Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
New Division 2
Bacin merasa tengkuknya merinding.
Suara Suzie berbisik di dalam pikirannya.
“Jangan beritahu mereka tentang koneksimu dengan Hotel Kesialan.”
Bacin membelalakkan mata.
‘Bagaimana kau tahu?’ tanyanya dalam hati.
Namun, tidak ada jawaban.
Roger di sampingnya terlihat biasa saja, seolah tidak mendengar apa pun.
Bacin berusaha menenangkan dirinya.
Satu per satu, anggota divisi mulai berdatangan.
Simon dengan armor lengkapnya duduk di tengah ruangan, lalu menatap semua orang.
“Kita mulai. Ini anggota baru kita, Bacin.” katanya dengan suara tegas.
“Sekarang, perkenalkan diri kalian satu per satu.”
Roger menyilangkan tangan dan menyender ke kursinya.
“Kau sudah mengenalku,” katanya santai.
Bacin mengangguk.
Lalu, seorang pria berambut kribo tertawa kecil dan melambaikan tangan.
“Aku Giring Krinji. Salam kenal, Bacin.”
“Salam kenal juga, Giring,” jawab Bacin.
Berikutnya, seorang wanita dengan rambut pendek sebahu berdiri.
“Aku Cindy. Senang bertemu denganmu, Bacin.” katanya dengan nada lembut.
Bacin tersenyum sopan.
“Senang bertemu denganmu juga, Cindy.”
Setelah Cindy duduk, seorang pria tinggi dengan wajah kaku berbicara singkat.
“Ariel.” katanya.
Hanya itu.
“Eh… Oke?” jawab Bacin bingung.
Roger tertawa kecil.
“Jangan heran, Ariel memang bukan orang yang banyak bicara.”
Ariel mengangguk sedikit, mengkonfirmasi ucapan Roger.
Lalu, seorang pria berbadan besar dengan otot kekar menepuk dadanya.
“Namaku Kentu! Jangan tertawa. Aku sudah terbiasa dengan orang yang menertawakan namaku, jadi lebih baik kita langsung bekerja sama dengan baik, Bacin.”
Bacin menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Aku tidak akan menertawakanmu, Kentu.” katanya.
Kentu mengangguk puas.
Setelah itu, seorang pria berambut gondrong dengan janggut tipis berbicara.
“Rowly. Aku ahli teknologi di tim ini.”
“Bagus, aku mungkin akan banyak bertanya padamu nanti.” kata Bacin.
Rowly mengangguk.
Lalu, seorang pria berpenampilan rapi dengan jas hitam berbicara.
“Aku Pamungkas. Ahli negosiasi dan informasi.”
“Oh, jadi kau tipe yang suka berbicara?” tanya Bacin.
Pamungkas tersenyum tipis.
“Hanya jika diperlukan.”
Berikutnya, seorang pria dengan wajah muram dan lingkaran hitam di bawah matanya berbicara pelan.
“Aku Koma… Jangan bertanya kenapa namaku begini.”
Bacin mengangkat tangan tanda mengerti.
“Baik, Koma. Aku tidak akan bertanya.”
Terakhir, seorang pria bertubuh kecil dengan senyum aneh berbicara.
“Aku Imam. Ingat itu.”
Bacin mengangguk.
“Tentu, Imam.”
Setelah semua memperkenalkan diri, Simon mengetuk meja dengan tangannya yang berlapis armor.
“Baik. Sekarang kita masuk ke inti pembicaraan.” katanya.
Semua diam dan memperhatikan.
“Hari ini, aku memiliki tugas untuk Imam dan Pamungkas.” katanya dengan nada serius.
Imam menatapnya dengan ekspresi malas, sementara Pamungkas sudah siap dengan buku catatannya.
“Kalian berdua cari petunjuk mengenai anomali di Jalan Kopling.” lanjut Simon.
Pamungkas mengangguk.
“Dimengerti.”
Imam mendengus pelan.
“Tentu, tentu…” katanya dengan suara lemah.
Simon menatapnya tajam.
“Jangan meremehkan tugas ini.” katanya.
Imam mengangkat tangan tanda menyerah.
“Baik, baik. Aku serius.”
Simon beralih ke anggota lainnya.
“Untuk yang lain, kalian bekerja seperti biasa. Atur shift untuk karyawan kafe.”
Semua mengangguk tanpa banyak bicara.
Lalu, mata Simon beralih ke Bacin.
“Bacin, ikut aku ke ruangan. Aku akan menjelaskan posisimu.”
Bacin mengikuti Simon ke lantai tiga, melewati koridor dengan ruangan-ruangan yang masih kosong.
Mereka masuk ke sebuah ruangan dengan desain yang minimalis namun penuh dengan peta, dokumen, dan beberapa layar monitor.
Simon duduk di kursinya yang besar, sementara Bacin duduk di depan meja.
Simon menghela napas dan mulai berbicara.
“Mulai besok dan seterusnya, kau tidak perlu mengenakan seragam polisi itu lagi.” katanya sambil melirik pakaian Bacin.
Bacin melihat ke bawah, masih mengenakan seragamnya.
“Kenapa?” tanyanya.
Simon menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Identitas kita harus tetap rahasia. Kita bukan divisi biasa. Kalau kau tetap mengenakan seragam itu, orang-orang akan mulai bertanya-tanya.”
'padahal kau sendiri yang mencurigakan, dengan armor berat itu.'
Ia mengambil sesuatu dari lacinya—sebuah kartu berwarna hitam dengan tulisan perak.
“Ini kartu identitas barumu.” katanya, menyerahkannya pada Bacin.
Bacin menerima kartu itu dan melihatnya.
Tertulis namanya, namun dengan jabatan yang berbeda:
Divisi Supranatural - Penegak Hukum Tingkat 1
Simon melanjutkan.
“Ini akan menjadi bukti bahwa kau adalah bagian dari hukum, tapi tidak terdaftar sebagai polisi biasa.”
Bacin mengangguk.
“Mengerti.”
Simon bersandar ke depan, menatap Bacin dengan serius.
“Untuk hari ini, kau tidak perlu melakukan apa pun.” katanya.
Bacin menaikkan alis.
“Lalu, apa yang harus kulakukan?”
Simon mengetuk meja dengan jarinya.
“Aku ingin kau belajar lebih dalam tentang dunia ini—tentang anomali dan disgrace.”
Ia melirik ke bawah, ke arah lantai dua.
“Di lantai dua, ada komputer yang bisa kau gunakan untuk mengakses data kita. Di sana ada banyak informasi tentang asal mula disgrace, tipe-tipe mereka, hingga anomali yang terjadi di berbagai tempat.”
Bacin menghela napas.
“Baiklah, aku akan mempelajarinya.”
Simon mengangguk.
“Kau bisa pergi sekarang.”
Bacin berdiri, memberi hormat singkat, lalu keluar dari ruangan.
Bacin menuruni tangga ke lantai dua, di mana semua orang sibuk di depan layar komputer. Suara ketikan keyboard terdengar di seluruh ruangan, menciptakan suasana kerja yang serius.
Ia melihat Roger yang sedang bersandar di meja sambil menyeruput kopi.
Bacin mendekatinya.
“Simon memintamu untuk mencarikan baju untukku.” katanya.
Roger menatapnya sebentar, lalu mengangguk santai.
“Ikuti aku.” katanya, lalu berjalan menuju deretan loker di sudut ruangan.
Bacin mengikutinya, melihat Roger membuka salah satu loker dan mengambil sebuah kaos berwarna hitam bertuliskan Happy Cafe di bagian depan.
Roger menyerahkannya kepada Bacin.
“Ini seragammu sekarang.” katanya sambil terkekeh.
Bacin melihat kaos itu, lalu bibirnya bergerak-gerak, seolah ingin protes, tapi tak mengatakan apa pun.
Ia menghela napas dan mengenakan kaos itu.
Roger tertawa kecil melihat ekspresinya.
“Jangan malu menggunakan itu. Semua orang di sini memakai seragam yang sama. Ini bukan sekadar kafe biasa, ini adalah penyamaran kita untuk menghindari kecurigaan.”
Bacin mengangguk perlahan.
“Baiklah, aku mengerti.” katanya.
Roger menepuk pundaknya.
“Santai saja. Lagipula, kalau kau dapat tugas di luar, kau bebas memakai pakaian apa pun.”
Bacin mengangguk lagi.
“Terima kasih, Roger.”
“Sudahlah, jangan terlalu serius.” kata Roger dengan senyum santai. “Sekarang, ayo kembali. Kau harus mulai belajar tentang dunia kita ini.”
Mereka kembali ke ruang komputer, di mana beberapa anggota lain masih fokus di layar masing-masing.
Roger menunjuk deretan komputer di meja panjang.
“Semua komputer di sini bebas digunakan. Pilih yang mana saja, semuanya punya akses yang sama.”
Bacin menarik kursi dan duduk di depan salah satu komputer.
Roger menekan beberapa tombol di keyboard, membuka layar penuh dengan berbagai file dan dokumen rahasia.
“Ini.” katanya sambil menunjuk layar. “Pelajari semuanya. Ada tentang disgrace, anomali, kejadian-kejadian supernatural, dan laporan dari tim investigasi sebelumnya.”
Bacin menatap layar komputer dengan serius.
Roger menyeringai.
“Jangan terlalu tegang, Bacin. Ini baru awal.” katanya sebelum berjalan pergi, meninggalkan Bacin sendirian dengan layar penuh informasi yang mungkin akan mengubah cara pandangnya tentang dunia.
Bacin menghela napas dalam-dalam, lalu mulai membaca.