Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.
Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.
Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.
Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 — Saat Langit Tenang dan Badai Datang
Sebenarnya, ada cara paling mudah untuk menyelesaikan masalah Nisya yang tiba-tiba dikeluarkan dari daftar penerima beasiswa: Jendral bisa saja membayar langsung biaya sekolah Nisya. Tapi ia menahan diri. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena ia tidak ingin tindakannya disalahartikan—terutama oleh Alana.
Mereka memang belum menjalin hubungan resmi, tapi Jendral tahu, kedekatannya dengan Alana masih rapuh. Belum cukup kuat untuk menahan kesalahpahaman—apalagi soal perempuan lain. Ia khawatir, kepeduliannya terhadap Nisya akan meruntuhkan rasa percaya yang perlahan mulai tumbuh di hati Alana. Dan Jendral tidak mau mengambil risiko itu, setelah sebulan penuh ia berjuang membangun sesuatu yang akhirnya terasa berarti.
"Lo mau ke kelas sekarang?" tanya Jendral. Meski bel masuk sudah berbunyi beberapa menit lalu, mereka masih bisa masuk jika Alana mau. Jendral pun siap mencarikan alasan agar tidak dihukum guru.
"Sekarang pasti pelajaran udah dimulai," sahut Alana ragu.
Lagi pula, mereka belum sempat menyimpan tas di kelas—masih mereka bawa. Jadi, kalaupun tidak masuk, guru tidak akan menyangka mereka bolos. Dalam hati, Alana memang sedang enggan belajar di sekolah yang dipimpin oleh orang yang menyalahgunakan kekuasaan.
"Jadi?" tanya Jendral, membiarkan Alana yang memutuskan. Ia hanya akan mengikuti.
"Kita di sini aja," jawab Alana, lalu duduk di lantai atap. Ia tidak peduli meski lantai itu kotor oleh debu.
Jendral mengangguk dan duduk di sampingnya, tanpa sepatah kata pun. Tidak ada kecanggungan setelah ciuman kilat yang sempat terjadi—karena Alana langsung kembali ke sikap awalnya: acuh pada apa pun yang telah terjadi.
"Gue boleh ngerokok nggak?" tanya Jendral sambil melirik Alana, memastikan ia tidak keberatan.
"Ya terserah. Kenapa harus izin ke gue?" balas Alana, merasa Jendral tidak perlu minta izin untuk melakukan apa pun. Toh mereka hanya teman sekelas, bukan pasangan.
Jendral tersenyum tipis. "Gue cuma takut lo nggak nyaman nyium asap rokok, makanya gue nanya dulu."
“Gue bilang, terserah,” balas Alana datar.
Jendral mengangguk pelan. Sebelum merokok, ia melepas jaketnya dan menaruhnya di atas paha Alana. Meski hanya ada mereka berdua, Jendral tetap menjaga Alana.
Setelah itu, ia mengeluarkan rokok dari sakunya dan menyalakannya. Tubuhnya dimiringkan sedikit, menjauh, agar asapnya tidak mengarah ke Alana—gerakan kecil yang justru membuat hati Alana terasa hangat.
Alana menatap wajah Jendral dari samping. Dalam hati, ia bergumam, "Gue nggak tahu ini perasaan apa, tapi kayaknya... gue nyaman sama dia."
Dengan posisi seperti itu, Alana kembali salah fokus—matanya tertuju pada bibir Jendral dan tahi lalat kecil di bawah bibir kanannya. Entah kenapa, pandangannya terus mengarah ke sana.
“Gue nggak mungkin tiba-tiba jadi mesum cuma gara-gara ngeliat bibir dia, kan?” gumamnya dalam hati.
Mungkin Jendral memang sudah sepenuhnya masuk ke dalam hatinya. Sampai-sampai, bibir lelaki itu saja bisa bikin pikirannya ke mana-mana. Atau... jangan-jangan, dirinya yang benar-benar mulai berubah mesum?
“Oh ya, kita mau di sini sampai istirahat atau sampai kapan?” tanya Jendral sambil meniup asap rokok ke udara, lalu melirik ke arah Alana.
Refleks, Alana langsung memalingkan wajah. Takut Jendral sadar kalau sedari tadi ia sedang memperhatikannya.
“Nggak tahu, sampai istirahat mungkin,” jawabnya asal karena gugup.
Jendral terkekeh pelan. Ia bisa menangkap kegugupan Alana, meski tidak tahu pasti apa penyebabnya.
“Lo kenapa sih, hm?” tanya Jendral, sedikit menggoda. Ia mencoba menatap wajah Alana yang mendadak gugup, tapi Alana buru-buru menyembunyikannya.
“Gue nggak apa-apa. Lo ngapain sih?” balas Alana, menutupi wajahnya dengan lengan.
Hari itu pun secara tidak resmi menjadi titik tumbuh hubungan mereka. Jendral bukan lagi sekadar teman sekelas yang rutin memberikan es americano setiap istirahat. Ia sudah berubah menjadi sosok yang bisa membuat Alana gugup dan salah tingkah—di atap sekolah, tempat mereka berada saat ini.
***
Pihak sekolah tampaknya mulai kehabisan cara menghadapi Alana dan ancamannya terhadap kepala sekolah. Akhirnya, mereka memanggil orang tua Alana dengan alasan yang terkesan dibuat-buat. Video saat Alana menyiram Kaluna dengan air pel di tengah pelajaran dipelintir sedemikian rupa—seolah Alana sengaja mengganggu murid lain, bukan sebagai bentuk pembalasan terhadap Kaluna yang telah membuli Nisya.
Alana yang mengetahui orang tuanya dipanggil ke sekolah segera melangkah cepat menuju ruang kepala sekolah. Kali ini, ia tidak hanya ditemani Jendral, tetapi juga Naresh yang ikut bersama mereka.
"Seperti yang Bapak-Ibu lihat, Alana, putri kalian, memiliki kepribadian buruk di sekolah. Saya tahu Alana ‘sakit’, tapi jika dibiarkan, ia bisa mengancam keselamatan murid lain," ujar kepala sekolah pada orang tua Alana.
Alana yang mendengarnya langsung mengepalkan tangan. Ia tahu dirinya difitnah—dan ia tidak akan tinggal diam.
“Mengancam?” tanya Alana, nadanya menantang.
Orang tua Alana dan kepala sekolah langsung menoleh. Alana masuk begitu saja ke ruang kepala sekolah saat percakapan masih berlangsung. Ia tidak datang sendiri—Jendral dan Naresh turut menyusul di belakangnya.
“Alana, saya sedang berbicara dengan orang tuamu,” ucap kepala sekolah, berusaha memberi peringatan.
Kepala sekolah mengira memanggil orang tua Alana adalah solusi terbaik. Ia tidak tahu kehadiran mereka justru memunculkan masalah baru.
“Saya tahu Anda sedang bicara dengan orang tua saya, tapi...” Alana menarik napas, menahan emosi, “...barusan Anda mengarang cerita. Dan saya tidak akan diam saja.”
“Saya tidak mengerti maksud kamu,” ucap kepala sekolah, berpura-pura bingung demi menjaga agar rencananya tetap berjalan dan orang tua Alana percaya padanya.
Namun, Erwin Astareyna—ayah Alana—menangkap ada yang janggal. Ekspresi kepala sekolah dan emosi Alana membuatnya segera mengambil tindakan tegas.
“Bubarkan semua murid!” perintah Erwin, suaranya tajam dan tidak terbantahkan.
Kepala sekolah tampak panik. “A–apa maksudnya?”
“Bubarkan murid-murid sekarang juga!” bentaknya lebih keras.
Seketika terlihat bahwa Alana mewarisi temperamen ayahnya. Suaranya cukup untuk membuat kepala sekolah gemetar.
“B–baik,” jawab kepala sekolah gugup, lalu segera menelepon stafnya.
Tidak lama, suara pengumuman terdengar di seluruh penjuru sekolah. Kegiatan belajar dihentikan dan semua murid diminta pulang.
Jendral masih tampak bingung, belum memahami situasi sepenuhnya. Sementara Naresh terlihat tenang—seolah ia memang sudah menduga hal seperti ini akan terjadi.
Setelah memastikan tidak ada satu pun murid yang akan mendengar percakapan mereka—kecuali dua siswa yang berdiri di belakang Alana dengan wajah cemas—ayah Alana mengarahkan pandangannya pada kepala sekolah.
"Jadi, Anda bilang apa tadi? Alana sakit dan membahayakan?" tanya Erwin, mengulang ucapan yang tadi terdengar jelas di telinganya.
Istrinya duduk di samping, diam tanpa sepatah kata. Wajahnya sulit ditebak. Yang pasti, ia terpaksa membatalkan pertemuan penting dengan klien demi hadir di ruangan ini.
"I–iya," jawab kepala sekolah terbata, gugup sekaligus ketakutan.
Suasana di dalam ruangan mendadak berubah mencekam. Ketegangan menebal, seolah udara ikut menahan napas.