Valeria Sinclair, seorang pengacara berbakat dari London, terjebak dalam pernikahan kontrak dengan Alexander Remington—CEO tampan dan dingin yang hanya melihat pernikahan sebagai transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa kasih sayang.
Namun, saat ambisi dan permainan kekuasaan mulai memanas, Valeria menyadari bahwa batas antara kepura-puraan dan kenyataan semakin kabur. Alexander yang dingin perlahan menunjukkan celah dalam sikapnya, tetapi bisakah Valeria bertahan saat pria itu terus menekan, mengendalikan, dan menyakiti perasaannya?
Ketika rahasia masa lalu dan intrik keluarga Alexander mulai terkuak, Valeria harus memilih—bertahan dalam permainan atau pergi sebelum hatinya hancur lebih dalam.
🔥 Sebuah kisah penuh ketegangan, gairah, dan perang hati di dunia penuh intrik kekuasaan. 🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leona Night, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melupakan Luka Menatap Masa Depan
Valeria’s POV
Hari Pertama bekerja di Firma Hukum Nancy Montgomery memberikan aura baru dalam kehidupanku. Berbeda dengan tempat kerja sebelumnya, di firma ini aku disambut baik, terutama oleh Nancy. Dia adalah Dosen pembimbingku dulu saat aku masih menempuh pendidikan Hukum.
Dia sempat bertanya tentang statusku dan aku pun berkata bahwa aku menikah, tetapi sedang dalam proses cerai dari suamiku. Dia menyatakan keprihatinannya namun sangat menghargai privasiku. Dia tidak bertanya lebih jauh. Bagiku itu adalah suatu anugerah. Akhirnya aku memperoleh tempat kerja yang tidak terlalu ikut campur dalam masalah pribadi.
Aku mendapat ruang kerja sendiri yang nyaman dan tenang. Sungguh seperti mimpi. Saat aku pulang dari Paris, posisiku jobless dan tidak punya bayangan mau kerja apa dan dimana. Untunglah Richard merekom kan ku pada Nancy dan akhirnya disinilah aku sekarang. Kembali ke titik awal, titik dimana aku dulu berada sebelum mengenal Alex.
Sebagai ungkapan rasa syukurku, aku bertekad tidak akan pernah mau lagi melihat ke belakang. Aku punya segudang rencana untuk masa depanku, termasuk mengabdikan diri sebagai pengacara Pro Bono untuk sejumlah wanita yang membutuhkan pendampingan. Kebetulan Firma Hukum tempatku bekerja bermitra dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang khusus bergerak di bidang perlindungan anak dan wanita.
Aku merasa sangat relate dengan para wanita yang kubantu. Aku merasa diriku sebenarnya sama seperti mereka, pernah merasa tidak memiliki kendali atas hidupku sendiri dan terjebak dalam perkawinan yang tidak sehat serta penuh kebohongan.
Seperti hari ini, aku sedang mendampingi seorang wanita muda yang menangis menceritakan pernikahan penuh tekanan yang dialaminya. Aku berusaha mendengarkan dengan sabar, hatiku ikut tersayat mendengar ceritanya. Aku melihat diriku sendiri dalam wanita itu.
Saat ini wanita itu menangis terisak isak di depanku dia berkata, "Saya tidak bisa keluar, saya terjebak dalam kontrak ini… Dia punya semua kekuasaan atas saya."
Aku miris mendengar penjelasannya, dia terjebak dalam perjanjian pra nikah yang sangat merugikan dirinya. Aku menggenggam tangan wanita itu dengan lembut, menatapnya dengan penuh keteguhan.
"Kau lebih kuat dari yang kau kira. Tidak ada kontrak yang lebih berharga dari kebebasanmu sendiri." ujarku padanya.
Wanita itu mengangguk sambil menangis, lalu kami berpelukan. Saat itu pikiranku mengembara pada persoalanku sendiri. Seharusnya aku bisa melaksanakan kata kata yang aku nasehatkan pada wanita itu.
Melalui percakapan sederhana namun intens dengan wanita yang aku dampingi ini aku menemukan sebuah kebulatan tekad, bahwa aku tidak akan pernah lagi mau kembali pada posisi yang sama seperti ketika aku bersama Alex. Aku harus mengakhiri segalanya, menata kembali kehidupanku dan menatap masa depan dengan lebih bijaksana. Setidaknya itulah yang kuyakini saat ini.
*******
Sore itu aku masih mengerjakan banyak sekali berkas untuk kepentingan persidangan besok untuk salah seorang klien pro bono ku. Tiba tiba Richard mengetuk pintu ruang kerjaku dan berkata, “Ada orang mencarimu. Sepertinya utusan dari bos besar!”
Aku melihat ke arah Richard heran.
“Siapa itu bos besar? “ tanyaku.
Richard hanya mengangkat bahu dan mempersilahkan seorang laki laki muda berwajah tampan yang mengenakan setelan jas warna coklat, dan membawa tas hitam untuk masuk ke ruanganku.
“Selamat sore Madam, nama saya Robert, saya utusan dari kantor pengacara yang mewakili tuan Alexander Remington. Ingin menyampaikan sesuatu pada anda,”
Seketika tubuhku terasa kaku. Jantungku berdebar tidak karuan. Aku merasa was was, jangan jangan, Alexander menceraikan ku.
Dengan Nada Formal Robert berkata, "Tuan Remington mengirimkan ini untuk Anda, Nona Valeria. Ini bagian dari klausul perjanjian pernikahan yang pernah anda tanda tangani"
Aku merasa darahku tiba tiba mendidih. Mengapa Alexander selalu saja membuat perkara yang memicu kemarahanku. Dia pikir aku mengharap uang darinya. Dasar laki laki tidak bisa menilai orang dengan baik. Aku menatap amplop berisi cek dengan nominal sebesar 20 juta poundsterling itu dengan mata membara.
"Kau bercanda?"
Robert tampak berusaha tetap tenang, sepertinya dia merasa kalau aku emosi.
"Ini adalah bagian dari kesepakatan pernikahan Anda. Ini hak Anda, Nona."
Dengan kemarahan yang membuncah, aku raih amplop itu… lalu melemparkannya kembali ke pria itu.
"Katakan pada Alexander, aku lebih memilih hidup melarat daripada menerima uang dari kebohongan yang dia rancang!”
Robert terkejut, tetapi tetap menjaga sikap profesional, dengan wajah datar dia pun berkata, "Baik, Nona. Saya akan menyampaikan pesan Anda."
Tanpa basa basi aku segera melakukan panggilan pada Alex, dengan amarah yang siap meledak, aku menunggu dia menjawab panggilanku.
“Halo, Val. apa yang bisa kubantu?’
Tanpa basa basi aku segera menumpahkan amarah ku padanya,” Kau jangan pernah berpikir bisa membayar semua yang sudah kuberikan padamu. Ketulusanku merawat mu saat kau hampir mati terkena racun karang di kepulauan Bahama, pendampingan bisnis selama aku berada di paris hingga keperawananku.”
“Wo..wo.wo..Sabar sabar, ini soal apa Sayang?” ujar Alex di seberang sana.
“Jangan berlagak pikun kau. Barusan anak buahmu datang ke kantorku dengan maksud ingin menyerahkan 20 juta poundsterling.” jawabku ketus.
“Ah itu pasti salah paham sayang, bagaimana jika kita bertemu? “
Rasa jengkel ku memuncak seperti hendak menembus ubun ubun, “Stop memanggilku sayang sayang. Aku tidak sudi kau panggil sayang.” KLIK
Sengaja panggilan ponsel kuakhiri. Dari pembicaraan ini aku bisa menduga bahwa itu semua akal akalan Alex agar bisa bertemu denganku dan aku tidak akan memberi dia ruang untuk itu.
******
Saat jam istirahat, aku menuju area makan yang ada di dalam gedung tempatku bekerja. Aku ingin mencari udara segar, setelah tadi emosiku tersulut perihal Uang perjanjian nikah kontrak yang dulu pernah ku tandatangani.
Aku sengaja memilih tempat duduk yang jauh dari keramaian. Sebuah pojok yang lokasinya agak menjorok dan berada didekat jendela besar, dimana aku bisa melihat danau buatan dengan angsa berenang di atasnya yang ada di taman sebelah gedung Firma hukum Nancy.
Saat aku asyik merenung tiba tiba datang seorang pria mendekatiku namanya William. Pria itu tinggi, berambut gelap, dengan mata abu-abu tajam yang menyiratkan kecerdasan. Dia pengacara sukses yang juga baru saja bergabung di Firma hukum milik Nancy. Kebetulan dia juga memilih untuk mengabdikan waktunya untuk membantu klien yang membutuhkan secara Pro Bono (gratis).
William menatapku dengan senyum ramah.
"Jadi, kau yang katanya sangat berbakat tapi juga paling keras kepala di sini?"
Aku tertawa kecil, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu ini aku bisa tertawa lepas dan merasa lebih ringan.
"Siapa yang bilang begitu?"
William menyandarkan diri di meja, lalu menatapku dengan penuh rasa ingin tahu.
"Semua orang. Mereka bilang kau seorang pejuang yang tak kenal takut."
Aku mengangkat alisku dan berlagak terkejut.
"Mereka berlebihan."ujarku sambil tersenyum
William pun ikut tersenyum.
"Atau mungkin mereka benar. Kau tampak seperti seseorang yang telah bertarung keras dalam hidup."
Percakapanku dengan william terasa ringan dan mampu mengusir rasa jengkel yang tadi bersarang di hatiku. Aku merasa seperti mendapat teman baru, teman diskusi yang nantinya aku harapkan bisa membuatku perlahan tapi pasti lupa pada semua masa lalu pahit perkawinanku .
*****
Alex’s POV
Aku menatap layar laptop, melihat rekaman CCTV dari lembaga tempat Valeria bekerja, yang secara diam-diam bisa aku akses. Yup, berkat koneksiku dengan beberapa orang termasuk pemilik gedung, aku bisa meminta salinan CCTV yang memuat semua aktivitas Valeria di gedung itu.
Hatiku terasa mendidih setiap kali aku melihatnya tertawa bersama pria lain. Seperti ada sesuatu di dalam diriku yang hancur berantakan.
Tanpa kusadari Raymond yang ada di pojok ruang kerjaku mengamatiku.
“ Tuan, jika Anda ingin menemuinya, kenapa Anda terus menunda?"
Mendengar perkataan Raymond tanpa sadar aku mengepalkan tanganku.
"Karena aku ingin tahu… apakah dia masih membutuhkan aku."
Raymond menghela napas panjang dan berkata hati hati
"Dan jika dia tidak membutuhkannya lagi?"
Aku diam, menatap layar laptop dengan pandangan kosong
.
"Aku tidak tahu apa yang lebih buruk… melihatnya menderita karena kehilanganku, atau melihatnya bahagia tanpa aku." jawabku pada Raymond.
Harus ku akui, aku cemburu. Aku tidak mampu lagi menipu diriku. Aku begitu takut kehilangan Valeria. Aku merasa dia adalah milikku dan tidak semestinya dia bercengkrama dengan laki laki manapun selain aku.
Hanya aku yang boleh menatap wajahnya dengan cara laki laki itu menatap. Dasar brengsek! Pasti laki laki yang bernama William itu mengira bahwa dia bisa mendekati Valeria seenaknya.
Hanya aku yang boleh makan satu meja dengan Valeria, tidak yang lain, hanya aku yang boleh memandangnya dengan penuh keinginan, dan bukan pria yang lain. Darahku terasa mendidih dan tanganku pun mengepal lebih keras. Aku harus segera melakukan sesuatu. Aku tidak ingin Valeria benar benar melupakanku.
*******