Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pelampiasan Lewat Sentuhan
Langit sore itu tampak semakin kelabu, seperti cermin dari perasaan Andreas yang tengah membara. Setiap inci tubuhnya dipenuhi dengan amarah yang tak terkendali, amarah yang seolah-olah menuntut untuk dikeluarkan dengan cara apapun. Setelah keluar dari mansion Gerald Wilton, rasa penyesalan dan kecewa yang telah lama ia pendam kembali terkuak, membanjiri hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut ayahnya, setiap pembelaan yang diberikan kepada Olive dan Ryan, membuat Andreas merasa semakin terasingkan dari keluarga yang seharusnya menjadi miliknya. Tidak hanya itu, kesepakatan yang dibuat Gerald dengan Olive yang mengesampingkan haknya atas Wilton Group semakin memperparah luka dalam dirinya.
Andreas memacu mobilnya lebih cepat, mengabaikan angin yang menampar kaca jendela. Ia merasa tidak bisa mengendalikan diri, seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang seharusnya tidak ia lakukan. Pikirannya penuh dengan kekesalan dan dendam, tetapi juga ada rasa kekosongan yang mendalam. Seolah seluruh dunia ini berpihak pada mereka, diharapkan meneruskan legasi, kini dipandang sebelah mata.
Perasaan itu semakin kuat ketika ia melintas di depan gerbang mansion. Ia tahu, ia tidak bisa pergi begitu saja tanpa melakukan sesuatu, tanpa melampiaskan amarah yang membakar.
Mobilnya berhenti di depan mansion yang megah itu. Ia keluar dengan langkah cepat, dengan langkah mantap memasuki mansion miliknya.
Ketika pelayan berdiri menyambut kedatangan Andreas, ia hanya mengabaikannya dan terus berjalan. Pikiran Andreas sudah tidak bisa teralihkan. Ia menuju sudut ruangan mansion, tempat kamar Mistiza berada.
Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah tanah di bawah kakinya menahan setiap gerakan. Namun, Andreas tidak peduli. Ia ingin merasakan ledakan emosi yang telah terkunci lama. Ia ingin memecahkan sesuatu, merusak apa pun yang ada di hadapannya, mengalahkan semua ketidakadilan yang telah ia terima.
Sesampainya di depan pintu kamar Mistiza, Andreas tidak mengetuk, tidak memberi waktu untuk berpikir. Ia hanya membuka pintu dengan kasar, membiarkan pintu itu terbuka lebar. Keheningan yang menghampiri membuat suasana semakin menegangkan. Di dalam kamar, Mistiza baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, dan ia mengenakan handuk putih yang hanya menutupi tubuhnya, menambah ketegangan dalam ruangan itu.
Mistiza terkejut melihat sosok Andreas yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Tubuhnya yang tel@njang hanya tertutupi handuk membuatnya merasa malu dan bingung. Ia cepat-cepat hendak berlari kembali ke kamar mandi, bersembunyi dari pandangan Andreas. Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, Andreas dengan cepat menahannya sehingga Mistiza tetap berada di tempat.
“Mau lari kemana kau, Mistiza?” Andreas berkata dengan suara dingin, namun ada kekasaran yang menyelinap di baliknya.
Mistiza menelan ludah, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. “Andreas, apa yang kau lakukan di sini?” suaranya terdengar cemas, sedikit gemetar, seiring dengan ketegangan yang mengisi udara di antara mereka.
Andreas mendekat, langkahnya tidak terburu-buru, tetapi penuh tekad. “Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi yang jelas… aku tidak datang untuk berbicara baik-baik,” jawabnya, memandang wanita di hadapannya dengan tatapan tajam yang penuh kebencian.
Mistiza mundur satu langkah, tangan kanannya yang masih memegang handuk mencoba menutupi tubuhnya lebih erat. “kau… kau harus pergi, Andreas. Ini bukan tempatmu, bukan waktunya…”
“Tapi ini adalah waktuku, Mistiza,” Andreas menggeram. “Waktuku untuk merusak semuanya. Waktuku untuk menghancurkan semua yang telah mereka ambil dariku.”
Mistiza semakin panik. Ia mencoba berbalik untuk mencari cara menghindari pertemuan yang semakin tak terelakkan ini. Namun Andreas bergerak cepat, tangannya menyambar lengan Mistiza dan menahannya dengan kekuatan yang membuat tubuhnya terguncang. “Kau tidak bisa lari dariku, Mistiza. Tidak sekarang,” katanya, suaranya penuh desakan.
“Lepaskan aku!” Mistiza berusaha melepaskan diri, namun Andreas semakin kuat menahannya. “Apa yang kau inginkan? Apa yang kau harapkan dari semua ini?”
“Apa yang aku harapkan?” Andreas tertawa kecil, tawa yang penuh ironi. “Aku hanya ingin melihat dunia ini terbakar. Aku ingin melihat semuanya hancur, termasuk keluarga ini. Termasuk kalian semua!” Ia hampir berteriak, menyuarakan amarah yang sudah lama terkumpul. "Olive dan Ryan, kalian membuat hidupku hancur! Dan sekarang, aku ingin membuat mereka hancur lewat dirimu!"
Mistiza tersentak mendengar kata-kata itu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Dalam hatinya, ia merasa terjebak di tengah pertempuran yang bukan miliknya. “Andreas, kau tidak harus seperti ini. kau bisa memilih untuk tidak melanjutkan semua kebencian ini,” katanya pelan, mencoba meredakan ketegangan di udara.
“Tutup mulutmu!” Andreas berteriak, suara yang keras dan menggema, membuat Mistiza terdiam. Ia menghela napas panjang, seolah semua ketegangan dalam tubuhnya mencapai puncaknya.
Andreas menatapnya dengan tajam. “Aku sudah tidak peduli lagi. Aku ingin mereka hancur. Aku tidak peduli dengan ayahku, tidak peduli dengan Ryan. Bahkan tidak peduli dengan kau, Mistiza!”
Kata-kata itu seperti sebuah lonceng kematian bagi kedamaian dalam ruangan itu. Mistiza terdiam, merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Andreas seolah menghantam dirinya dengan kekuatan yang luar biasa.
Andreas mendekat. Mistiza mundur, namun tubuhnya terasa berat, tak bisa bergerak lebih jauh. Ia sudah terpojok, terperangkap di dalam kamar yang sempit, dengan Andreas yang kini semakin mendekat. Ia tidak bisa menghindari pertemuan ini. Andreas kini berdiri begitu dekat dengannya, hampir menutup seluruh jarak di antara mereka.
“Lepaskan aku, Andreas!” Mistiza berteriak, suaranya penuh ketakutan. Ia berusaha melepaskan cengkeraman Andreas, namun pria itu semakin erat menggenggam tangannya.
Mistiza berusaha meronta, namun tubuhnya terasa lemas di bawah cengkraman Andreas yang kuat. Ia bisa merasakan tangan Andreas semakin erat, mencegahnya untuk bergerak. Ia berteriak, berusaha menjerit meminta tolong, namun semua itu sia-sia. Andreas menahan tubuhnya dengan kekuatan yang begitu besar, membuatnya hampir tak bisa bernapas.
Andreas, yang kini semakin terjebak dalam gelombang emosinya, mengabaikan semua perlawanan Mistiza. Ia tidak mendengar teriakan atau tangisan yang keluar dari mulut perempuan itu. Yang ia dengar hanya detak jantungnya yang cepat, hanya suara amarah yang meluap. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: untuk merusak segalanya, untuk menghancurkan dunia yang sudah lama memihak pada mereka yang ia benci.
“Aku tidak peduli apa yang kau rasakan. Aku hanya ingin menghancurkan ini semua, dan kau adalah bagian dari itu.”
Mistiza menangis, air mata mengalir begitu deras. “Andreas, tolong… berhenti,” isaknya. “Ini tidak seharusnya terjadi. Aku tidak ingin ini.”
Namun, Andreas hanya tersenyum dingin, senyum yang penuh kebencian dan penghinaan. “Kamu tidak punya pilihan, Mistiza,” katanya, sambil mendekatkan wajahnya dengan wajah Mistiza. “Aku yang akan memutuskan apa yang terjadi.”
Dengan gerakan yang cepat, Andreas memaksa wajahnya mendekatkan diri pada wajah Mistiza. Ia mencoba mengecup bibirnya dengan kasar, seolah-olah setiap gesekan bibir itu adalah cara untuk melepaskan semua amarah yang selama ini terpendam. Mistiza, yang tak siap dengan tindakan tersebut, menjerit dan menundukkan kepala, berusaha menjauh. Tangannya yang bebas mencoba menahan tubuh Andreas, namun ia tak mampu melawan kekuatan pria itu. Andreas semakin mendesak, bibirnya hampir menyentuh bibir Mistiza, namun sebelum itu, Mistiza berhasil menepisnya, berusaha menarik wajahnya sejauh mungkin dari ciuman yang tak diinginkannya.
“Lepaskan aku, Andreas!” Mistiza berteriak dengan suara yang pecah, tangisannya semakin keras, penuh penolakan. “Jangan lakukan ini!”
Namun Andreas tidak berhenti. Ia terus berusaha menahan kepala Mistiza, dan dengan kekuatan yang semakin besar, ia menggigit bibir perempuan itu dengan kasar, mencoba untuk membukanya. Mistiza menangis lebih keras, tubuhnya gemetar hebat karena rasa takut yang begitu mendalam. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk menghentikan perbuatan ini.
Tangisan Mistiza semakin menggema, namun Andreas tetap memaksakan diri. Ia terus memasukan lidahnya ke dalam mulut sang wanita, menerobos masuk dan mengobrak-abrik isi didalam sana, membuat air liur keduanya bercampur menjadi satu, membuat Mistiza bisa merasakan hangatnya lidah Andreas yang melilit lidahnya didalam sana.
Andreas merasakan sebuah kepuasan, meskipun hanya sebentar, Ia tidak peduli jika tubuh perempuan itu terguncang, tidak peduli jika Mistiza merasakan ketakutan yang begitu nyata. Yang ia inginkan hanya pembalasan, dan dalam pikirannya, ini adalah cara untuk melepaskan semua yang telah dipendam begitu lama.
“Andreas… tolong… jangan…” isak Mistiza di sela-sela usaha melepaskan diri. Suaranya bergetar, penuh ketakutan dan kebingungan.
Namun Andreas tidak segera melepaskannya. Tangan pria itu menggenggam lengan Mistiza erat, seakan tak ingin membiarkan gadis itu pergi begitu saja. Tapi dalam genggaman itu, ada kekacauan. Ada luka. Ada sesuatu yang tidak beres sejak awal.
Tangisan Mistiza kian mengeras, napasnya tersengal karena histeria. “Berhenti… tolong, Andreas… aku mohon…”
Kata-kata itu—dengan suara yang nyaris pecah karena tangis—akhirnya menyadarkan Andreas dari puncak emosi yang bercampur h@srat. Ia melepaskan ciuman tersebut. Matanya tampak kehilangan fokus. Ia menatap wajah Mistiza yang berlinang air mata, bibirnya gemetar, dan tubuhnya bersandar pada dinding seolah seluruh kekuatan telah terkuras.
Mistiza jatuh terduduk di lantai, memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar hebat, napasnya terputus-putus, dan matanya tak lepas dari pria yang berdiri tak jauh darinya.
Andreas mundur beberapa langkah kebelakang, menatap tangannya sendiri, seakan baru sadar apa yang baru saja ia lakukan. Kemudian, dengan satu teriakan penuh amarah, ia menghantam meja kecil di samping tempat tidur hingga terbalik. Gelas dan lampu meja yang berada di atasnya jatuh dan pecah berkeping-keping.
“AAARGH!” jeritnya. Pria itu lalu mengayunkan tangan ke arah rak buku dan menyapu semua isinya ke lantai. Buku-buku terlempar, sebagian sobek, sebagian tertindih kursi yang terjungkal. Ia kemudian menendang kursi itu hingga menghantam dinding.
Mistiza hanya bisa menjerit pelan dan menunduk, menutup telinganya dengan kedua tangan. Tangisnya belum reda. Ia merasa tubuhnya seolah lumpuh, tak mampu berdiri, apalagi melawan.
Andreas menghantamkan tinjunya ke dinding hingga kulit tangannya robek. Darah mulai menetes, tapi ia tidak peduli. Ia menarik napas panjang, napas yang terputus karena kemarahan yang membara dalam dadanya. Kemudian ia menunduk, kedua tangannya mencengkeram rambutnya sendiri.
Andreas memandangi kekacauan yang ia buat. Dadanya naik turun dengan keras, matanya merah penuh amarah dan kekecewaan. Tapi tak ada sedikit pun penyesalan atas apa yang baru saja ia lakukan terhadap Mistiza.
Tanpa sepatah kata pun, ia membalikkan badan dan melangkah keluar kamar itu. Pintu tertutup dengan bunyi keras, seperti menyegel semua luka yang baru saja tercipta di ruangan itu.
Mistiza masih terguncang. Isaknya belum berhenti, mendekap tubuhnya sendiri seraya memandang sekitar—tempat yang sebelumnya ia pikir sudah lebih baik, kini berubah menjadi puing yang semakin menakutkan. Mistiza menyentuh bibirnya sendiri, merasakan perih yang lebih dari sekadar fisik.
"Hikssss.... Tuhan... Bawa aku mati saja...."
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu