Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Disangka Mau Membujuk
Mama Riri terdiam. Ekspresinya berubah pelan, dari terkejut menjadi sedih. “Jadi Eliza benar-benar menolaknya, ya?”
Arjuna hanya menunduk.
Sementara itu, Lidya—yang duduk di sebelahnya—merasa dadanya sesak. Kata “ayah” bergema di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Tangannya mengepal di atas pangkuan, tubuhnya kaku seperti batu.
Mama Riri menghela napas panjang. “Maafkan anak Mama, Arjun. Nanti Mama coba bicara baik-baik sama Eliza. Kadang dia memang keras kepala. Tapi, untung masalah anak, Mama sangat kecewa kalau Eliza menolaknya. Kodratnya sebuah rumah tangga pastinya menginginkan keturunan, kecuali sebelum menikah ada kesepakatan bersama mengenai anak, misalnya menunda beberapa bulan atau tahun karena sesuatu hal. Masih masuk akal dan diterima.”
“Terima kasih, Ma. Aku cuma nggak mau masalah kecil jadi besar. Aku juga tidak ingin mengecewakan orang tua,” ucap Arjuna pelan.
Lidya nyaris tak mampu menelan makanannya. Setiap kata Arjuna terasa seperti luka yang tak kasat mata—menyengat tapi tak bisa dihindari. Ia buru-buru berdiri, membawa piringnya ke dapur. “Maaf, Ma. Aku beresin dulu, ya.”
Begitu punggung Lidya menghilang di balik pintu dapur, Arjuna menatap kosong ke arah meja. Tangannya meremas sendok kecil tanpa sadar. Ia sadar tatapannya sempat mengikuti gadis itu terlalu lama.
Mama Riri memperhatikan gerak-gerik itu, namun memilih diam. Ada sesuatu dalam cara Arjuna menatap Lidya—sesuatu yang tidak seharusnya terlihat oleh seorang ibu.
***
Beberapa menit kemudian, langkah ringan terdengar dari arah tangga. Eliza muncul dengan piyama dan rambut berantakan.
“Eh, Mas Arjuna ada di sini?” Suaranya setengah manja, setengah terkejut.
Arjuna mendongak pelan. Tatapannya singkat, nyaris hambar. “Pagi, El.”
Eliza menatapnya, bibirnya manyun. “Masih marah, ya? Udah capek marahnya dong. Aku juga nggak betah kalo harus diem-dieman terus sama Mas.”
Mama Riri bangkit, mencoba menengahi. “Sudah, sudah. Kalian itu pasangan suami istri, jangan lama-lama bertengkar begini. Eliza, Mama mau ngomong nanti ya, ada hal penting.”
Eliza hanya mengangguk, tapi matanya kembali pada Arjuna. “Mas ke sini mau jemput aku, kan?”
Senyum kecil muncul di wajahnya, berharap. Tapi jawabannya justru membuat senyum itu perlahan memudar.
“Enggak sekarang,” kata Arjuna datar. “Aku harus ke kantor, ada meeting jam 9. Lidya juga kerja, jadi sekalian kami berangkat bareng.”
Eliza melongo, pandangannya berpindah dari suaminya ke adiknya yang baru keluar dari dapur membawa tas kerja.
“Berangkat bareng?” ulangnya, seolah tak percaya.
Lidya terdiam. Ia hanya menunduk, lalu berkata lirih, “Aku pamit, Ma.”
“Sebentar,” sahut Arjuna cepat, lalu berdiri.
Eliza masih terpaku di tempatnya, menatap punggung suaminya yang berlalu bersama adiknya. Ada sesuatu yang menyesakkan di dada—entah karena cemburu, atau firasat buruk yang tiba-tiba datang. Dan, yang lenih menyesakkan bagi Eliza, tidak ada kecupan hangat dari Arjuna
Dari balik jendela ruang tamu, ia melihat mobil Arjuna berhenti di depan pagar, menunggu Lidya masuk ke dalam.
Arjuna keluar sejenak, membukakan pintu mobil untuk Lidya—gerakan kecil yang sederhana tapi terasa berlebihan di mata Eliza.
“Mas Arjun benar-benar berangkat kerja? Tidak ada ingin membujukku dulu, kah? Dan, lebih mementingkan pekerjaannya, bukan aku?” gumamnya pelan, suaranya getir.
Sementara itu, di dalam mobil, keheningan menelan mereka berdua. Hanya suara mesin dan musik pelan dari radio yang mengisi udara.
Arjuna menatap jalan lurus di depan, tapi ekor matanya sempat menangkap wajah Lidya yang menunduk, menggenggam tasnya erat-erat.
“Tidur semalam nyenyak? Sampai pesanku tidak dijawab,” tanyanya tiba-tiba, suaranya datar tapi lembut.
Lidya menoleh singkat. “Ya.”
“Kamu kelihatan pucat.”
“Aku baik-baik aja.”
Hening lagi.
Arjuna menekan pedal gas sedikit lebih dalam. Pandangannya fokus ke jalan, tapi pikirannya tidak. Setiap gerak kecil Lidya di kursi sebelahnya terasa terlalu nyata, terlalu dekat.
Ia menggigit pelipis jarinya pelan—menahan sesuatu yang bahkan tak tahu harus disebut apa.
Dari balik kaca spion, rumah Mama Riri makin jauh. Tapi sesuatu di sana masih tertinggal — tatapan curiga Eliza yang mengintip dari balik tirai, mengikuti mobil mereka sampai benar-benar menghilang di tikungan. Dan di dadanya, ada firasat yang membuatnya sulit bernapas.
***
Suasana dapur masih hangat dengan aroma roti panggang dan kopi yang belum sepenuhnya hilang. Mama Riri duduk kembali di meja makan, menatap Eliza yang kini bergabung di depannya dengan wajah setengah masam. Perempuan muda itu hanya mengenakan piyama sutra warna krem, rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya masih terlihat kesal sejak tadi.
Suara sendok beradu dengan piring terdengar pelan, tapi cukup untuk memecah keheningan.
“Mas Arjuna pergi kerja, Ma?” tanya Eliza datar tanpa menatap.
Mama Riri tersenyum kecil. “Iya, dia bilang mau langsung ke kantor. Bukannya tadi kamu melihat dan mendengarnya sendiri.”
Eliza menghela napas panjang, suaranya terdengar setengah menggerutu. “Masih sempat-sempatnya bareng Lidya juga. Padahal semalam aku berharap dia ke sini buat membujuk, merayu aku, bukan malah berangkat kerja bareng adikku.”
Nada cemburu itu jelas terdengar. Mama Riri memandang putrinya lama, kemudian berkata lembut, “Kamu masih ngambek sama suamimu?”
Eliza menunduk, menusuk potongan roti di piringnya dengan garpu. “Aku cuma capek, Ma. Mas Arjuna itu orangnya terlalu sibuk, terlalu logis. Semua harus pakai alasan, pakai waktu yang tepat. Padahal kadang aku cuma mau dia ngertiin aku tanpa perlu dijelasin.”
Mama Riri tersenyum samar, menatap putrinya penuh sayang. “Nak, kamu sadar nggak, dari dulu kamu selalu ingin semuanya berjalan sesuai keinginanmu? Tidak hanya pada Arjuna, tapi kepada Mama dan adikmu sendiri.”
Eliza mengerutkan kening. “Maksud Mama?”
Mama Riri meletakkan sendoknya perlahan. “Tadi pagi Arjuna sempat cerita. Katanya kamu menolak saat diajak mertuamu untuk program bayi tabung. Kamu benar-benar nggak mau punya anak? Atau kamu ikut-ikutan menganut chlidfree”
Eliza menghentikan gerakannya. Jemarinya yang memegang garpu tiba-tiba kaku. “Dia cerita ke Mama? Keterlaluan, pakai ngadu segala.”
“Ya,” jawab Mama Riri lembut tapi tegas. “Baru saja. Dia bilang sudah berusaha sabar, tapi kamu terus menolak. Bahkan, permintaan orang tuanya juga kamu tolak! Perlu kamu pahami, seorang suami kalau sudah bercerita pada mertuanya berarti dia sudah di titik rendah, dia bingung harus bagaimana lagi berbicara dengan istrinya.”
Tatapan Eliza naik, menatap langsung pada ibunya dengan mata melebar. “Jadi sekarang Mas Arjuna curhat sama Mama? Hebat. Dia bisa ngeluh seenaknya, padahal aku punya alasan kenapa belum mau hamil!”
Bersambung ... ❤️
Mampir yuk ke karya author Aisy Arbia