🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Sempurnakan aku, Mas.
Begitu indra pendengarnya menangkap kata itu, Aini langsung bisa memahami maksud pertanyaan Daffa. Pertanyaan yang artinya suaminya itu menginginkannya malam ini untuk menyempurnakan pernikahan mereka.
Sorot matanya begitu mendamba, seolah begitu haus akan belaian yang sudah lama memang tidak dia rasakan. Namun tak ada tuntutan ataupun ingin memaksakan kehendak, karena menurutnya cinta adalah dua hati, bukan sepihak. Dan mereka akan melakukannya jika memang sama-sama menginginkan sebagai bentuk kewajiban, bukan sekedar nafsu semata.
Tangannya turun ke bawah, meraih tangan Aini, menggenggamnya dan mendekatkannya ke arah wajahnya. Diciumnya punggung tangan itu, begitu lembut, begitu wangi, hingga mampu membuat aliran darahnya sedikit berdesir.
"Aku tidak memaksa, Ai. Jika kamu belum sia..."
"Aku siap, Mas!"
Suaranya menggema di udara, cukup keras, terdengar begitu yakin dan tanpa ada keraguan disana. Dan yang pasti mampu membuat Daffa tersenyum.
"A-aku siap Mas." sekali lagi Aini menjawab, tapi kali ini suaranya terdengar begitu pelan, wajahnya sedikit menunduk karena malu.
"Lampunya mau dimatiin apa mau dibiarkan tetap menyala?" tanyanya selembut mungkin, Aini langsung mendongak menatapnya kembali.
Sungguh, Aini belum pernah berada dalam situasi seperti sekarang ini, begitu menegangkan, mendebarkan, dan membuatnya berkeringat dingin. Bagaimana mata itu menatap, seolah ingin segera menyingkirkan penghalang yang ada diantara mereka.
"Matiin saja, Mas. Pakai lampu hias aja,"
Begitu mendapatkan lampu hijau, Daffa langsung mematikan lampu utama. Hanya dengan penerangan lampu temaram, dia tetap masih bisa melihat wajah cantik istrinya yang tengah duduk dengan mengenakan piyama berwarna merah muda.
Begitu sudah duduk disampingnya, kembali dia sentuh wajah cantik tanpa polesan make up itu. Keheningan menyelimuti keduanya, debaran jantung semakin begitu terasa. Dalam diam, tangan Daffa mulai bergerak, menyusuri kulit wajah hingga turun ke leher.
Kini, wajah keduanya hanya berjarak beberapa inci saja, hembusan nafas terdengar saling bersahutan dan begitu mendominasi. Begitu bibir keduanya saling bersentuhan, sensasi hangat mulai terasa, begitu hangat hingga mampu membuat keduanya terbuai dalam gelombang kabut gairah.
Gerakan bibirnya begitu kaku, Daffa sadar jika ini pasti yang pertama bagi Aini. Ada rasa bangga tersendiri saat mengetahui jika dialah yang pertama kali menyentuh bibir ranum itu.
"Ambil nafas, Sayang..."
Mengambil nafas sebentar, Daffa melepaskan ciumannya untuk beberapa detik. Hanya sepersekian detik, karena setelahnya dia kembali meraup bibir ranum milik istrinya. Begitu lembut, begitu menggoda, dan dia tau jika sekarang dia menginginkan lebih dari ini.
Aini yang sama sekali belum pernah terjamah tampak masih begitu kaku dan membiarkan suaminya untuk memimpin permainan. Begitu pandai suaminya ini membuatnya terbuai hingga tanpa sadar seluruh kancing piyamanya sudah terbuka semuanya.
"Mas." Aini menahan tangan Daffa saat tangan itu mulai menyentuh permukaan kulit dadanya, kedua matanya yang sempat terpejam kini kembali terbuka lebar.
"Hem, kenapa Sayang?" tanyanya begitu lembut, "Jika kamu masih belum siap, kita lanjutkan lagi saja kapan-kapan, sampai kamu benar-benar sudah siap,"
Bibirnya bisa saja berucap seperti itu, tapi sebenarnya hasratnya sudah sampai ke ubun-ubun dan jika tidak dituntaskan mungkin akan membuatnya sakit atas bawah. Tapi demi menjaga kenyamanan Aini, dia akan menurunkan sedikit egonya.
Aini menggeleng pelan, matanya bisa menangkap kekecewaan diwajah suaminya meskipun tidak begitu kentara karena suaminya itu berusaha untuk menutupinya.
"Sempurnakan aku, Mas."
"Kamu yakin, Ai?" tanyanya memastikan, ada perasaan bahagia disana.
"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak, Mas. Aku sudah siap menjadi istrimu yang seutuhnya. Sentuh aku, Mas..."
Begitu bahagia dia mendengar, kedua tangannya mendorong pelan bahu Aini sampai terbaring di atas ranjang. Kembali dia mencium bibir milik istrinya yang memang terlihat sangat menggoda dan mulai membuatnya candu. Jemari tangannya mulai menjelajahi setiap inci kulit tubuh wanita yang ada dibawah kungkungnya itu.
Jam terbangnya cukup tinggi, hingga bisa membawanya memimpin sang istri yang memang masih awam akan sentuhan ini. Dengan penuh ke hati-hatian dia melakukannya, supaya tidak sampai menyakiti wanitanya.
Begitu terbuai dengan sentuhan yang diberikan oleh suaminya, Aini sampai tidak sadar entah sejak kapan Daffa sudah menelanjanginya, dan hanya menyisakan underwear saja yang masih membungkus dua area sensitifnya.
Tangannya mulai meraba mencari pengait bra, dan ketika benda yang membungkus dua gundukan itu terlepas, Daffa langsung membuangnya ngasal. Sejenak dia terpaku mengagumi keindahan yang sangat nyata didepan matanya. Bagaikan bayi yang sudah lama tidak disusui oleh ibunya, Daffa melahap pucuk berwarna kecoklatan itu dengan rakus, membuat si pemiliknya menggelinjang kenikmatan.
"Ah Mash..."
Miliknya sudah begitu sesak dibawah sana, dan sudah minta untuk segera dikeluarkan dari dalam sarangnya. Memang sudah sejak pertama dia menyentuh tadi, miliknya sudah langsung bereaksi.
Aini memejamkan matanya kuat-kuat saat melihat Daffa mulai membuka seluruh pakaiannya. Tubuh mereka kini sudah sama-sama polos tanpa sehelai benangpun. Dibawah lindungan selimut tebal, Daffa kembali mengungkung tubuh Aini dan mendekatkan wajahnya, dibelainya lembut wajah yang terlihat sangat tegang itu.
"Cukup lihat wajahku saja, Aini. Ayo buka matamu, Sayang..."
Bisiknya begitu lembut hingga mampu membuat kulit Aini meremang. Masih dengan debaran jantung yang sulit untuk dikendalikan, Aini kembali membuka kedua matanya perlahan. Wajah Daffa terlihat begitu dekat didepan matanya, bahkan sangat dekat sekali hingga dia bisa merasakan setiap hembusan nafas suaminya yang kini menyapu kulit wajahnya.
Aini berusaha menepis ketakutan akan rasa sakit yang akan dia rasakan nantinya, dia menatap lekat-lekat wajah Daffa yang sudah bersiap untuk melakukan penyatuan. Sesuatu yang terasa keras mulai menggesek di permukaan miliknya.
Lama sekali Daffa menggesek miliknya dibawah sana tanpa ada niat untuk segera memasukkan, dan itu sudah cukup membuat Aini mende-sah tak karuan. Dan tepat saat Aini sedang benar-benar terbuai dalam rangsangan yang sengaja dia lakukan, Daffa menekan miliknya lebih kuat dengan sekali dorongan.
"Akhhh..."
Strateginya berhasil, matanya terpejam untuk sesaat saat merasakan miliknya telah terbenam sempurna didalam milik Aini yang masih sangat sempit dan begitu menjepit.
"Sakit?"
Sejujurnya iya, tapi Aini lebih suka berbohong untuk hal yang satu ini supaya suaminya itu tak segera menyudahi permainan mereka. Sama halnya dengan suaminya, dia juga ingin hasrat ini segera dituntaskan supaya mereka sama-sama merasa lega dan tak terbebani.
"Yakin nggak sakit? Kalau sakit aku cabut sekarang nih,"
"Jangan dicabut, Mas! Sayang udah terlanjur masuk masa mau dicabut lagi,"
Tawanya hampir saja meledak mendengar jawaban polos Aini, padahal dia juga tidak benar-benar ingin mencabutnya. Sudah kepalang tanggung, dan miliknya sudah siap untuk menghujam lebih dalam lagi.
Merasa cukup, Daffa mulai menggerakkan pinggulnya. Dan dari suara desa-han Aini dia bisa menyimpulkan jika istrinya itu sebenarnya merasakan sakit. Bahkan Daffa sengaja membiarkan punggungnya menjadi pusat cakaran tangan Aini yang kini sedang memeluk tubuhnya.
Aini meracau, merasakan rasa sakit kini berubah menjadi rasa nikmat yang mampu membawanya terbang ke awang-awang. Gerakan pinggul Daffa semakin cepat, membuatnya semakin menjerit. Ini adalah hal yang pertama baginya, merasakan kenikmatan yang disebut-sebut sebagai surganya dunia.
Nafas keduanya semakin memburu, dan suara desa-han mereka semakin keras saat merasakan sesuatu dibawah sana seperti akan tumpah. Aini memejamkan mata dan memeluk punggung Daffa erat-erat kala gelombang kenikmatan itu datang menyapa.
"Akhhh... Akhhh..."
Nafas keduanya terputus-putus, Daffa membenamkan wajahnya di leher sang istri dan berbisik, "Terimakasih, Sayang..."
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧