Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.
Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Dengan sisa uang dua puluh ribu dari semalam, Kirana membelikan dua buah tempe dan sebotol kecil kecap manis. Ia berencana membuat sarapan sederhana untuk kedua anaknya: tempe kecap favorit mereka.
Setelah selesai memasak, Kirana memanggil Arka dan Tiara.
Arka sudah rapi dengan seragam SD-nya, sementara Tiara juga sudah mandi dan mengenakan baju lucu kesukaannya. Kirana bersyukur, kedua anak itu mudah diatur dan tidak pernah menyulitkannya.
“Ibu sudah taruh lauk buat makan siang di dalam tudung ya. Jangan lupa makan siang. Jangan kayak semalam, Ibu khawatir kalau kalian sakit,” ucap Kirana lembut setelah sarapan selesai.
“Iya, Bu…” jawab mereka serempak.
“Nanti Abang pulang jam berapa? Masih kayak semalam?” tanya Kirana pada Arka.
“Arka nggak tahu, Bu. Tapi Arka usahain pulang cepat.”
“Ya sudah. Ibu berangkat duluan, ya. Ingat pesan Ibu, jangan main jauh-jauh. Takutnya kesasar.”
Kirana mengusap kepala Tiara.
“Iya, Bu. Nanti Tiara main sama Lilis aja,” jawab Tiara polos.
Lilis memang anak seusianya yang rumahnya berdampingan dengan mereka.
Setelah memastikan semuanya aman, Kirana bergegas pergi bekerja. Ia harus jalan kaki, jadi ia tak boleh terlambat.
Arka kemudian merapikan buku-bukunya dan berkata ke Tiara, “Abang ke sekolah dulu, ya. Kalau Abang pulangnya lama, Adek makan duluan. Jangan tungguin Abang.”
“Iya, Bang,” jawab Tiara sambil memainkan bonekanya.
“Abang berangkat, ya. Di rumah jangan pergi ke tempat kerja Ibu lagi. Kemarin kamu kesasar, kan? Untung Abang cepat temuin kamu. Kalau nggak, Ibu pasti khawatir. Jangan diulangi lagi.”
“Iya, Bang. Udah sana, nanti Abang telat,” jawab Tiara sok dewasa.
Arka tersenyum kecil dan berangkat.
Siang Harinya
Rumah kecil itu terasa sepi. Tiara duduk di depan rumah sambil menatap gang, menunggu Lilis keluar bermain.
Namun beberapa menit kemudian, ibunya Lilis keluar sambil menggandeng Lilis yang sudah berdandan rapi.
“Tiara, Tante ajak Lilis pergi dulu, ya. Mau ke rumah neneknya,” ucap Ibu Lilis ramah.
Tiara mengangguk, meski hatinya langsung kecewa.
Tidak ada teman bermain. Tidak ada siapa-siapa. Dan ia sangat merindukan ibunya.
Tiara menggigit bibir kecilnya, menatap jalan.
Ibu deket kok… Tiara tau jalan…
Tanpa pikir panjang, ia menutup pintu rumah perlahan dan mulai berjalan mengikuti ingatannya: belok kanan, lurus, belok kiri… atau kanan? Ia tidak ingat pasti.
Sepuluh menit berjalan, semua gang tiba-tiba terlihat asing. Rumah-rumah tidak lagi sama. Tidak ada orang yang ia kenal.
Tiara berhenti. Bibirnya mulai bergetar.
“I…bu…” panggilnya lirih.
Tidak ada jawaban.
Gang itu sepi. Panas. Dan amat besar untuk gadis kecil seusianya.
Tiara mulai menangis pelan. “Ibu… Abang…”
Air mata mengalir membasahi pipinya yang merah. Ia ketakutan, tidak tahu jalan pulang ataupun jalan ke toko tempat ibunya bekerja.
Di tengah tangisannya, sebuah suara laki-laki terdengar tidak jauh dari situ.
“Eh… dek?”
Tiara mendongak. Seorang pria berdiri di gerbang rumah besar, baru saja hendak masuk. Pria itu langsung berhenti ketika melihat bocah kecil yang menangis tersedu-sedu.
Itu adalah Yuda.
Ia membelalakkan matanya, langsung menghampiri.
“Dek, kenapa? Kok nangis sendirian? Kesasar ya?”
Tiara mengusap air matanya sambil terisak.
“A… Tiara mau… ke Ibu…”
Yuda berjongkok, menatap mata kecil itu dengan lembut.
Jantungnya sedikit mencelos—bocah itu masih sangat kecil, tidak mungkin berjalan sejauh ini sendirian.
“Nama kamu Tiara?” tanya Yuda pelan.
Tiara mengangguk sambil menangis.
Yuda menarik napas panjang.
" ibu kamu dimana, kok dijalan sendirian, nanti kamu kenapa-kenapa gimana"
"Kamu tahu dimana tempat kerja ibu kamu" Tiara hanya menggeleng pelan.
Yuda baru hendak menenangkan Tiara lagi, ketika suara dari belakangnya terdengar.
“Yud? Kamu ngomong sama siapa itu?”
Pintu gerbang terbuka lebih lebar. Seorang wanita seusia enam puluhan keluar — Lasma ibunya Yuda. Ia mematung seketika saat melihat anak kecil yang menangis tersedu di depan rumah mereka.
“Ya Allah, ini anak siapa? Lucu banget tapi kok sendirian?” tanya ibunya panik. Ia langsung mendekat, memegang lembut kedua bahu Tiara. “ kamu kesasar, Nak?”
Tiara mengusap air matanya lagi, tapi sebelum sempat menjawab, suara langkah tergesa terdengar dari ujung gang.
“Tiara!!”
Seorang anak laki-laki berseragam SD berlari ke arah mereka Arka. Napasnya terengah, wajahnya pucat, jelas ia sudah mencari Tiara dari tadi.
Begitu melihat adeknya, Arka langsung menghampiri dan memeluk Tiara erat-erat.
“Ya ampun, Tiara… kenapa kamu pergi sih?” suaranya bergetar, hampir menangis.
“Aku cari dari tadi! Ibu kalau tahu bisa pingsan, Tiara…”
Tiara menangis semakin kencang, menyembunyikan wajahnya di dada abangnya.
Yuda dan ibunya saling pandang.
Ibunya Yuda menghela napas lega. “Syukurlah kamu datang, Nak… Ibu sudah khawatir tadi.”
Arka menatap Yuda dan ibunya, lalu menunduk sopan. “Maaf ya, Nek… Maaf ya, Mas… Adek saya bikin repot…”
Yuda mengusap puncak kepala Arka pelan, merasa iba melihat bocah sekecil itu sudah harus bertindak seperti orang dewasa.
“Tidak apa-apa. Untung tadi Abang lihat dia.”
Arka memanggil Tiara pelan, “Ayo pulang… jangan main jauh-jauh lagi, Tiara.”
Tiara mengangguk sambil sesenggukan.
Yuda memperhatikan adik-beradik itu sambil menatap wajah Arka yang kelelahan.
Ibunya Yuda menatap Arka dan Tiara yang masih terlihat ketakutan. Hati wanita tua itu langsung luluh melihat dua bocah kecil yang jelas-jelas tidak terurus dengan baik oleh keadaan hidup mereka.
“Nak… kalian sudah makan siang belum?” tanya ibunya Yuda lembut.
Arka menggeleng perlahan. “Belum, Bu… tapi kami pulang saja. Ibu kami pasti khawatir.”
“Lho, jangan pulang dulu. Masuk dulu, makan bareng Ibu ya.”
Nada suaranya begitu hangat, seperti ajakan seorang nenek pada cucunya sendiri.
Arka langsung buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Bu… nanti ngerepotin. Kami pulang aja.”
Ibunya tersenyum lembut, tapi mata tuanya menyiratkan kekhawatiran besar. “Nggak repot, Nak. Kalian ini masih kecil. Lihat tuh adikmu sampai gemeteran. Masuk ya, makan dulu. Habis itu baru pulang.”
Arka tetap mencoba menolak dengan sopan. “Beneran, Bu. Kami—”
“Sudah. Ayo masuk.”
Kali ini nada ibunya Yuda berubah sedikit tegas—tegas namun penuh kasih.
Arka terpaku, bingung harus bagaimana.
Tiara yang masih memegang tangan abangnya menatap ibu Yuda dengan mata besar yang masih sisa tangisan. “Boleh ya, Bang… Tiara lapar…” ucapnya lirih, polos dan jujur.
Arka terdiam. Ia tidak bisa mengabaikan adiknya.
Yuda ikut berbicara, suaranya menenangkan, “Masuk aja dulu. Kalian nggak merepotkan kok. Ibuku kalau sudah nawarin makanan, susah nolaknya.”
Ibunya cepat menimpali, “Nggak usah jaim. Ayo, Arka… Tiara… masuk.”
Arka akhirnya menunduk sopan.
“Kalau begitu… maaf ya, Bu… kami ikut.”
“Pinter.”
Ibunya Yuda tersenyum puas, lalu menggandeng Tiara masuk ke rumah, sementara Arka mengikuti dari belakang.
Yuda menutup gerbang sambil memperhatikan mereka.
Ada sesuatu di hatinya yang terasa hangat—entah kenapa, suasana ini terasa… lengkap. Seperti rumah yang sudah lama ia rindukan.