NovelToon NovelToon
ISTRI GEMUK CEO DINGIN

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Hamil di luar nikah / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:20.4k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEHIDUPAN BERUBAH

Sebulan setelah keruntuhan kerajaan bisnis Mateo, hidup pria itu berubah drastis. Ia menjual semua aset miliknya dari rumah megah hingga deretan mobil mewah. Kini, Mateo dan Livia tinggal di sebuah apartemen sederhana, yang sementara dipinjamkan oleh Don Velasco, ayah Mateo.

Apartemen itu jauh dari kemewahan yang dulu akrab dengan hidupnya. Tak ada pelayan, tak ada keamanan berlapis, hanya dinding kusam dan jendela kecil yang memantulkan cahaya matahari pagi.

Di dapur kecil apartemen, Livia mengenakan apron lusuh yang ia temukan di salah satu laci. Ia menyiapkan sarapan sederhana telur dadar dan roti panggang.

“Tuan, sarapannya sudah siap,” ucap Livia lembut, berdiri di ambang pintu ruang tengah.

Mateo yang duduk termenung di sofa usang hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Pandangannya kosong, seolah masih tersesat dalam bayangan masa lalunya yang penuh kemewahan dan kuasa.

Mateo menyantap sarapannya dengan diam. Tak ada percakapan, tak ada pujian atas masakan sederhana yang disiapkan Livia. Ia hanya makan seperti rutinitas yang harus diselesaikan tanpa rasa.

Sementara itu, Livia sibuk di dapur, membersihkan peralatan masak dan mengelap meja. Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah Mateo, mencoba membaca suasana hati pria itu yang tampak semakin murung dari hari ke hari. Wajahnya sayu, tak bergairah, seperti kehilangan seluruh arah hidup.

Ketika Mateo selesai makan, ia meletakkan sendok dan garpunya tanpa suara. Sebelum berdiri, ia akhirnya membuka suara, meski nadanya tetap datar.

“Nanti malam, ada kumpul keluarga. Mama meminta kamu datang membantu di dapur. Dengan para pelayan,” ucapnya singkat.

Livia hanya mengangguk kecil, meski hatinya terasa seperti ditusuk.

Tanpa menunggu reaksi apa pun, Mateo beranjak masuk ke kamar dan menutup pintunya. Suara kunci diputar terdengar jelas. Seperti biasa ia memilih mengurung diri dari dunia, termasuk dari istrinya sendiri.

Sore itu, Livia dan Mateo menumpang angkutan umum menuju rumah orang tua pria itu. Tidak ada mobil pribadi, tidak ada sopir. Hanya kursi sempit bus kota yang berderak setiap kali melewati lubang di jalanan.

Mateo duduk di samping jendela, diam membisu, sementara Livia sesekali mencuri pandang. Ia bisa merasakan kegelisahan dari tubuh suaminya tangan yang terkepal di pangkuan, tatapan kosong yang menatap keluar jendela, tetapi tak benar-benar melihat.

Livia tahu, menjadi miskin adalah hal yang asing, bahkan menyakitkan, bagi seorang Mateo Velasco. Sejak lahir, pria itu sudah diselimuti kemewahan seperti mobil sport, pesta eksklusif, pelayan pribadi semua hal yang kini tinggal kenangan.

Don Velasco, sang ayah, sebenarnya bisa saja meminjamkan salah satu dari deretan mobil mewahnya. Tapi pria tua itu menolak. Bahkan apartemen yang kini mereka tempati pun bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena tangisan Ariana, ibu Mateo, yang tak tahan melihat putranya jatuh tanpa sedikit pun sokongan dari keluarga.

Livia menghela napas pelan. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah bukan karena jarak, tapi karena luka harga diri yang harus ditelan Mateo sepanjang jalan.

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh hingga ke pusat kota, Mateo dan Livia akhirnya tiba di depan perumahan elite tempat keluarga besar Velasco tinggal. Jalanan bersih dengan deretan pepohonan rapi menyambut kedatangan mereka kontras dengan kesederhanaan hidup yang kini mereka jalani.

Mereka berjalan kaki melewati trotoar lebar menuju rumah utama. Tak ada percakapan di antara mereka, hanya langkah kaki yang sesekali terhenti menyesuaikan dengan kecepatan Livia yang lamban karena kehamilannya. Meski diam, Mateo tak menunjukkan sikap tergesa. Ia sabar menunggu, menyesuaikan langkahnya dan ini adalah satu hal langka dari sosok yang dulunya begitu dominan dan tak sabaran.

Sampai di gerbang, Mateo membuka pagar besi tinggi itu, dan langkahnya terhenti sejenak.

Deretan mobil mewah milik para saudaranya berjajar rapi di halaman rumah. Mobil-mobil yang dulunya tak membuatnya berkedip, kini seperti simbol nyata betapa ia telah jatuh dari singgasananya. Napasnya memburu pelan, namun tak diucapkannya sepatah kata pun.

"Saya langsung ke dapur, tuan," ucap Livia lembut, memecah keheningan.

Mateo hanya mengangguk, tak menoleh. Livia pun berlalu, berjalan ke arah pintu samping, tempat biasa para pekerja masuk.

Mateo masih berdiri di depan pintu besar yang terbuka lebar, menatap ke dalam rumah yang dulu begitu ia banggakan tempat ia tumbuh, tempat harga dirinya dibentuk, dan kini tempat yang mungkin tak lagi sepenuhnya menerima kehadirannya.

“Mateo, sayang, ayo masuk, Nak. Kenapa kau diam di luar?” ucap Ariana begitu melihat sosok putranya berdiri terpaku di ambang pintu.

Mateo mendongak, dan sejenak ia ragu, tetapi tubuhnya akhirnya merespons ketika Ariana mendekat dan memeluknya. Pelukan itu hangat, meski dibalut rasa getir. Ariana memang membenci Livia, namun kepada putra tunggalnya, cintanya tetap utuh meski mungkin tak lagi seutuh dulu.

Tanpa banyak bicara, Ariana menggamit lengan Mateo dan menariknya masuk ke dalam rumah yang kini terasa asing bagi sang pewaris yang jatuh.

Suasana ruang tamu begitu ramai. Tawa, obrolan, dan dentingan gelas terdengar saling bersahutan. Di sana berkumpul para sepupu Mateo yang tetap tampil glamor dan penuh percaya diri. Paman dan tante yang biasa memuji kejayaan Velasco, kini hanya melirik sekilas saat Mateo melangkah masuk.

Lalu, ada Don Velasco. Duduk di kursi utama dengan tubuh tegak, wajahnya datar. Tatapannya menembus mata putranya, dingin dan tajam, seperti palu penghakiman. Tak ada senyum, tak ada anggukan. Hanya diam yang berbicara lebih keras dari segala bentuk kemarahan.

Mateo berhenti sejenak, menatap ayahnya tanpa harapan akan pelukan atau sapaan hangat. Yang tersisa hanya luka di dada dan rasa malu yang membungkamnya.

Mateo duduk di tengah keramaian, namun hatinya terasa begitu sepi. Tak seperti dulu, para kerabat kini tak lagi menyapanya hangat atau mengajaknya berbincang. Ia menjadi asing di tengah keluarganya sendiri diperhatikan hanya karena rasa kasihan, atau lebih buruk lagi, karena rasa malu.

Tak tahan dengan suasana itu, Mateo memilih pergi ke taman belakang. Ia duduk di bangku kayu dekat kolam kecil, menghisap rokok sambil memandangi langit yang mulai memerah.

Saat tengah tenggelam dalam pikirannya, matanya menangkap sosok Livia di kejauhan. Wanita itu sedang dimarahi oleh kepala pelayan. Suaranya terdengar tajam, dan tubuh Livia tampak sedikit gemetar saat menunduk, menerima bentakan itu tanpa membalas.

Entah mengapa, pemandangan itu membuat dada Mateo terasa sesak. Ia tak pernah menyangka akan merasakan ini kemarahan, kepedulian. Dulu, Livia hanyalah simbol dari kehancurannya, seseorang yang ia salahkan atas semua hal buruk yang menimpanya.

Namun kini, di saat semua orang menjauh, hanya Livia yang tetap bertahan di sisinya. Bahkan ketika ia tak lagi punya apa-apa.

Mateo menghembuskan asap rokok perlahan, matanya masih tertuju pada Livia yang kini tengah membalikkan badan, mengusap air matanya diam-diam lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Seolah tak terjadi apa-apa.

Pria itu berdiri. Untuk pertama kalinya, langkahnya terasa ringan saat ia mendekat ke arah dapur belakang.

Kepala pelayan terkejut saat melihat Mateo muncul tiba-tiba. "Tuan Mateo… saya tidak—"

“Cukup,” potong Mateo dingin. Tatapannya tajam menusuk, membuat kepala pelayan itu langsung menunduk. “Lain kali, jika kau ingin membentak seseorang, pastikan bukan dia.”

Mateo menoleh pada Livia yang tampak terkejut. Mata mereka bertemu, dan wanita itu buru-buru menunduk, bingung harus berkata apa.

Tanpa berkata lebih banyak, Mateo mengambil gelas air putih dari meja dapur, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali.

“Ambil nafas sebentar di taman. Kau butuh itu,” ucapnya lirih sebelum kembali melangkah keluar, meninggalkan Livia yang masih mematung tak percaya dengan sikap pria itu.

Untuk pertama kalinya, Mateo membela Livia. Dan entah kenapa, hatinya terasa sedikit lebih ringan.

Karena di tengah reruntuhan hidupnya, mungkin satu-satunya yang tersisa hanyalah wanita itu.

Suasana makan malam itu terasa hangat di permukaan, namun penuh dengan sindiran dan tensi di balik senyuman para kerabat.

Mateo hanya duduk diam, menatap piringnya seolah percakapan itu tidak menggugahnya sedikit pun. Tapi rahangnya yang mengeras menunjukkan bahwa ia mendengar semuanya, dan setiap kata yang diucapkan itu menancap dalam.

"Apa yang sedang kau kerjakan sekarang, Mateo? Sudah mulai bangun bisnis baru?" tanya Romeo, pamannya, dengan nada seolah-olah hanya basa-basi.

Sebelum Mateo sempat menjawab, Liam. Adik bungsu Don langsung menyela, suaranya penuh sindiran.

"Ah, mana mungkin secepat itu. Kau tidak dengar? Dia bahkan menjual semua asetnya. Untung saja Don cepat mengamankan aset pribadi keluarga, kalau tidak... bisa-bisa ikut jatuh miskin juga kakak kita itu."

Mateo, merasa tersinggung dengan ucapan Liam barusan.

“Aku masih menyusun ulang prioritas,” jawab Mateo singkat, dengan nada datar. “Tidak semua orang menempuh kesuksesan dengan cara menjual kehormatan keluarga.”

Ucapan itu membuat meja makan hening beberapa detik. Don mendelik tajam ke arah Mateo, tetapi tidak berkata apa-apa. Sedangkan Liam hanya tertawa kecil, berusaha menutupi rasa tersinggungnya.

“Kau selalu pandai bicara, Mateo,” ucap Liam akhirnya. “Sayang, kemampuan bicaramu tidak cukup menyelamatkan perusahaan.”

Mateo menatapnya, tapi kali ini ia tersenyum tipis. “Dan kau selalu pandai mengomentari kehidupan orang lain, sayang sekali tidak cukup pintar membangun kehidupanmu sendiri.”

Tepat saat ketegangan memuncak, salah satu pelayan datang membawakan hidangan utama. Di belakangnya, Livia muncul dengan nampan berisi makanan. Ia berjalan perlahan, jelas gugup berada di tengah-tengah keluarga Mateo yang menatapnya dengan tatapan mencemooh.

Ariana, ibu Mateo, langsung berbisik ke pelayan, “Suruh dia ke dapur saja. Jangan buat tamu kehilangan selera makan.”

Namun sebelum pelayan itu bergerak, suara Mateo terdengar tenang namun tegas, “Biarkan dia yang menyajikan makananku.”

Semua kepala menoleh. Livia menatap Mateo tak percaya, begitu pula dengan Ariana dan Don.

Mateo tidak memedulikan tatapan mereka. Ia hanya menatap Livia dan berkata, “Letakkan saja di sini.”

Livia menuruti, meskipun tangan gemetarnya sulit disembunyikan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, di depan keluarganya yang angkuh dan penuh penghakiman, Mateo menunjukkan dengan jelas Livia bukan lagi wanita yang akan dia biarkan diinjak-injak.

Setelah sesi makan malam selesai, para anggota keluarga mulai berkumpul di ruang utama untuk menjalankan tradisi keluarga mereka berfoto keluarga. Semua orang terlihat sibuk merapikan diri, anak-anak berlarian kecil, dan para istri menyesuaikan posisi suami masing-masing untuk foto.

"Mateo, rapikan bajumu nak. Sebentar lagi giliran kita," ucap Ariana lembut sambil menatap putranya yang duduk sedikit terpisah.

Namun sebelum Mateo sempat berdiri, suara Don terdengar jelas, menginterupsi.

"Tidak. Kali ini Mateo tidak perlu bergabung bersama kita untuk foto keluarga. Biarkan dia berfoto sendiri dengan istrinya saja."

Suasana menjadi hening sejenak. Beberapa kerabat saling bertukar pandang, dan sebagian bahkan menahan senyum sinis.

Mateo menatap tajam ke arah ayahnya, rahangnya mengeras. Ia tahu Don sengaja melukai harga dirinya di depan semua orang. Tapi ia memilih untuk tidak memperpanjang. Pria itu menghela napas panjang, lalu bangkit tanpa kata dan meninggalkan kerumunan, menelan rasa terasing dan terluka dalam diam.

Di balik semua kemewahan dan tradisi keluarga itu, Mateo sadar satu hal ia bukan lagi bagian dari kebanggaan mereka. Kini ia hanyalah seorang "mantan pewaris" yang dianggap gagal.

"Kau ini kenapa, Don? Dia putra kita! Kenapa kau mengasingkannya seperti ini?" ucap Ariana geram, nada suaranya meninggi menahan emosi.

Beberapa kepala menoleh, suasana yang semula sibuk jadi sedikit tegang karena suara Ariana yang tak bisa lagi menyembunyikan rasa muaknya.

Namun Don tetap tenang. Ia tak menjawab, hanya memandang istrinya sekilas sebelum akhirnya melangkah pergi, meninggalkan kerumunan tanpa sepatah kata pun. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menyimpan kekecewaan yang dalam.

Ia tak sanggup lagi membicarakan soal Mateo. Luka karena kehancuran perusahaan yang ia bangun seumur hidupnya masih terlalu segar. Di matanya, Mateo bukan hanya gagal sebagai pewaris, tapi juga telah menghancurkan apa yang selama ini mereka banggakan sebagai keluarga. Dan itu, baginya, belum bisa dimaafkan.

Mateo dan Livia menjadi pasangan terakhir yang dipanggil untuk sesi foto keluarga. Sementara anggota keluarga lainnya telah selesai berfoto dengan wajah penuh senyum dan kebanggaan, kini hanya tersisa mereka berdua duduk canggung di depan kamera.

Livia menggenggam kedua tangannya di pangkuan, duduk tegak dengan mata yang terus berusaha memandang ke arah kamera meski terasa berat. Di sampingnya, Mateo duduk kaku, ekspresinya datar. Ia tidak merangkul, tidak menyentuh, bahkan tidak melirik Livia sedikit pun.

Suasana hening sesaat, tak ada candaan atau tawa dari sekitar. Hanya suara jepretan kamera yang memecah keheningan, mengabadikan potret dua orang yang meski duduk berdampingan, namun terlihat seperti dua dunia yang berbeda.

Di tengah keramaian keluarga yang penuh senyum dan kehangatan, potret Mateo dan Livia tampak seperti potongan dari kisah lain kisah tentang keterasingan, luka yang belum pulih, dan kebersamaan yang belum tentu sepenuhnya dipilih.

Kini mereka duduk di halte, menunggu bus terakhir yang entah kapan akan tiba. Livia duduk memeluk dirinya sendiri, menatap jalanan yang mulai sepi, sementara Mateo berdiri di sampingnya, menghisap rokok terakhir malam itu.

Sekilas, pria itu melirik ke arah Livia yang tampak menggigil. Tanpa berkata banyak, ia melepas jaket miliknya dan menyampirkannya ke bahu sang istri.

“Tidak perlu, Tuan. Anda pasti kedinginan,” ucap Livia, menolak dengan lembut.

“Pakai saja,” balas Mateo singkat, wajahnya tetap datar.

Ia mendesah kesal, memandang jalan kosong yang sunyi. Jam tangan di pergelangannya menunjukkan pukul sepuluh malam lewat beberapa menit, namun tak ada tanda-tanda kedatangan bus.

Sebenarnya Mateo sempat berniat menginap satu malam di rumah orang tuanya, agar tak perlu kerepotan mencari kendaraan larut malam. Tapi Don, ayahnya, dengan dingin menyuruh mereka pergi segera setelah acara usai. Tidak ada belas kasihan, tidak ada tempat pulang.

Kini, di tengah dingin malam dan jalan yang lengang, mereka hanya bisa menunggu dengan harapan yang semakin menipis.

“Kau yakin bus terakhir akan datang?” tanya Mateo pelan, membuang puntung rokoknya ke tanah lalu menginjaknya. Suaranya mengandung kelelahan… dan sedikit getir.

Tin… tin…

Suara klakson mobil memecah keheningan malam. Spontan, Mateo dan Livia menoleh. Sebuah mobil berhenti tepat di depan halte tempat mereka duduk.

Mateo mengenali mobil itu. Tak lama, jendela kaca bagian depan perlahan terbuka, menampakkan sosok yang familiar.

“Ayo masuk,” ucap Justin dari balik kemudi. Ia kebetulan lewat karena akan menuju club malam miliknya.

“Kita beda arah. Pergilah,” tolak Mateo dingin, tak ingin berurusan.

“Persetan dengan arah. Cepat masuk. Tidak ada bus malam ini mereka sedang mengalami gangguan di jalur kota,” jawab Justin dengan nada tegas.

Ia menoleh ke arah Livia yang masih memeluk tubuhnya.

“Masuklah, Livia. Kau pasti kedinginan,” ujarnya lembut.

Mateo menatapnya tajam. “Siapa bilang tidak ada bus malam ini?”

“Aku bilang,” potong Justin, serius. “Aku baru saja dari terminal. Tak ada kendaraan lewat malam ini. Kalau kau masih keras kepala, setidaknya pikirkan istrimu. Dia sedang hamil.”

Sejenak hening. Mateo akhirnya menghela napas panjang, lalu membuka pintu mobil dan membantu Livia masuk. Justin hanya tersenyum tipis, kemudian menjalankan mobil perlahan, meninggalkan halte yang kini kembali sepi di tengah dinginnya malam.

Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa hening. Tak ada percakapan, hanya suara jalanan malam yang sesekali terdengar dari luar. Masing-masing dari mereka tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Justin sesekali melirik ke kaca spion, memperhatikan dua penumpangnya yang sama diamnya.

Hingga akhirnya ia memecah keheningan.

"Beberapa hari yang lalu, aku melihat Samuel dan Nathan duduk di sebuah kafe. Mereka terlihat sangat akrab tertawa dan mengobrol seperti teman lama," ucap Justin pelan, namun nadanya penuh makna. "Apa kau nggak merasa aneh dengan kedekatan mereka Mateo?"

Mateo yang sejak tadi menatap keluar jendela, hanya mengerutkan alisnya, namun belum menjawab.

Livia melirik ke arah suaminya, ikut penasaran dengan respon yang mungkin akan keluar.

"Aku tahu hubungan mereka tidak pernah seakrab itu sebelumnya. Sekarang mereka tiba-tiba dekat?" lanjut Justin, mencoba memancing reaksi. "Ada yang ganjil, Mateo. Dan aku rasa itu bukan sekadar kebetulan."

Mateo menatap lurus ke depan. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu dalam kalimat Justin yang membuat pikirannya kembali berputar liar.

1
kayla
/Coffee//Coffee/
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
terharu
Uthie
Wadduuhhhh.. susah kalau kejahatan mistis kaya gtu mahh 😥
Uswatun Hasanah
kok ada mistiknya
Ria Nasution
jgn la mati Livia nya. balikkan lg mantra kiriman tersebut
kayla: yang harus kau lenyapkan itu kakekny mateo bukan livia..
kenapa tidak kau lenyapkan kakekny mateo dari sejak awal jika kamu bisa bermain kotor seperti itu.. mungkin alana akan terselamatkan/Sleep/

kayak nonton sinetron bkin emosi kak..
tp penasaran gmna ujungna..
nex kka semangat..
total 1 replies
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
lanjut
Uswatun Hasanah
mantul
Uthie
makin seru 👍👍🤩
dan suka juga niii cerita nya, langsung satset gak pake lama cerita penelurusan Alana nya 👍👍😁🤩🤩
istripak@min
lanjot thor
istripak@min
apa livia kembaran meteo???
Uthie
niceee 👍
istripak@min
menghina livia gakk taunya livia turunan velasco yg dibuang krn ank perempuan pertama ,ku rasa ank liam si livia ini
Uthie
jahatnya 😡
Uswatun Hasanah
mantap
kayla
kasihan livia..
hmm jd gak kuat baca nya..
gak sanggup terlalu banyak kekejaman..
tp mau tahu endingnya..
lanjut kak
jangan kecewakan endingny ya kak/Facepalm/
Susanti
ibunya mateo gendeng 😤
Uthie
lebih menyeramkan adalah musuh dari orang terdekat, Bahkan sangat dekat dan lebih berbahaya.. tak terdeteksi 😡
istripak@min
bos kok begok yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!