris tanpa batas.
Cinta itu datang perlahan—bukan untuk menggantikan, tapi untuk menyembuhkan.
Kini, Selena berdiri di antara kenangan masa lalu dan kebahagiaan baru yang Tuhan hadiahkan lewat seseorang yang dulu tak pernah ia bayangkan akan ia panggil suami.
“Kadang cinta kedua bukan berarti menggantikan, tapi melanjutkan doa yang pernah terhenti di tengah kehilangan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Kecelakaan Kecil
Suara tawa Arunika memenuhi rumah pagi itu, tapi bagi Selena… ada satu kalimat yang bergema jauh lebih keras daripada apa pun.
“Mas… aku takut kehilangan kamu.”
Daren mungkin berusaha menutupi lukanya dengan senyum, tapi goresan di lengannya—dan kebohongan kecil yang ia sampaikan—membuat Selena sadar bahwa ada batas tipis antara keberuntungan… dan kehilangan.
Dan pagi itu, di antara trofi plastik Arunika dan tawa riangnya, Selena tahu satu hal:
rumah bisa terdengar ramai, tapi hatinya tetap bergetar oleh rasa takut yang belum sempat ia ungkap seluruhnya.
---
Selena membuka matanya perlahan. Cahaya pagi menelusup masuk melalui celah gorden, menimbulkan semburat hangat di dinding kamar. Ia mengedip pelan, mencoba menyesuaikan pandangan.
Namun sesuatu terasa janggal.
Tempat tidur di sampingnya kosong. Suaminya tak ada.
Dengan gerakan refleks, Selena meraba sisi kasur yang sudah terasa dingin. Ia mengerutkan kening. Ada perasaan tidak enak yang menyelinap cepat—gelisah, samar, tapi menusuk.
Kemana perginya Daren?
Ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur, berniat menelpon suaminya. Jempolnya bahkan sudah hampir menyentuh layar ketika suara pintu kamar bergerak membuka.
Pintu terbuka perlahan, menampilkan sosok Daren yang menyembulkan kepala terlebih dulu. Rambutnya sedikit berantakan, kaosnya baru berganti, dan Selena langsung menangkap detail kecil yang tidak biasa—ada goresan halus di lengan kirinya.
“Kamu udah bangun?” ujar Daren sambil tersenyum tipis. Ia masuk lalu menutup pintu di belakangnya. “Tidurnya gimana?”
Selena langsung bangun setengah duduk.
“Kamu dari mana aja? Hari ini kan libur. Aku pikir kamu masih tidur di samping aku.”
Nada suaranya datar, tapi matanya menelisik teliti.
Daren menghampiri dan mencium kening istrinya sebentar.
“Aku cuma keluar sebentar. Mau lihat Arunika yang lagi main sama Bi Nana. Dia bangun duluan.”
“Tapi kenapa nggak bangunin aku?” tanya Selena, masih memperhatikan lengan suaminya. Ada merah memanjang, seperti bekas tergores benda tumpul.
Daren menunduk, pura-pura tidak sadar diperhatikan. “Tadi buru-buru. Maaf. Kamu mau makan apa hari ini?” tanyanya terlalu ringan.
Terlalu dibuat-buat.
Selena menyipitkan mata.
“Mas… lengan kamu kenapa?”
Daren menegang sepersekian detik sebelum tertawa kecil.
“Ah ini? Kepentok pintu.”
“Sampai segitunya?” Selena turun dari ranjang dan mendekat. Firasatnya sejak tadi makin jelas, makin kuat menekan dadanya. “Kamu keburu-burunya karena apa?”
Daren tidak menjawab langsung.
Selena lalu menatapnya lebih serius. “Jujur deh sama aku. Kamu kenapa? Kemarin malam kamu pakai baju lengan panjang terus. Ada apa, Mas?”
Daren menarik napas pelan. Raut wajahnya berubah — tidak lagi santai.
“Aku mau jujur sama kamu… tapi please, jangan khawatir. Aku udah periksa ke dokter dan katanya aku nggak papa.”
Selena menahan napas, jantungnya merosot.
“Periksa dokter? Mas… kamu habis apa? Kenapa sampai harus ke dokter?” suaranya meninggi, campuran takut dan marah.
Daren menatap mata istrinya.
“…Aku jatuh dari motor kemarin malam.”
Selena terpaku.
Daren buru-buru melanjutkan, “Bukan kecelakaan besar, cuma terseret sedikit. Makanya lenganku lecet. Dokternya bilang aman, cuma butuh salep sama istirahat.”
Selena memejamkan mata, napasnya berat.
“Mas… kenapa kamu nggak bilang?” bisiknya, hampir pecah. “Kenapa kamu sembunyiin semuanya?”
Daren mendekat, memegang kedua bahu Selena.
“Aku nggak mau bikin kamu takut.”
“Tapi Mas bikin aku lebih takut karena kamu diem aja!” Selena mundur selangkah, matanya berkaca-kaca. “Apalagi aku bangun-bangun kamu nggak ada. Terus lihat ada luka begitu. Kamu pikir aku nggak apa-apa?”
Daren menunduk, merasa bersalah.
“Aku salah. Maaf.”
Selena mendesah panjang, bahunya turun.
“Lain kali jangan nyembunyiin apa pun dari aku, Mas. Aku istri kamu, bukan orang asing.”
Daren mengangguk pelan.
“Iya… aku janji.”
Selena menatapnya beberapa detik, memastikan suaminya benar-benar baik-baik saja. Ia menyentuh luka di lengan Daren dengan hati-hati.
“Mas sakit nggak?” suaranya melembut, tapi masih terdengar cemas.
“Sedikit,” jawab Daren jujur.
Selena kemudian memeluknya erat, seolah takut Daren akan hilang lagi.
“Mas jangan bikin aku ngerasain firasat buruk kayak tadi lagi… aku takut banget.”
Daren membalas pelukannya.
“Aku di sini. Aku nggak apa-apa.”
Namun Selena belum selesai.
Setelah melepaskan pelukan, ia menatap suaminya tajam.
“Nanti kamu cerita semuanya dari awal. Aku mau tahu detailnya.”
Daren langsung gugup.
“Kayaknya kamu bakal marah…”
“Ya udah,” Selena menyilangkan tangan. “Aku siap marah.”
Selena tetap berdiri di hadapan suaminya, kedua tangannya terlipat di dada. Sorot matanya tajam penuh tuntutan.
“Mas… mulai. Sekarang.”
Daren menghela napas panjang, jelas gugup.
“Sel… kamu janji nggak bakal panik dulu?”
“Mas cerita dulu,” balas Selena cepat. “Yang panik itu urusan nanti.”
Daren menelan ludah, lalu duduk di tepi ranjang. Selena ikut duduk di sebelahnya, namun dengan jarak yang menjelaskan bahwa ia belum siap melunak.
Daren akhirnya membuka suara.
“Semalam itu… sebenarnya aku pulang lebih malam dari biasanya karena ada revisi laporan mendadak dari kantor.”
Ia menunduk pelan. “Aku udah capek banget. Kepala pusing. Badan juga agak meriang dari sore.”
Selena langsung memotong, “Loh, kamu sakit? Kamu nggak bilang sama aku?”
“Makanya,” Daren menggumam pelan. “Kalau aku bilang, kamu pasti khawatir dan nggak bakal tidur.”
Selena merengut, tapi tidak menyela lagi.
Daren melanjutkan.
“Pas aku naik motor, hujan rintik-rintik mulai turun. Jalanan licin.”
Ia berhenti sejenak, seperti berusaha memilih kata-kata.
“Di tikungan dekat taman kota, ada mobil yang nge-rem mendadak. Aku kaget, ikut nge-rem. Ban depanku selip…”
Selena langsung menutup mulutnya dengan tangan.
“Mas…”
“Aku jatuh ke samping,” lanjut Daren pelan. “Motornya sempat nyeret aku beberapa meter. Untung mobil itu berhenti dan nggak nabrak aku. Orang-orang bantuin.”
Selena merasakan matanya panas.
“Terus? Kamu pingsan?”
“Enggak. Cuma linglung.”
Daren menatap istrinya dengan tatapan menyesal.
“Aku ke klinik dekat sana. Dicek. Hasilnya cuma memar, lecet, sama bahu agak keseleo sedikit. Dokternya bilang aman. Cuma butuh istirahat.”
Selena menggeleng pelan.
“Mas… kenapa kamu pulang bukannya kabarin aku? Kamu tau nggak gimana paniknya aku kalau tahu kamu kecelakaan?”
“Aku takut kamu kaget dan kepikiran… apalagi kamu hamil,” suara Daren merendah. “Aku cuma nggak mau kamu stres.”
Selena menghela napas berat.
“Terus luka-luka kamu? Kamu tutupin semua? Kamu pikir aku nggak bakal lihat? Mas lupa kalau aku istri kamu?”
Daren tertunduk. “Aku memang salah.”
Beberapa detik hening.
Selena kemudian memegang wajah suaminya dengan kedua tangannya — gerakan lembut namun penuh tekanan emosional.
“Mas… mulai sekarang aku nggak izinin kamu naik motor lagi.”
Daren terdiam. Wajahnya berubah, bukan karena tidak setuju, tetapi karena ia jelas sudah menduga kalimat itu akan keluar dari mulut istrinya.
“Sel…”
Nada suaranya pelan, hati-hati. “Masih aman kok. Motorku juga—”
“Aman apanya?” potong Selena cepat. “Kamu udah jatuh, Mas. Kamu keseret. Kamu pulang dalam keadaan luka, tapi tetap bilang semuanya ‘baik-baik saja’.”
Air mata yang tadi ia tahan akhirnya lolos meski hanya setitik.
“Kamu tau nggak… aku udah takut setengah mati.”
Daren meraih tangan istrinya yang masih memegang wajahnya, mencium punggung tangan itu lembut.
“Aku ngerti, sayang. Aku ngerti kamu takut. Tapi kamu jangan nangis, nanti dedek ikut sedih.”
Selena menghela napas gemetar.
“Aku bukan cuma takut sama luka Mas. Aku takut kehilangan kamu.”
Nadanya turun jadi bisikan. “Aku nggak bisa bayangin kalau semalam kamu lebih parah, atau… aku bangun dan kamu nggak pulang…”
Kata-katanya menggantung, dan Daren buru-buru menarik Selena ke pelukan.
“Kamu nggak bakal kehilangan aku,” ucapnya mantap. “Aku janji. Selama aku masih hidup, aku pulang ke kalian.”
Selena memejamkan mata di dada suaminya, membiarkan detak jantung Daren yang stabil menenangkan kecemasannya. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia bicara lagi.
“Jadi… Mas setuju nggak? Nggak naik motor lagi?”
Daren menarik napas panjang — pasrah, tapi juga penuh sayang.
“Setuju,” jawabnya pelan. “Aku berhenti naik motor. Mulai sekarang mobil aja. Aku nggak mau bikin kamu khawatir lagi.”
Selena akhirnya melepaskan pelukan dan menatap wajah suaminya, kali ini lebih lembut.
“Terima kasih.”
“Tapi,” Daren mengangkat alis, tersenyum kecil, “kamu juga janji nggak panik sendiri lagi. Kalau ada apa-apa, kita hadapin bareng.”
Selena mendengus kecil, tersipu tapi juga kesal karena selalu kalah argumen.
“Iya. Tapi kamu jangan bikin aku panik duluan.”
Daren tertawa pelan — yang membuat isi kamar terasa lebih hangat, lebih hidup setelah ketegangan barusan.
Ia menepuk lututnya lalu berdiri.
“Sekarang, ayo. Aku mau kamu duduk nyaman di ranjang, aku ambilin salep sama perban. Kamu yang rawat aku, ya?”
Selena memutar bola matanya.
“Tadi katanya udah diobatin dokter.”
“Kalau yang ngurus istri sendiri rasanya lebih sembuh,” sahut Daren cepat dengan senyum nakal.
Selena tak bisa menahan senyumnya.
“Ya udah, sini. Biar aku lihat lagi lukanya.”
Daren menurunkan kaosnya perlahan, memperlihatkan memar ungu kebiruan di bahu dan goresan panjang di lengan. Selena otomatis mengerutkan alis, tatapannya penuh sayang bercampur pedih.
“Mas…”
Nada suaranya merendah. “Ini parah banget. Kenapa dokter bilang cuma lecet?”
“Karena dokter lihat aku kuat,” jawab Daren sambil bercanda.
Selena menatapnya datar.
“Nanti malam aku suruh kamu tidur di sofa.”
“Jangan dong,” Daren langsung panik kecil. “Aku kan pasien kamu.”
Selena akhirnya tertawa. Tawa pertama pagi itu.
“Ya udah. Duduk sini. Biar aku bersihin.”
Daren menurut. Selena mengambil salep dan kapas, lalu duduk di samping suaminya. Tangannya bergerak hati-hati, tapi matanya terus mengawasi, seolah memastikan bahwa suaminya benar-benar di depannya dan tidak hilang dari genggamannya.
“Mas…” Selena berkata pelan di tengah ia mengoleskan salep. “Mulai sekarang, apapun yang terjadi… kamu cerita. Jangan sembunyi apa pun dari aku. Aku lebih takut kalau kamu diam daripada dengar yang sebenarnya.”
Daren mengangguk, menatap istrinya penuh cinta.
“Aku janji. Ini terakhir kalinya aku nutupin apa pun dari kamu.”
Selena terus merawat lukanya dengan perlahan, penuh kasih.
Dan Daren hanya diam, menikmati perhatian yang bahkan tidak layak ia dapatkan setelah membuat istrinya takut setengah mati.
Saat Selena selesai, Daren menggenggam tangannya.
“Sel…” suaranya lembut. “Makasih karena kamu masih khawatir banget sama aku.”
Selena menatapnya lama.
“Ya iyalah. Kamu itu rumahnya aku, Mas.”
Daren tersenyum — senyum kecil, tapi penuh makna yang hanya bisa dipahami oleh pasangan yang saling mencintai sedalam itu.
---
Gimana bab hari ini? Seru?