Ingin berbuat baik, Fiola Ningrum menggantikan sahabatnya membersihkan apartemen. Malah menjadi malam kelam dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kesuciannya direnggut oleh Prabu Mahendra, pemilik apartemen. Masalah semakin rumit ketika ia dijemput paksa orang tua untuk dijodohkan, nyatanya Fiola sedang hamil.
“Uang yang akan kamu terima adalah bentuk tanggung jawab, jangan berharap yang lain.” == Prabu Mahendra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Keluarga Toxic
“Cepat tidur dan berhenti mengoceh. Hah, telingaku sakit karena teriakanmu.” Gama menyerahkan paperbag berisi pakaian ganti.
Maya mencibir. Dia pikir ikut dengan Gama akan menyenangkan, dibandingkan berada di tengah keluarga Ola yang toxic. Nyatanya membosankan. Gama ke sana ke mari entah mengurus apa. Memang ia bebas memilih makan malam lalu ke toko pakaian terbaik di kota tersebut. Namun, membosankan karena Gama terlalu dingin.
“Telingaku sakit karena teriakanmu.”Mencibir mengikuti gaya bicara Gama. “Dasar stecu, pantesan aja jomblo.”
Membuka paper bag, senyum Maya mengembang. Piyama dan pakaian ganti untuk besok, lengkap dengan pakaian d4lam. Semua dibayarkan oleh Gama.
“Kapan lagi beli baju mahal, biasanya juga online bayar pake pay later. Semoga aja kecipratan rejeki Ola.”
Memasuki kamar penginapan, menyimpan paper bag dan tas di atas ranjang.
“Padahal mah, satu kamar aja sih. Biar sekalian digerebek warga, terus dinikahin. Asli, gue nggak nolak. Yang ada Mas Gama malah nolak.” Maya terkekeh sendiri. Membuka ponsel dan mengirimkan pesan pada pria yang berada di kamar sebelahnya.
[Mas, kalau takut bilang ya. Nanti saya temenin. Kata orang, kamar penginapan itu horror]
Pesan sudah terkirim bahkan sudah terbaca, tapi tidak kunjung dibalas.
“Halah, mau ngarep apa sama kulkas.” Maya melempar ponsel ke atas ranjang. “Mandi ah.”
Sedangkan di kamar sebelah, Gama hanya bisa mengusap dad4 karena ulah Maya.
“Ya ampun, bisa kena stroke kalau dekat dia terus.”
***
Ola terjaga, merasakan sesuatu di atas perutnya. Mengerjap pelan dan hampir berteriak saat melihat ada tangan memeluknya tepat di atas perut. Teringat kalau ia sudah menikah dengan Prabu, yang tertidur begitu nyaman meski dalam kamar sederhana.
“Ya ampun, hampir aja aku tendang.” Dengan pelan memindahkan tangan Prabu lalu beranjak duduk. Berusaha untuk tidak mengusik ketenangan pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya. Masih lelap dibuai mimpi sambil mengeratkan selimut karena cuaca malam di kampung Ola lumayan dingin.
Tidak ada interaksi apapun semalam, apalagi drama malam pertama. Prabu malah mengingatkan agar istrinya cepat tidur. Seharian emosi dan fisik mereka seakan terkuras.
Sudah pukul enam pagi, cukup siang untuk Ola yang biasa bangun awal untuk berangkat kerja. Rasa mual masih ada, ia hendak ke dapur untuk minum air hangat dan membuatkan Prabu secangkir kopi.
“Berasa tuan putri, jam segini baru bangun. Mentang-mentang nikah sama orang kaya.”
Mengabaikan Amel yang mengoceh, Ola melewatinya begitu saja menuju dapur.
“Bi Encum,” panggil Ola.
“Eh, neng. Mau apa, biar bibi buatkan. Neng tunggu aja di depan.”
“Aku mau air hangat, bik.”
Dengan cekatan bik encum menuang air hangat ke gelas dan memberikan pada Ola, yang langsung diteguk.
“Mau sarapan sekarang?”
Ola menggeleng, rasa mual membuatnya tidak selera. “Aku mau buat kopi.”
“Untuk suami, Neng.”
Ola tersenyum dan mengangguk. Rupanya Amel masih kesal dan penasaran karena diabaikan. Menyusul ke dapur, berdiri di tengah pintu sambil berkacak pinggang.
“Hei, suami kamu benar orang kaya?” tanya Amel.
Ola sedang menuangkan air panas, menoleh sekilas kembali fokus mengaduk kopi.
“Nggak tahu,” jawab Ola.
Bukan berbohong, ia memang belum mengenal Prabu lebih jauh. Meski tahu kalau kehidupan pria itu bukan kelas bawah dan mahar yang diterima cukup fantastis. Namun, tidak tahu seberapa kaya atau sebanyak apa harta pria itu dan Ola tidak mau ambil pusing. Sudah dinikahi dan fokusnya pada hubungan pernikahan mereka. Apalagi orang tua Prabu belum tahu kalau mereka sudah menikah.
“Jangan-jangan, kamu cuma dibohongi. Bisa jadi mahar kamu cuma dua juta. Saham nggak ada, deposito juga nggak kelihatan wujudnya. Mana nikah kamu Cuma siri.”
“Terserah kamu,” sahut Ola. “Bik, nampannya mana.”
“Atau … mereka kamu bayar untuk pura-pura kaya dan menikahi kamu,” tuduh Amel.
Ola menghela nafas mendengar ocehan Amel. Bukan hanya dirinya, bik encum dan asisten rumah tangga lainnya pun mendengar.
“Kalau aku bayar mereka, sebanyak apa harus keluarkan uang. Kamu lihat mobil suamiku, berapa harus aku bayar untuk sewa. Lagi pula, mau kaya atau tidak bukan urusan kamu.”
“Kalau dia nggak kaya, urusan dengan Juragan Marta gimana?” tanya Amel setengah teriak.
“Jangan khawatir aku pasti selesaikan.” Amel dan Ola menatap ke arah suara. Prabu berdiri di belakang Amel.
“Sayang, kemari!” titah Prabu, enggan menerobos dan bersentuhan dengan Amel.
Mendengar Prabu memanggilnya sayang, wajah Ola merona. Sambil mengulum senyum ia membawa nampan dengan secangkir kopi dan segelas air di atasnya.
“Minggir,” ucap Ola. Amel pun berseger.
“Ayo,” ajak Prabu. malah mengambil alih nampan yang dibawa ola. “Kamu sedang hamil, jangan banyak berdiri.”
Prabu dan Ola berada di beranda rumah, menikmati suasana pagi. Menyesap kopi sambil menatap ke depan. Entah dari mana orangtua Ola, mereka datang dan langsung bergabung di beranda.
“Nak, Prabu. Uangnya benar sudah siap, Juragan Marta pasti ke sini. Kalau dia bilang pagi, pasti pagi tidak mungkin meleset,” ujar Samin.
“Kalau kamu tidak sanggup harusnya jangan berjanji, hidup kami jadi taruhannya.” Rosma ikut menambahkan.
Prabu kembali menyesap kopinya. Rupanya Amel mendengar pembicaraan itu.
“Ya mereka berdua yang tanggung jawab. Biar Juragan Marta langsung berurusan dengan mereka.”
“Astaga,” gumam Prabu pelan. Ia merasa keluarga Amel terlalu ribut dan berisik, padahal masih pagi. Jarang-jarang ia bisa menikmati udara segar dan mendengar kicauan burung di Jakarta. Yang ada suara klakson dan deru mesin kendaraan.
Mobil milik Prabu yang dibawa Gama memasuki halaman, menjadi perhatian semua orang.
“Jangan khawatir, semua akan diselesaikan olehnya.” Prabu menunjuk ke arah mobil dengan pandangannya.
Gama dan Maya keluar dari mobil. Ola tersenyum karena Maya melambaikan tangan dengan ceria.
“Wah, masih pagi udah pada ngumpul aja kaya keluarga cemara. Gimana semalam, lancar pak?” tanya Maya lalu terkekeh.
Gama menyenggol lengan Maya lalu memberikan paper bag pada bosnya.
“Ayo, sayang. Aku mau mandi,” ajak Prabu. Ola pun langsung ikut berdiri.
“Nggak usah buru-buru ya, kita paham kok,” ujar Maya langsung duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Ola. “Pada teg4ng amat, nungguin si Marta ya. Tenang aja, majikan saya akan bereskan masalah tanpa masalah. Iya ‘kan Mas Gama?”
Gama hanya menghela mendengar ocehan Maya. Ia ikut duduk di sofa yang sama dengan Maya, tapi berjarak. Tidak lama, ada mobil datang. Ternyata Juragan Marta didampingi putra yang kemarin ingin menikahi Ola juga antek-anteknya.
“Pak, gimana ini?” tanya Rosma. “Amel, panggil Ola sama suaminya.”
“Tidak perlu, biar saya saya yang urus,” sahut Gama.
“Semangat ya, mas,” bisik Maya lalu terkekeh.
crazy up thor semangat"
anak kandung disiksa gak karuan ehh anak tiri aja disayang² gilakk
kalo maya pindah nanti sepi
. kasian a' gama kn gak ada gandenganya wk wk wk