Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. badai itu akan berlalu
Pagi itu udara terasa dingin dan berat, seakan langit pun tahu akan ada keputusan besar yang diambil hari ini. Revano masih tertidur di ruang perawatan, tubuh kecilnya tersambung pada alat infus yang membuat hati siapa pun yang melihat akan mencelos.
Dokter spesialis anak memanggil mereka masuk ke ruang konsultasi. Di sana sudah duduk Reghan, mengenakan kemeja putih dan jas abu-abu. Dia tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali Arum melihatnya dari dekat namun sorot matanya tetap tegas, seperti dulu.
Arum langsung menegang, dia hampir saja berbalik, tapi Gavin menahan lembut pergelangan tangannya.
“Tenang,” bisiknya, “kamu harus dengar dulu.”
Reghan berdiri. “Aku tidak ingin membuat keadaan sulit untuk siapa pun,” katanya pelan, tatapannya bergeser dari Arum ke Gavin, lalu kembali ke dokter. “Tapi aku sudah memutuskan.”
Dokter memandangnya ragu. “Tuan Reghan, kami sudah menjelaskan risikonya. Dengan kondisi Anda saat ini, melakukan donor sumsum tulang belakang akan sangat berbahaya. Tubuh Anda mungkin tidak akan mampu menahan proses pemulihan pascaoperasi. Kami menyarankan alternatif lain.”
“Aku sudah mempertimbangkannya,” jawab Reghan tanpa ragu. “Aku tidak peduli berapa besar risikonya, aku ingin melakukannya.”
Ruangan itu mendadak sunyi. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar menggema.
Arum menatap Reghan dengan mata melebar. “Kau sudah gila?” suaranya gemetar. “Kau ingin mati begitu saja? Apa kau pikir itu akan menebus semua yang pernah kau lakukan padaku?”
Reghan menghela napas panjang. “Aku tidak ingin menebus apa pun, Arum. Aku hanya ingin menolong anakku.”
“Anak kita,” Gavin menyela dengan nada berat, namun tetap sopan. Tatapan tajam Reghan langsung beralih kepadanya, namun ia menahan diri.
“Aku tahu kau merawat mereka selama ini. Aku berterima kasih untuk itu. Tapi darah anak itu...” Reghan menatap Arum lagi, “mengalir dari tubuhku juga. Dan aku tidak akan tinggal diam melihat dia menderita.”
Air mata Arum menetes begitu saja. “Kenapa baru sekarang kau peduli?” suaranya pecah. “Tiga tahun, Reghan. Tiga tahun aku sendirian membesarkan dia, empat tahun lalu itu tidak mudah bagi aku melewati semuanya ini, tanpa siapa pun yang tahu. Dan sekarang, setelah segalanya hancur, kau datang dengan wajah seolah-olah tak pernah terjadi apapun!”
Reghan menunduk, rahangnya mengeras, seolah sedang menahan sesuatu yang dalam. “Karena aku kehilangan kalian, Arum. Dan kehilangan itu membunuhku setiap hari.”
Gavin berdiri di sisi Arum, tangannya menahan bahu wanita itu, tapi sorot matanya penuh peringatan.
“Dokter sudah menjelaskan, Tuan Reghan. Ini bukan keputusan emosional. Kalau Anda nekat, Anda bisa kehilangan nyawa.”
Reghan menatap lurus ke mata Gavin. “Kalau itu harga yang harus kubayar … aku tidak keberatan.”
Kata-kata itu membuat Arum tersentak. “Kau tidak berhak bicara seperti itu! Revano tidak butuh mayat sebagai pendonor!”
Suasana memanas, Gavin menarik napas tajam, menatap keduanya bergantian. “Cukup, tidak ada yang memutuskan apapun sampai semuanya jelas. Aku minta waktu sebentar dengan dokter.”
Gavin keluar bersama dokter, meninggalkan Reghan dan Arum di ruangan itu. Keheningan kembali turun, hanya napas keduanya yang terdengar.
Arum menunduk, air matanya jatuh ke lantai. “Kau tak pernah berubah, Reghan. Selalu memutuskan segalanya sendiri. Bahkan saat harus mempertaruhkan nyawamu…”
Reghan melangkah pelan mendekatinya, berhenti tepat di depannya. “Aku memang tak bisa berubah, Arum. Tapi aku belajar satu hal ... cinta yang tulus tak perlu diminta untuk dimengerti.”
Arum mengangkat wajahnya dengan marah. “Jangan bicara tentang cinta setelah kau biarkan aku disiksa!”
Reghan menutup mata sejenak, menahan napas panjang. “Dan itulah kesalahan yang tidak akan pernah bisa aku tebus seumur hidupku…”
Keduanya terdiam lama, hingga akhirnya, pintu terbuka kembali. Gavin masuk, membawa hasil tambahan yang baru dikonfirmasi dari laboratorium. Suaranya datar tapi tajam.
“Tes lanjutan sudah keluar, kecocokan donor tali pusar untuk Revano hanya bisa didapat dari saudara kandung sedarah. Artinya…” ia menatap Arum, kemudian Reghan, “kalian harus mempertimbangkan opsi untuk memiliki bayi lagi, kalau ingin peluang penyelamatan tertinggi.”
Arum menunduk, menatap berkas hasil tes yang kini terasa seperti vonis hidup-mati. Tangannya gemetar, matanya kosong.
Reghan masih berdiri tegak di depan mereka, wajahnya tegang dan penuh tekad. Sementara Gavin mencoba menahan segala sesuatu agar tidak meledak.
“Aku tahu ini berat,” ujar Gavin akhirnya, dengan suara tenang tapi tegas. “Tapi Arum perlu waktu. Semua ini terlalu tiba-tiba. Dia … belum siap menerima semuanya lagi.”
Reghan menatapnya dingin. “Waktu? Kau pikir aku punya banyak waktu, Dokter Gavin? Setiap hari yang berlalu membuat kondisi Revano makin rapuh. Aku tak akan menunggu sampai semuanya terlambat.”
Gavin menarik napas panjang, menahan diri agar tetap sopan. “Anda tidak bisa memaksa, Tuan Reghan. Arum sudah melalui terlalu banyak hal. Jangan berpikir bahwa dengan muncul lagi, semuanya bisa berjalan seperti dulu.”
Reghan mengepalkan tangan. Tatapannya membara, suaranya meninggi dengan nada yang tak bisa disembunyikan lagi.
“Dengar baik-baik, Dokter Gavin. Arum itu masih istriku!”
Kata-kata itu memecah udara seperti petir yang menggelegar. Arum tersentak, menatap Reghan dengan wajah terkejut, sementara Gavin perlahan berdiri dari kursinya.
“Apa maksudmu?” tanya Gavin dengan rahang mengeras.
Reghan menatap lurus padanya. “Aku tidak pernah menceraikannya. Tidak secara hukum, tidak secara agama. Arum tetap sah sebagai istriku.”
Suara Reghan berat, penuh penekanan. Ia berkata bukan untuk membual, tapi untuk menegaskan sesuatu yang selama ini disembunyikannya. Arum berdiri dengan gemetar.
“Kau … apa yang kau katakan, Reghan? Kau ... kau yang membuat semua luka ini, selama empat tahun aku menahannya! Kau pikir aku menunggumu datang kembali untuk membenarkan status itu?”
Reghan menatapnya tanpa berkedip. “Aku tidak pernah menandatangani surat cerai. Kau pun tidak, pernikahan kita masih sah.”
Gavin mendekat, suaranya menahan amarah yang hampir meledak. “Dan Anda pikir itu memberi hak untuk muncul kembali dan menuntut sesuatu dari dia? Anda tak tahu apapun tentang bagaimana Arum bertahan selama ini!”
Reghan mendekat satu langkah, nadanya tajam namun dalam. “Aku tahu satu hal ... aku masih suaminya, dan aku ayah dari anak itu. Kau bisa berperan sebagai penjaga, Dokter Gavin, tapi jangan berpura-pura menjadi aku.”
“Reghan!” Arum menjerit pelan, menahan tangis. “Jangan bicara seperti itu!”
Namun Reghan terus menatap Gavin tanpa goyah. Tatapannya bukan sekadar marah, ada luka, rasa kehilangan, dan cinta yang belum selesai di sana.
“Aku tidak datang untuk merebut siapa pun,” katanya akhirnya, suara menurun namun tetap tegas. “Aku datang untuk memperbaiki apa yang seharusnya ku lindungi sejak dulu. Kalau Arum butuh waktu, aku akan memberinya. Tapi jangan pernah kau halangi aku dari anakku sendiri.” Reghan menatap tajam Dokter Gavin, dan suasana hening kembali.
Arum memejamkan mata, air matanya menetes satu-satu. Gavin menatap Reghan lama, mencoba menahan amarahnya, lalu perlahan berkata,
“Kalau benar Anda ingin memperbaiki semuanya, buktikan bukan dengan kata-kata. Tapi dengan tindakan yang tidak lagi menyakiti Arum.”
Reghan menatapnya balik. “Aku akan buktikan, bahkan jika aku harus mengorbankan nyawaku sendiri.”
Ucapan itu menggantung di udara, membuat ruangan terasa semakin sesak. Arum tak lagi mampu berkata apa pun. Ia hanya memalingkan wajah, mencoba menelan kenyataan pahit bahwa lelaki yang dulu ia cintai dengan seluruh hatinya, kini kembali membawa badai yang sama sekali belum siap ia hadapi.
atw.biselawan keluarga suami my
simak.seru baca ny
athor.
cuma diawal bab sampai hampir 1/3 ke belakang ada bagian yang seperti hilang ketika pindah settingnya ataupun pindah hari.jadi seperti Tidak menyatu kayak terkotak2 gitu jadi kadang bacanya sambil mikir.sama pengulangan tentang luka yang bikin agak ngebosenin.kalau ide ceritanya dan alurnya sudah mantul thor
terus semangat berkarya thor 🥰🥰🥰🥰🥰