Ia adalah Elena Von Helberg, si Antagonis yang ditakdirkan mati.
dan Ia adalah Risa Adelia, pembaca novel yang terperangkap dalam tubuhnya.
Dalam plot asli, Duke Lucien De Martel adalah monster yang terobsesi pada wanita lain. Tapi kini, Kutukan Obsidian Duke hanya mengakui satu jiwa: Elena. Perubahan takdir ini memberinya hidup, tetapi juga membawanya ke dalam pusaran cinta posesif yang lebih berbahaya dari kematian.
Diapit oleh Lucien yang mengikatnya dengan kegilaan dan Commander Darius Sterling yang menawarkan kebebasan dan perlindungan, Risa harus memilih.
Setiap tarikan napasnya adalah perlawanan terhadap takdir yang telah digariskan.
Lucien mencintainya sampai batas kehancuran. Dan Elena, si gadis yang seharusnya mati, perlahan-lahan mulai membalas kegilaan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dgweny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Makan Malam Pertama Sang Ratu
Bab 5: Makan Malam Pertama Sang Ratu
(Lady Elena Von Helberg & Duke Lucien De Martel)
Sore itu, menjelang senja, Risa/Elena didandani untuk acara makan malam pertamanya di Sarang Gagak—markas gelap Duke Lucien. Itu adalah makan malam yang dipesan untuk dua orang, tetapi Risa tahu itu lebih dari sekadar makanan; itu adalah presentasi, sebuah penegasan atas kepemilikan Duke.
Lisette, dengan tangan gemetar, membantu Risa mengenakan gaun. Itu adalah gaun malam yang sederhana tetapi menakjubkan, terbuat dari sutra chiffon berwarna hitam pekat yang mengalir, dihiasi dengan sulaman mawar obsidian di bagian dada dan pinggang. Gaun itu menonjolkan keanggunan garis leher Lady Elena dan bahu rampingnya.
"Yang Mulia," bisik Lisette, menyesuaikan permata di leher Risa. "Permata ini adalah hadiah dari Duke Lucien. Permata Ruby Utara. Katanya, itu melambangkan gairah dan kekuatan. Warnanya sama persis dengan mata Duke."
Risa menyentuh ruby besar itu. Permata itu terasa dingin dan berat, seperti beban dari janji yang tidak bisa ditarik kembali.
"Apakah Duke Lucien sedang menunggu?" tanya Risa, suaranya tenang.
"Ya, Yang Mulia. Di Ruang Makan Merah. Sudah lama sekali ruangan itu tidak digunakan... hanya untuk acara-acara khusus."
Risa mengangguk. Ia sudah siap, tidak hanya secara fisik, tetapi mental. Ia telah membaca kembali legenda tentang Kutukan Obsidian. "Memahami dan menenangkan." Malam ini, ia harus menjadi Elena yang baru, yang tidak melawan Duke, tetapi memimpin obsesinya dengan keanggunan yang gelap.
Ia berjalan menuruni tangga utama Sarang Gagak. Setiap langkahnya penuh perhitungan. Ia harus memancarkan aura seorang wanita yang sadar akan kekuatannya, yang terikat pada kegilaan, tetapi tidak dihancurkan olehnya.
Ruang Makan Merah sangat megah, diterangi oleh lilin perak yang tinggi. Dindingnya ditutupi panel kayu mahoni yang dicat merah darah tua, dan karpet beludru tebal meredam setiap suara. Itu adalah ruangan yang dirancang untuk keintiman yang menindas.
Di ujung meja panjang, yang seharusnya bisa menampung tiga puluh orang, duduklah Duke Lucien De Martel. Dia berdiri segera saat Risa memasuki ruangan.
Lucien mengenakan setelan jas militer hitam yang rapi, garis-garis emas di kerah dan mansetnya. Dia tampak seperti raja kegelapan yang siap berperang. Tapi tatapan mata merah-gelapnya, saat bertemu dengan Risa, memudar dari keseriusan Dewan menjadi nyala api yang tenang.
"Kau datang, Cintaku," katanya, suaranya dalam dan hangat, kontras dengan kedinginan ruangan.
Dia berjalan mendekat, dan Risa menunggu, membiarkan dia menatapnya.
"Gaun itu cocok denganmu," lanjut Lucien, mengulurkan tangan dan menyentuh sulaman mawar obsidian di pinggangnya. "Hitam adalah warna yang paling cocok untukmu. Itu adalah cerminan jiwamu yang unik. Gelap, tetapi indah."
Risa tersenyum, senyum yang sedikit dingin dan sombong—senyum yang ingin dilihat Lucien.
"Hitam adalah warna yang aman, Duke," jawab Risa, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Dalam hidup ini, aku telah belajar bahwa terlalu banyak warna hanya membawa kecemburuan. Dan aku lebih suka memuaskan satu orang daripada seribu orang."
Kata-kata itu, yang dipenuhi kepatuhan dan pengakuan atas obsesinya, jelas menyentuh Lucien. Kilatan intensitas di matanya mereda, digantikan oleh kepuasan yang dalam.
"Tentu saja," kata Lucien, suaranya melembut, seperti es yang mencair. "Aku satu-satunya penontonmu, Elena. Dan aku adalah satu-satunya yang patut kamu puaskan."
Lucien membawanya ke kursi di sebelahnya—bukan di ujung yang lain, tetapi bersebelahan, sebuah jarak yang sangat intim.
Selama makan malam, Lucien tidak banyak bicara. Dia hanya mengamati Risa. Setiap gerakan, setiap gigitan, setiap tegukan air anggur. Keheningan itu sangat membebani, tetapi Risa membiarkannya. Dia tahu bahwa "memahami dan menenangkan" berarti tidak mengisi keheningan dengan perlawanan yang sia-sia, tetapi dengan ketenangan yang menunjukkan kepatuhan.
"Kau makan dengan baik," kata Lucien tiba-tiba, setelah Risa selesai memakan sup udang karang yang kaya. "Aku senang. Aku khawatir kau akan mencoba menyakiti dirimu sendiri lagi."
"Aku sudah melewati fase itu, Duke," Risa menjawab, mengangkat dagunya sedikit. "Aku hampir mati. Sekarang aku bebas dari Ayahku. Aku tidak akan membuang hidup yang mahal ini."
"Bagus," kata Lucien, ekspresinya dipenuhi kepuasan. "Aku akan pastikan kamu tidak pernah ingin pergi. Aku akan memberimu semua yang kamu inginkan, Elena. Kekayaan, kekuasaan, dan yang terpenting, perlindungan mutlak dariku."
Risa mengambil risiko. Dia harus mulai menguji batas-batasnya.
"Kekuasaan," kata Risa, mencondongkan tubuh sedikit. "Aku tidak membutuhkan kekayaanmu, Duke. Aku sudah memiliki kekayaan Ayahku. Yang aku butuhkan adalah kekuasaan untuk menegakkan hukum dan melindungi nama keluarga De Martel. Aku ingin menjadi Duchess yang berguna, bukan boneka yang cantik."
Lucien terkejut. Matanya yang merah-gelap menyipit, menganalisis. Elena yang asli akan meminta gaun, perhiasan, atau pengaruh untuk mempermalukan Serafina. Elena yang sekarang meminta kekuatan untuk melayani obsesinya.
"Kamu ingin kekuasaan?" tanya Lucien, nadanya hati-hati.
"Ya," jawab Risa. "Aku tidak ingin ada bangsawan lain yang berani meragukan kita, Duke. Aku ingin menghukum mereka yang masih mendukung Serafina Lowe. Aku ingin menjadi tangan besimu yang tak terlihat di Ibu Kota."
Risa membiarkan kegelapan mengalir melalui nada suaranya. Dia membiarkan dirinya menjadi 'Elena' yang baru—kejam, ambisius, tetapi sekarang, sepenuhnya fokus pada Lucien.
Keheningan yang lama terjadi. Kemudian, Lucien tertawa. Bukan tawa yang dingin, melainkan tawa yang penuh gairah dan kegembiraan.
"Kamu benar-benar luar biasa, Elena," katanya, mengambil tangan Risa dan mencium punggungnya, kali ini jauh lebih lama dari biasanya. "Kamu tidak ingin kekuasaan untuk dirimu sendiri. Kamu ingin kekuasaan untuk kita. Untuk mengamankan Obsesi ini."
Lucien bangkit, matanya bersinar dengan kepuasan yang dalam. Dia meraih sebuah kotak kayu ebony yang tersembunyi di balik kursinya.
"Aku punya hadiah kedua untukmu," katanya, meletakkan kotak itu di hadapan Risa. "Buka."
Risa membuka kotak itu. Di dalamnya, terbaring sebuah cincin pertunangan. Itu bukan cincin berlian biasa, tetapi sebuah cincin unik: emas putih yang dibentuk seperti mawar berduri, dengan Obsidian besar yang terukir rumit sebagai batu utamanya. Itu gelap, mengancam, dan sangat indah.
"Obsidian Bloom," bisik Lucien. "Aku menamainya. Bunga gelap, cantik, abadi. Itu melambangkan kutukanku, dan kamu. Itu adalah sumpahku, Elena. Selamanya. Tidak ada akhir."
"Aku menerima sumpahmu, Duke," kata Risa, suaranya nyaris tercekik oleh campuran ketakutan dan intensitas.
Lucien mengambil cincin itu, mengangkat tangan Risa, dan dengan gerakan yang tegas, memasukkannya ke jari manisnya. Obsidian dingin itu terasa berat dan membelenggu.
"Sekarang," kata Lucien, menatap mata Risa, "kamu benar-benar terikat padaku. Besok, aku akan secara terbuka mengumumkan pertunangan kita di Dewan. Tidak ada yang akan berani menentangku, atau kamu."
Sisa malam itu dihabiskan Lucien dengan mengungkapkan rencananya secara rinci. Dia membahas bagaimana ia akan menggunakan kehancuran keluarga Von Helberg untuk menaikkan kekuasaan Elena, dan bagaimana ia akan menggunakan ancaman perang dingin untuk memaksa Dewan Kerajaan menerima mereka.
Risa/Elena mendengarkan, mengajukan pertanyaan-pertanyaan politik yang tajam—sesuatu yang Elena asli tidak pernah lakukan, tetapi Lucien anggap sebagai kejeniusan barunya. Risa menggunakan pengetahuannya tentang arsitektur dan perencanaan kota untuk memberikan saran tentang penguatan benteng Utara.
Lucien mendengarkan dengan penuh perhatian. Tatapannya semakin tenang, kegilaannya terkelola. Dia menjadi Duke Lucien yang brilian, posesif, dan strategis. Strategi Risa berhasil: Menjadi Obsidian Bloom yang layak dilindungi.
Saat malam semakin larut, Risa bertanya satu hal yang paling mengganggu pikirannya.
"Duke Lucien," Risa bertanya, suaranya santai. "Bagaimana dengan Serafina Lowe?"
Lucien mengernyitkan dahi, seolah nama itu adalah ketidaknyamanan yang terlupakan.
"Serafina," katanya dingin. "Dia adalah masa lalu yang bodoh. Obsesiku padanya adalah kegilaan sementara yang disebabkan oleh sihir pelindung yang disimpannya. Dia adalah cahaya yang mencoba melunakkan kegelapan. Dan aku tidak membutuhkan cahaya, Elena. Aku membutuhkan wanita yang menerima kegelapan di sisiku."
Lucien mencengkeram tangan Risa yang mengenakan cincin Obsidian.
"Kamu, Elena. Kamu adalah cerminan Obsidian itu sendiri. Kamu tidak takut pada kegelapanku. Kamu menari di dalamnya. Kutukan itu telah memilih kapal yang sempurna."
Risa menyadari bahwa ini adalah kebohongan yang Lucien yakini—bahwa obsesinya pada Serafina hanyalah kecelakaan dan kesalahan yang disebabkan oleh sihir. Dia telah merasionalisasi perpindahan Kutukan Obsidian menjadi sebuah kesempurnaan yang baru.
"Dia hanyalah gangguan kecil, Duke," kata Risa, menguatkan ilusi. "Aku akan menghadapinya jika dia berani mengganggu rencanaku."
Lucien tersenyum, senyum yang mematikan dan tulus. "Aku tahu kamu akan melakukannya, Cintaku. Tidak ada yang akan pernah menghalangi kita."
Malam itu, Risa tidur di ranjang utama Duke Lucien, kelelahan, tetapi dengan cincin Obsidian dingin di jarinya, dan sebuah rencana yang mulai terbentuk. Dia telah mendapatkan kepercayaan Duke, dan yang terpenting, dia telah menenangkan kegilaannya. Tapi sangkar itu sekarang tertutup rapat, dan ia harus mencari kunci kebebasan.
Bersambung.....