Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Cahaya putih redup dari lampu ICU memantul di permukaan kaca besar yang memisahkan pasien dengan dunia luar. Ruangan itu sunyi—hanya diisi suara mesin pemantau jantung yang berdetak stabil namun lemah, dan dengung lembut alat bantu pernapasan yang tersambung ke tubuh Kenny.
Setiap suara kecil itu menusuk hati Keyla.
Ia berdiri di samping tempat tidur, memeluk kedua lengannya sendiri. Selimut rumah sakit yang menyelubungi bahunya sejak tadi sudah terjatuh ke kursi karena ia terlalu fokus pada Kenny. Wajahnya pucat, matanya merah bekas menangis berjam-jam, dan bibirnya kering seolah ia lupa apa itu makan dan minum.
Kenny terbaring diam.
Terlihat begitu tenang, terlalu tenang—tak seperti lelaki yang biasanya penuh energi, selalu membuat ruangan terasa hangat ketika ia masuk. Kini kulitnya tampak pucat, rambutnya berantakan dengan garis darah kering di sisi wajah yang belum sepenuhnya dibersihkan, dan perutnya dibalut perban tebal. Dari jarak sangat dekat, Keyla bisa melihat bagaimana dadanya naik turun perlahan, teratur tetapi rapuh.
Seolah hidupnya hanya ditahan oleh mesin yang berbunyi monoton itu.
“Ken…” Keyla menyentuh jemari Kenny yang dingin. “Aku di sini…”
Suara itu pecah—patah—seperti kaca yang dilemparkan ke lantai.
“Aku tidak akan pergi ke mana pun.”
Matanya kembali berkaca-kaca.
Tipes perih di tenggorokan membuat ia sulit bicara, tetapi ia memaksa melanjutkan.
“Tolong bangun, Ken… kamu sudah berjuang sejauh ini. Jangan berhenti sekarang.”
Ia menundukkan kepala, mencium jemari Kenny yang dingin.
“Jangan tinggalkan aku…”
Hening menjawab.
Di luar ruang ICU, Reno bersandar pada dinding, menyilangkan tangan, wajahnya muram. Sudah lama ia tidak terlihat setegang ini. Sejak membawa Kenny ke rumah sakit, ia tidak istirahat. Ada bayangan gelap di bawah matanya, dan pelipisnya berdenyut keras.
Namun pikirannya tidak hanya pada Kenny.
Ada hal lain yang membuat hatinya tidak tenang.
Penculik itu…
Tidak bertindak sendiri.
Dengan gemetar halus pada jari yang hampir tak terlihat, Reno mengingat sesuatu—kata-kata terakhir penculik itu sebelum ambruk.
“Kau tidak tahu apa pun… aku hanya permulaan.”
Kata-kata itu terus berulang di kepala Reno.
Ia tahu Kenny punya banyak musuh, tapi ini berbeda. Terlalu rapi, terlalu terencana, terlalu berkaitan dengan masa lalu Keyla yang masih kabur.
Seperti seseorang sedang menarik tali dari belakang.
Reno meraih ponsel dari saku. Ada banyak pesan dari anak buah Kenny.
— “Semua gudang di pinggiran kota sudah diperiksa.”
— “Tidak ada tanda aktivitas mencurigakan.”
— “Rekaman CCTV jam sebelum penculikan rusak, seperti diretas.”
Itu saja sudah cukup membuktikan bahwa penculik yang tadi mereka hadapi bukanlah orang sembarangan.
Reno mengetik balasan pelan, matanya tetap menatap pintu ICU seakan bisa melihat Keyla dari balik kaca.
“Tetap waspada. Kita belum selesai. Ini baru awal.”
Ia kirim dan mengembuskan napas panjang.
Di dalam, Keyla belum bergerak sedikit pun.
Ia duduk di kursi tepat di samping ranjang Kenny, mendekatkan wajahnya pada tangan lelaki itu dan membiarkan jari-jari mereka saling bersentuhan. Ia ingin percaya bahwa sentuhan itu cukup untuk membuat Kenny tahu ia tidak sendiri.
“Kamu harus bangun…” suaranya pelan. “Aku belum sempat bilang terima kasih. Aku belum sempat bilang maaf. Aku belum sempat bilang kalau…”
Napasnya gemetar.
“…kalau kamu berarti segalanya untukku.”
Untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke ruangan ini, Keyla menangis lagi. Tidak histeris seperti sebelumnya. Tangis itu lembut, gemetar, dan sangat menyakitkan karena air mata itu lahir dari rasa takut yang begitu besar.
Bayangan masa lalu menerpa pikirannya seperti petir—sepotong demi sepotong, samar dan menyakitkan.
Dia memanggilku Dira…
Kenapa?
Dari seluruh teror yang ia alami di gudang, satu hal yang paling menghantui bukan ancaman, bukan kekerasan, bukan jeratan tangan penculik…
Tetapi nama itu.
Nama asing yang terasa begitu dekat. Sangat dekat, sampai tubuhnya merespons dengan ketakutan naluriah yang tidak bisa ia jelaskan.
Seolah nama itu pernah menghancurkannya.
Keyla menutup mata, memaksa napas masuk perlahan.
Siapa aku sebenarnya?
Dan kenapa seseorang menginginkan dirinya?
Ia menoleh ke Kenny lagi.
Jika bukan karena Kenny… mungkin ia sudah hancur. Mungkin ia sudah tidak ada di sini. Dan itu membuat rasa bersalahnya semakin menusuk.
“Maaf…” suaranya bergetar lagi. “Maaf karena kamu terluka karenaku…”
Ia memegang tangan Kenny lebih erat.
“Kalau kamu bangun nanti… aku janji tidak akan kabur dari apa pun lagi. Aku akan menghadapi semuanya. Masa laluku. Masa lalumu. Semua yang mencoba mengganggu hidup kita.”
Matanya menatap wajah Kenny yang diam.
“Jadi kamu… kamu harus bangun… agar aku bisa menepati janjiku.”
Pintu ICU perlahan terbuka.
Reno masuk dengan langkah hati-hati. Ia tidak ingin membuat suara yang bisa mengganggu mesin atau staf medis. Dokter memperbolehkan satu orang keluarga atau orang terdekat berada di dalam untuk menemani, dan Reno tahu Keyla tidak akan meninggalkan ruangan ini.
“Keyla,” bisiknya pelan.
Keyla menoleh sebentar. Matanya bengkak, tetapi ia tidak marah karena Reno masuk. Ia justru terlihat lega sedikit. Reno adalah satu-satunya orang lain selain Kenny yang membuatnya merasa sedikit aman.
“Bagaimana… keadaan di luar?” Keyla bertanya lirih.
Reno mendekat, menatap Kenny sekilas lalu kembali memandang Keyla.
“Kita masih berjaga. Anak buah Kenny sedang menyisir beberapa titik. Kita tidak bisa anggap semua ini selesai.”
Keyla menelan ludah. “Jadi… ada orang lain yang mengincar aku?”
Reno tidak menjawab cepat.
Ia menimbang kata-katanya.
“Kemungkinan besar… ya.”
Keyla menggenggam tangan Kenny lebih erat.
“Kenapa? Kenapa aku?”
Reno menghembuskan napas pelan.
“Kamu ingat apa pun… dari masa lalumu? Tentang nama ‘Dira’?”
Pertanyaan itu membuat Keyla gemetar. Seolah namanya sendiri adalah bom waktu yang siap meledak kapan pun.
“Aku… aku tidak tahu…” bisiknya.
“Ada sesuatu,” Reno menekan lembut. “Tadi waktu di rumah… kamu ketakutan hanya karena mendengar nama itu. Sesuatu pasti terjadi.”
Keyla menutup mata, mencoba menggali.
Yang muncul hanya serpihan.
Hujan deras.
Sebuah lorong gelap.
Tangisan seorang anak kecil.
Suara laki-laki yang tidak jelas wajahnya.
Perasaan dikurung.
Andil rasa sakit di kepalanya.
Dan sebuah bisikan:
“Dira… jangan lari lagi…”
Keyla membuka mata cepat-cepat, napasnya tersengal.
“Aku… aku tidak tahu siapa dia… tapi aku merasa… aku merasa aku pernah dikejar… sangat lama…”
Reno memijit pelipisnya.
“Ini lebih buruk dari dugaan.”
Keyla menatapnya, ketakutan. “Apa maksudmu?”
Reno menatap pintu, memastikan tidak ada yang mendengar.
“Penculik itu bukan hanya seorang kriminal. Dia adalah seseorang yang tahu apa yang kamu lupakan. Dan seseorang yang memerintahnya… pasti tahu lebih banyak.”
“Siapa?” Keyla bergetar.
“Itu yang akan kita cari tahu,” jawab Reno tegas. “Tapi sekarang… fokusmu hanya satu.”
Ia menunjuk Kenny.
“Dia perlu kamu.”
Kalimat itu meruntuhkan benteng terakhir di dada Keyla. Ia kembali menunduk, memegang tangan Kenny, seakan membagikan kekuatan yang ia miliki pada lelaki itu.
“Aku tidak akan pergi dari sini,” bisiknya.
Reno mengangguk. “Aku tahu. Dan aku akan berjaga di luar. Tidak ada seorang pun yang akan menyentuh kamu atau Kenny lagi.”
Ia berjalan ke pintu, namun sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan berpaling.
“Keyla.”
“Ya?”
“Apa pun masa lalumu…” Reno menatapnya dalam, “…kamu tidak sendirian dalam menghadapinya. Kami semua ada di sini.”
Untuk pertama kali sejak penculikan, Keyla tersenyum kecil dan lemah.
“Terima kasih, Reno.”
Reno mengangguk dan menutup pintu.
Sendirian lagi, Keyla kembali menatap Kenny.
Monitornya berbunyi beep… beep… beep pelan.
Sebuah irama yang baginya lebih indah daripada musik apa pun di dunia.
Ia menyentuh pipi Kenny.
“Hidup, Ken… bertahan… kembali padaku…”
Air matanya menetes, jatuh di punggung tangan Kenny.
Dan di antara mesin dingin yang bekerja tanpa ampun, di dalam ruangan yang tidak membiarkan waktu bergerak cepat, Keyla berdoa dalam hati:
Jangan biarkan dia pergi.
Aku belum siap kehilangan dia.
Dan aku akan menunggu… sampai kamu membuka mata.
Di luar ICU, Reno berdiri. Tubuhnya tegang, mata tajam menatap lorong panjang.
Karena sementara Keyla menjaga Kenny…
Reno menjaga mereka berdua dari sesuatu yang sedang bergerak di luar sana.
Sesuatu yang lebih gelap.
Lebih besar.
Dan lebih berbahaya dari semua yang sudah mereka hadapi.
Malam itu, satu-satunya yang tidak tidur bukan hanya Keyla…
Tapi bahaya yang mendekat perlahan.
Dan sesuatu memberitahu Reno—
Ini baru permulaan.