NovelToon NovelToon
Antara Air Dan Api

Antara Air Dan Api

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Fantasi / Kultivasi Modern / Evolusi dan Mutasi / Cinta Beda Dunia / Pusaka Ajaib
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Ahmad Syihab

novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bara yang Merindukan Air

Sena tersentak bangun.

Tubuhnya seperti meledak dari dalam—bukan karena luka-lukanya yang belum sembuh sepenuhnya, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih menakutkan.

Ia merasakan Cai.

Ia merasakan energinya berubah.

Bukan hanya melemah… bukan juga menghilang.

Tidak.

Cai sedang ditelan oleh sesuatu.

“Sesuatu terjadi,” Sena berbisik lirih, wajahnya pucat meski kulitnya bercahaya merah. “Cai…”

Penjaga Bara Lembut yang sedang memeriksa luka-lukanya segera mendekat. “Tuan Sena, jangan memaksakan diri. Tubuhmu belum—”

Sena meraih pria itu dengan kekuatan yang mengejutkan. “Buka segel portal. Sekarang.”

“T-tapi retakannya tidak stabil! Energinya berubah drastis! Kami bahkan tidak tahu apakah—”

“Cai masih ada di sana,” Sena memotong, nada suaranya rendah, penuh ancaman yang tidak membutuhkan kobaran api untuk didengar.

Para penjaga langsung terdiam.

Mereka tahu Sena bukan tipe yang meminta hal seperti ini secara impulsif. Apalagi setelah melihat bagaimana Cai membuatnya berubah… bagaimana hadirnya makhluk air itu meruntuhkan tembok-tembok lama di sekitar Sena yang tak pernah bisa disentuh siapa pun.

Penjaga utama menelan ludah. “Kami tidak bisa membukanya. Energinya terlalu liar. Bahkan kami tidak bisa mendekati gerbang tanpa terbakar atau membeku.”

Sena mengerang frustasi. “Aku tidak peduli. Aku harus masuk.”

Ia mencoba berdiri.

Lututnya goyah.

Tubuhnya hampir jatuh.

Namun ia bertahan dengan menahan beban pada dinding tanpa suara.

Beberapa penjaga hendak membantunya, namun Sena menolak.

“Aku bisa sendiri.”

Satu langkah.

Dua langkah.

Cahaya api di tubuhnya tidak stabil—kadang redup, kadang membesar liar. Luka-luka di lengannya kembali menyala, retakan merah menyebar seperti lava segar, namun ia tidak peduli.

Ia berjalan menuju aula tempat portal ke retakan berada—ruangan yang kini dipenuhi aura kacau biru-merah yang berputar seperti ribuan pusaran kecil.

Penjaga Bara Lembut berlari mengejarnya. “Tuan Sena! Tunggu!”

Namun Sena tidak berhenti.

---

Ketika akhirnya ia tiba di ruang portal, ia tertegun.

Lantai penuh retakan kecil yang bersinar biru dan merah. Dinding-dinding bergetar seakan diguncang badai dari dalam. Portal besar di hadapannya tidak lagi berwarna putih keemasan seperti sebelumnya.

Ia kini menjadi pusaran perak, bergolak liar, seperti dua elemen yang mencoba bersatu paksa.

Sena menatapnya dengan mata yang membesar.

“Cai… apa yang kau lakukan…”

Cahaya perak itu berdenyut kuat, dan di setiap denyutnya, Sena merasakan sesuatu menusuk dadanya—bukan fisik, tetapi ikatan.

Ikatan yang telah tumbuh tanpa mereka sadari.

Ikatan yang tidak seharusnya terjadi antara api dan air.

Namun kini ikatan itu menjadi satu-satunya alasan Sena masih berdiri.

Para penjaga mengikuti dari belakang, berhenti beberapa meter sebelum portal. Mereka tidak berani mendekat; aura campuran air-api perak itu telah menghancurkan ruang udara di sekitar portal, menciptakan tekanan yang membuat kulit terasa seperti ingin meleleh.

“Tuan Sena… jangan maju lagi!” teriak salah satu penjaga.

Namun Sena tidak mendengarnya.

Atau memilih tidak mendengarnya.

Ia mengulurkan tangan ke arah portal. Tangan itu langsung retak dan menggeluarkan percikan api ketika mendekat. Namun ia tidak mundur.

Ia mendekat.

Dan mendekat lagi.

Namun ketika tinggal beberapa langkah menuju gerbang, seluruh ruangan berguncang hebat.

Cahaya perak dari portal meledak seperti bintang runtuh.

Gelombang energi menyapu seluruh ruangan, membuat penjaga Bara Lembut tersungkur.

Sena terdorong beberapa meter ke belakang, terhempas keras ke dinding.

Ia batuk keras—api merah keluar dari mulutnya. Namun ia mengangkat kepala cepat, memaksa tubuhnya tetap bangun meski seluruh bagian dalamnya seperti terbakar dari dalam.

“Cai!”

Suara Sena memantul di seluruh ruangan.

Dalam detik berikutnya, suara yang sama sekali tidak diharapkannya terdengar.

“Sena…”

Sena membeku.

Ia langsung mencari arah suara itu, panik dan berharap sekaligus takut.

“Cai?!”

Cahaya perak di portal berdenyut pelan… lalu berubah menjadi bentuk samar.

Siluet.

Siluet tubuh seseorang.

Cahaya itu mendekat, membentuk kontur manusia… namun tidak sepenuhnya berbentuk.

Sena merasakan seluruh tubuhnya merinding.

“Cai…” suaranya pecah.

Namun siluet itu tidak bisa sepenuhnya melewati portal. Terdapat jarak tipis—semacam tabir—yang menghalangi sosok itu untuk keluar.

Sena mendekat penuh hati-hati, tubuhnya gemetar.

“Aku di sini… Keluarlah…”

Tapi sosok itu justru menggeleng.

Sena terdiam, ketakutan menjalar dingin dari punggung hingga tengkuknya.

“Apa yang terjadi padamu?”

Sosok itu mengangkat tangan, seolah mencoba menyentuh Sena—meski jarak kacau energi di antara mereka membuat sentuhan itu mustahil.

“Sena… retakan ini bukan hanya celah. Ia adalah kekuatan. Ia mencoba menghancurkan semuanya. Tapi… Ia juga memanggilku.”

Sena merasakan hatinya menurun.

“Jangan bilang… kau tidak bisa kembali.”

Cahaya perak di tubuh sosok itu berkedip—seperti jawaban sedih.

Namun kemudian, suara Cai kembali terdengar, lebih kuat, lebih tegas.

“Aku belum bisa keluar. Tapi aku bisa mengendalikannya. Dan aku harus menyelesaikan ini sebelum retakan menghancurkan dua dunia.”

Sena mengangguk pelan, walau matanya mulai berkaca.

“Aku mengerti… tapi aku tidak suka ini.”

Cai tersenyum samar, meski siluetnya tidak jelas.

“Aku tahu. Aku pun tidak suka meninggalkanmu sendirian.”

Sena menunduk. Api di tubuhnya mereda, seakan malu karena terlalu terang.

“Aku tidak sendirian,” katanya lirih. “Aku hanya… tidak ingin melihatmu menghilang.”

Cai mengangkat tangan, menempelkan telapak cahaya peraknya pada lapisan tipis retakan yang memisahkan mereka.

Sena mendekat, melakukan hal yang sama.

Tangan mereka… bertemu.

Tidak benar-benar. Tidak sepenuhnya.

Tapi cukup.

Cukup untuk merasakan getaran di antara mereka.

Cukup untuk memberi Sena keberanian.

“Dengarkan aku,” kata Cai, suaranya kini stabil, seperti air yang menenangkan. “Retakan ini menginginkan penguasa. Dan ia memilihku. Jika aku bisa mengendalikannya… aku bisa menutupnya selamanya.”

Sena menggeleng cepat. “Tidak. Tidak selamanya. Kau akan kembali, kau harus—”

“Sena.”

Sena membeku.

Cai menatapnya, meski hanya siluet.

“Percayalah padaku.”

Sena merasakan seluruh emosi di dadanya pecah sekaligus. Marah. Takut. Tersesat. Dan rindu—rindu yang muncul bahkan sebelum Cai benar-benar pergi.

Ia menelan semua itu.

Lalu mengangguk.

“Aku percaya.”

Cai tersenyum—atau ia merasakan senyum itu dalam cahaya yang bergetar.

“Jangan biarkan Bara Merah bangkit lagi. Dan… jangan izinkan siapa pun menyentuhmu saat aku tidak ada.”

Sena tertawa kecil, meski suaranya goyah. “Aku tunggu. Tapi cepatlah kembali.”

Cahaya perak itu mulai memudar.

Energi retakan semakin menyerap Cai.

Sena menggenggam udara di depan portal, seolah bisa menarik Cai kembali.

“Cai… jangan hilang…”

Suara terakhir Cai terdengar seperti hembusan lembut dari dalam dimensi.

“Aku akan kembali. Untukmu.”

Sena jatuh berlutut ketika cahaya perak menghilang sepenuhnya.

Portal berdenyut pelan sekali… lalu tenang.

Seolah Cai telah menjadi bagian dari retakan itu.

Namun Sena tahu satu hal:

Jika Cai bertarung untuk kembali, maka Sena akan bertarung untuk menunggu.

Apa pun harganya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!