Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22.
Sementara itu di Yokohama, Malam telah larut, dan udara dingin menyelimuti halaman rumah Ayaka. Lampu-lampu taman memberikan cahaya redup, menciptakan suasana yang tenang. Ayaka dan Yuki duduk di bangku kayu, menikmati udara malam.
Yuki menatap langit berbintang sebelum menoleh ke Yuki mengangguk, lalu menatap langit sebentar sebelum berkata, "Ayaka,, maksudku, Sayang, apa aku boleh tanya sesuatu?"
Ayaka tersenyum. "Tentu, sayang. Apa itu?"
Yuki menatap matanya dengan penuh kebingungan. "Kapan pertama kali kita bertemu? Dan kenapa kita bisa pacaran?"
Ayaka terdiam sejenak. Itu pertanyaan yang sudah ia duga akan keluar cepat atau lambat. Tapi meskipun sudah mempersiapkan jawabannya, tetap saja rasanya sulit untuk mengatakannya.
"Kita pertama kali bertemu di sekolah," Ayaka akhirnya berkata, suaranya tetap terdengar meyakinkan. "Saat itu, kamu baru masuk SMA dan langsung berkelahi di hari pertama. Aku datang untuk melerai kalian, dan sejak saat itu, aku mulai menyukaimu."
Yuki menatapnya dengan mata sedikit menyipit. "Jadi, kita satu sekolah?"
Ayaka tertawa kecil. "Aku ini guru di sekolahmu, sayang."
Mata Yuki membesar. "Apa?! Tapi,, kamu masih terlihat seumuran denganku," ucapnya heran.
Ayaka tersenyum menggoda. "Mungkin karena aku cantik, jadi terlihat lebih muda," ujarnya sambil mencubit pelan dagu Yuki. "Dan mungkin itu juga yang bikin kamu jatuh cinta padaku."
Yuki menghela napas sambil menggaruk kepalanya. "Jadi aku suka cewek yang lebih tua, ya?"
"Jangan bilang gitu, sayang. Aku baru 25 tahun, kok," ujar Ayaka sambil cemberut manja.
Melihat ekspresi Ayaka, Yuki tertawa kecil lalu mencubit hidungnya dengan gemas. "Kalau gitu, besok aku pengen masuk sekolah"
Namun, Ayaka buru-buru menggeleng. "Jangan besok, sayang. Kalau kita berangkat pagi-pagi, kita bakal kesiangan. Jarak Yokohama ke Tokyo lumayan jauh. Lusa aja, ya?"
Yuki menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah, terserah kamu."
Ayaka menghela napas lega. Ia butuh waktu lebih lama untuk memastikan posisinya di hati Yuki sebelum mereka kembali ke Tokyo, tempat di mana semua kenangan Yuki berada.
Setelah beberapa saat terdiam, Ayaka kembali menatap Yuki dengan serius. "Sayang, ada yang ingin aku sampaikan."
Yuki melihat ekspresi serius di wajahnya dan menunggu.
"Hati-hati dengan dua gadis bernama Nana Aoi dan Hikari Yuna," ujar Ayaka. "Mereka gak akan segan menghajar siapa pun yang mengganggu mereka."
Yuki menaikkan alis. "Cuma cewek, kan? Mana bisa mereka menghajar aku?" ujarnya santai.
Ayaka menahan senyum pahit. "Lu gak tau aja." batinnya. 'Seandainya Yuki tahu justru salah satu dari mereka yang membuatnya kehilangan ingatan.'
Namun Ayaka memilih menjawab, "Walaupun mereka cewek, mereka sangat tangguh saat bertarung," lanjut Ayaka.
Yuki mengangguk, meski dalam hatinya dia tidak terlalu peduli. Dia hanya ingin kembali ke sekolah dan mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
Tapi dia tidak tahu. dunia yang menunggunya di Tokyo tidak akan sesederhana yang ia bayangkan.
**
Keesokan harinya ketika Nana Sudah kembali ke kontrakan lamanya yang bersebelahan dengan kontrakan Yuna. Malam itu, Nana duduk di tepi kasur kamar Yuna dengan tatapan kosong mengarah ke jendela. Lampu kamar sudah dimatikan, hanya menyisakan sinar rembulan yang masuk melalui celah tirai, menerangi wajahnya yang tampak pucat. Sejak insiden dengan Yuki, Nana seperti kehilangan semangat. Bahkan saat bersama Yuna, dia lebih banyak diam, seolah tubuhnya ada di sana, tetapi jiwanya melayang entah ke mana.
Yuna, yang sejak tadi mengamati Nana, merasa khawatir. Sahabatnya tidak pernah seperti ini sebelumnya. Nana selalu punya energi, selalu penuh percaya diri, dan selalu menghadapi segalanya dengan kepala tegak. Tapi sekarang, dia hanya diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Nana," panggil Yuna akhirnya, mencoba menarik perhatian sahabatnya.
Nana tetap tidak menoleh. Pandangannya masih kosong, menatap gelapnya malam di luar jendela. "Ada apa?" jawabnya singkat.
Yuna menghela napas. "Gua mau ngomong sesuatu sama lu."
"Kalau cuma curhat gak penting, gua lagi males dengerin," potong Nana, nada suaranya datar.
"Bukan soal gua," kata Yuna, suaranya lebih serius. "Ini soal Yuki."
Sekejap, mata Nana yang kosong itu kembali berkilat. Dia akhirnya menoleh, meskipun ekspresinya tetap dingin. "Apa yang lu tau soal Yuki?" tanyanya, kali ini nadanya lebih tajam.
Yuna menggigit bibirnya, ragu. Dia tahu apa yang akan dia katakan bisa memicu ledakan emosi dari Nana. Tapi jika terus menunda, cepat atau lambat Nana akan tahu juga. "Sebenernya,,,," Yuna menarik napas dalam-dalam.
"Cepetan, anjir," potong Nana, suaranya terdengar lebih menekan.
"Kalau lu kayak gitu, gua jadi males cerita," sahut Yuna kesal.
Tanpa peringatan, Nana bangkit dan mencengkeram kerah piyama Yuna, menariknya mendekat. "CEPETAN, APA YANG MAU LU OMONGIN, BRENGSEK?!" suaranya bergetar, bukan hanya karena amarah, tapi juga karena rasa putus asa yang menumpuk dalam dirinya.
Yuna tidak punya pilihan lagi. Dengan suara pelan namun jelas, dia berkata, "Yuki amnesia."
Nana terdiam. Tangan yang mencengkeram kerah Yuna perlahan melemah. "Apa?" bisiknya, hampir tidak terdengar.
"Dia amnesia," ulang Yuna, kali ini lebih tegas.
Seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat, Nana mundur selangkah. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa,,, kenapa lu baru bilang sekarang?" suaranya bergetar.
"Lepasin dulu," pinta Yuna pelan.
Nana akhirnya melepaskannya, tetapi tubuhnya masih menegang.
"Gua sebenernya gak mau cerita sekarang," lanjut Yuna, "soalnya kondisi lu udah kayak gini. Tapi gua sadar, percuma juga gua sembunyiin lama-lama. Nanti lu pasti bakal tau."
Nana menunduk. Tangannya mengepal sebelum akhirnya menghantam dinding dengan keras. "INI SEMUA SALAH GUA!" Dia meninju dinding lagi dan lagi, seakan itu bisa mengurangi rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
Yuna buru-buru menahan tangannya sebelum dia melukai dirinya sendiri. "Jangan nyakitin diri lu sendiri, Nana! Percuma, itu gak akan bikin Yuki sembuh!"
Tiba-tiba, Nana menjatuhkan diri ke lantai dan menangis sekencang-kencangnya. Tangisannya terdengar begitu menyayat, seakan semua rasa sakit dan penyesalan yang selama ini dia pendam akhirnya meledak.
Yuna menatapnya dengan mata yang ikut memanas. Dia tidak terbiasa melihat Nana seperti ini. Selama ini, Nana selalu terlihat kuat, selalu bisa menghadapi apapun dengan kepala dingin. Tapi kali ini, dia hanyalah seorang gadis yang kehilangan seseorang yang berharga dalam hidupnya.
Yuna menggigit bibirnya, kemudian akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan semuanya. Karena jika ditunda lagi, Ia tidak mau Nana akan seperti ini di kemudian hari, karna itu sekarang adalah waktu yang tepat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. "Ayaka yang bawa Yuki keluar dari rumah sakit," katanya pelan.
Nana, yang masih menangis, tiba-tiba menoleh dengan ekspresi yang berubah drastis. Matanya penuh dengan kemarahan. "APA?!"
"Gua tahu karena setelah gua anterin lu pulang, gua balik lagi ke rumah sakit buat mastiin," lanjut Yuna.
Nana mengepalkan tangannya, matanya dipenuhi kebencian yang membara. Dia sudah seperti ini sebelumnya, ketika bertarung dengan Yuki. Amarah yang sama.
Tanpa pikir panjang, Yuna memeluk Nana erat-erat, berusaha menenangkan sahabatnya. "Tolong, tenang dulu, kita harus cari solusi, bukan cuma marah-marah."
Nana mencoba mengatur napasnya, meski dadanya masih naik turun karena amarah. "Maaf,,," bisiknya dalam pelukan Yuna.
Yuna mengangguk. "Sekarang kita harus berpikir jernih. Kalau Yuki amnesia dan sekarang sama Ayaka, pasti Ayaka bakal coba manfaatin dia."
Nana mengepalkan tangannya lebih kuat. "Kita gak bisa biarin itu terjadi."
"Makanya, gua butuh lu buat tetap tenang," kata Yuna. "Jangan keburu emosi. Kita harus cari cara buat ngambil Yuki balik."
Nana mengangguk. "Besok kita ke kontrakan Yuki. Gue pengen tinggal disana"
"Iya, tapi sekarang, kita tidur dulu," ujar Yuna, mencoba menyudahi pembicaraan malam itu.
**
Matahari pagi mulai naik, menyinari kota Yokohama dengan cahaya keemasan yang lembut. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma asin dari laut yang tak jauh dari tempat itu.
Di sebuah taman kota yang dihiasi bunga tulip bermekaran, Ayaka berjalan di samping Yuki. Mereka menikmati udara pagi yang segar, merasakan setiap langkah di jalan setapak yang basah oleh embun.
Bagi Ayaka, setiap detik yang ia habiskan bersama Yuki terasa begitu berharga. Ia tahu, ini semua tidak akan bertahan lama. Ketika ingatan Yuki kembali, semuanya akan berubah. Karena itu, ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menciptakan kenangan sebanyak mungkin.
Mereka akhirnya duduk di bangku taman yang menghadap ke kolam kecil. Ayaka menyandarkan tubuhnya ke bahu Yuki dengan manja, sementara Yuki hanya diam, menatap riak air di depan mereka.
“Yuki...” panggil Ayaka pelan.
“Hm?”
“Apa setelah ini, kamu benar-benar ingin kembali ke Tokyo?” tanyanya.
Yuki menoleh. “Iya. Aku pengen tau seperti apa tempatku sekolah.”
Ayaka terdiam sejenak. Ia tahu, di Tokyo, ada Nana dan Yuna yang pasti akan mencoba mengembalikan ingatan Yuki. Jika itu terjadi, maka semuanya akan berakhir.
“Apa kamu nggak kepikiran buat tinggal lebih lama di sini?” tanya Ayaka lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
Yuki mengerutkan keningnya. “Kenapa?”
Ayaka tersenyum samar. “Di sini lebih tenang. Aku bisa mengurusmu tanpa gangguan siapa pun. Kita bisa hidup damai tanpa harus khawatir dengan masa lalu yang mungkin nggak perlu diingat lagi.”
Yuki menatap Ayaka dengan tatapan bingung. “Aku nggak ngerti, Ayaka, Kamu ngomong seolah-olah aku punya masa lalu yang buruk.”
Ayaka segera mengubah ekspresinya menjadi ceria, tertawa kecil untuk menghilangkan kecurigaan Yuki. “Bukan begitu, sayang. Aku cuma ingin memastikan kamu nggak terburu-buru kembali ke kehidupan lama kamu sebelum benar-benar siap.”
Yuki menghela napas, lalu mengusap rambut Ayaka pelan. “Aku ngerti maksudmu. Tapi, entah kenapa, aku merasa harus kembali. Seolah ada sesuatu di sana yang menunggu aku.”
Hati Ayaka mencelos mendengar kata-kata itu. Ia tahu siapa yang menunggu Yuki di Tokyo. Dan ia juga tahu, cepat atau lambat, Yuki akan menemui mereka. Tapi Ayaka tidak akan membiarkan itu terjadi dengan mudah.
Ia tersenyum, lalu menggenggam tangan Yuki erat. “Baiklah, kalau memang itu yang kamu inginkan, Tapi ingat satu hal.”
“Apa?”
“Jangan terlalu percaya dengan orang-orang yang mengaku mengenalmu. Ingatan kamu masih belum kembali sepenuhnya, dan orang-orang bisa saja memanfaatkan itu untuk mempengaruhimu.”
Yuki menatap Ayaka dengan ragu. Tapi akhirnya ia mengangguk pelan. “Oke, aku bakal hati-hati.”
Ayaka tersenyum puas. Setidaknya, ia sudah menanamkan benih keraguan di dalam pikiran Yuki. Saat mereka berjalan kembali ke rumah, Ayaka menggenggam tangan Yuki lebih erat. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Jika Tokyo ingin merebut Yuki darinya. maka ia akan melawan balik.