NovelToon NovelToon
Shan Tand Dan Tahu Ajaib

Shan Tand Dan Tahu Ajaib

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / Epik Petualangan / Ilmu Kanuragan / Kultivasi Modern
Popularitas:502
Nilai: 5
Nama Author: Fauzy Husain Bsb

Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?

padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.

Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?

ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Obat Penawar Ajaib Bag 2

Shantand nyaris tersedak tawa, tapi ia buru-buru menahan diri. Sayangnya, ekspresi geli di wajahnya tidak luput dari pandangan murid kepala yang berjalan di sampingnya.

"Kenapa saudara tersenyum sendiri?" tanyanya curiga.

"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya teringat kejadian lucu dengan seorang teman di rumah," jawab Shantand cepat, mencari alasan seadanya.

Murid kepala itu hanya mendengus pelan. Meski tampak ragu, ia tidak mengajukan pertanyaan lebih lanjut.

Ketika mereka tinggal berjarak dua meter dari gubuk, murid kepala itu berhenti, lalu mengetuk pintu dengan dua ketukan cepat sebelum berseru,

"Guru, ada tamu penting yang ingin menemui Anda!"

Tabuhan gendang seketika terhenti. Hening menyelimuti tempat itu.

Udara di sekeliling mereka terasa berubah, seolah dipenuhi sesuatu yang tidak terlihat.

Dari dalam gubuk, suara serak namun berwibawa terdengar,

"Siapa yang berani mengganggu pertapaanku?"

Shantand melirik murid kepala, lalu tersenyum tipis.

"Inilah saatnya," gumamnya pelan.

Dengan senyum tipis yang menandakan bahwa ia tak datang untuk membuat keributan, Shantand melangkah pelan mendekat. Ia berhenti tepat dua langkah di depan pendekar tua itu dan memberi salam hormat seperti seorang murid yang sedang menghadap guru besar.

“Maafkan kedatanganku yang tanpa undangan, Pendekar Dupak Jaya,” ucap Shantand dengan tenang. “Aku datang bukan untuk mengungkit masa lalu, melainkan menawarkan sesuatu yang barangkali bisa membantu keadaan Anda.”

Wajah Dupak Jaya masih memerah, bukan hanya karena ledakan tubuhnya barusan, tetapi juga karena harga dirinya yang seolah diusik. Namun, seiring kata-kata Shantand yang penuh kendali dan tidak mengandung penghinaan, kemarahannya perlahan mereda, digantikan rasa penasaran.

“Katakan cepat. Aku tidak suka basa-basi,” sahutnya, suaranya terdengar berat dan tertahan, seperti menahan tekanan di perutnya yang sudah tidak bersahabat sejak beberapa hari terakhir.

Shantand menatap matanya dalam-dalam. “Sakit Anda bukan karena masuk angin atau usia. Ini akibat latihan ilmu yang tidak semestinya Anda pelajari. Ilmu yang tidak diturunkan langsung dari gurunya,Atau bisa dikatakan ilmu curian.”

Ekspresi wajah Dupak Jaya seketika berubah. Pandangannya jadi lebih tajam, rahangnya mengeras.

“Apa maksudmu...?”

“Aku telah bertemu Koreng Sugriwa—dia adalah pencuri kitab pusaka Bhaskara. Dan Anda, tanpa bimbingan dan pemahaman utuh, mencoba menyerap ilmunya. Tubuh Anda menolak. Itulah sebabnya penyakit Anda muncul, dan semakin parah.”

Dupak Jaya menegang. Napasnya mendadak berat.

“Omong kosong...” bisiknya, tapi tak setegas barusan. Seakan ada keraguan di dalamnya.

Bhaskara, dari dalam labu, bergumam, “Katakan padanya, kalau dia terus melanjutkan latihan itu, tubuhnya akan meledak dari dalam. Ilmu itu tidak bisa dipaksa cocok.”

Shantand menyampaikan, “Kalau Anda terus memaksa diri, tubuh Anda akan hancur pelan-pelan dari dalam. Dan pada waktunya... bukan hanya Anda, tapi siapa pun di sekitar Anda akan kena imbasnya.”

Dupak Jaya perlahan menunduk. Keringat mengucur di pelipisnya. Napasnya berat, dan kini matanya tak setegang tadi—ada ketakutan, dan pengakuan dalam diam.

Dupak Jaya tercekat. Wajahnya seketika pucat, dan tubuhnya tampak goyah, seolah rahasia besar yang ia sembunyikan selama ini mendadak tersingkap.

“Ma—maaf... sobekan kitab itu...,” ucapnya lirih, nyaris tak terdengar. “Kitab itu... telah dicuri orang beberapa waktu lalu. Sampai sekarang aku belum menemukan petunjuk siapa pelakunya.”

Shantand tidak menunjukkan keterkejutan. Ia hanya menatap tajam, lalu menarik napas panjang seolah menimbang keputusan besar.

“Aku tidak datang membawa belas kasihan, Pendekar Dupak Jaya,” ujarnya tegas, tapi tetap tenang. “Penawar ini tidak gratis. Aku akan memberikannya... hanya jika kau membawa kembali sobekan kitab itu. Waktumu hanya tujuh hari.”

Mata Dupak Jaya membelalak, napasnya memburu. “T-tujuh hari? Tapi aku bahkan belum tahu siapa pencurinya!”

Shantand mendekat satu langkah, lalu menatap lurus ke matanya.

“Kalau kau tidak bisa menemukannya, maka penderitaanmu akan menjadi pusaka terakhir yang kau wariskan.”

Bhaskara dari dalam labu terkekeh ringan. “Tawaran itu lebih dari adil. Lagipula, kau yang memulainya... bukan?”

Dupak Jaya terdiam. Kedua tangannya mengepal, bibirnya gemetar menahan rasa malu, takut, dan marah pada dirinya sendiri.

“Aku akan mencarinya,” gumamnya akhirnya.

Shantand mengangguk pelan, lalu memutar badan bersiap meninggalkan gubuk itu.

“Waktu berjalan cepat, Pendekar Dupak Jaya. Gunakanlah seminggu ini sebaik-baiknya.”

.

Shantand menoleh pelan ke arah labu kecil di pinggangnya, lalu membuka tutupnya dengan gerakan lembut. Dari dalam, ia mengeluarkan sesuatu yang nyaris tak terlihat—sebuah cuilan tahu kecil, seukuran pil, yang memancarkan aroma samar dan hangat. Tahu itu terlihat biasa saja, namun bagi yang mengerti, tahu itu telah melalui proses pengolahan rumit di bawah bimbingan Bhaskara.

“Kata guruku,” ucap Shantand tenang sambil menggulung lengan bajunya, “aku harus mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh belakangmu terlebih dahulu.”

Dupak Jaya menelan ludah. Meskipun gengsi dan amarahnya berkecamuk, tubuhnya terlalu lelah untuk menolak. Ia akhirnya memutar badan perlahan, bersandar pada tiang bambu gubuk.

Shantand mulai bekerja, jarinya menekan titik-titik tertentu di sepanjang tulang punggung pendekar itu. Gerakannya presisi dan penuh kehati-hatian, seperti seorang ahli yang tahu betul medan yang sedang ia hadapi.

Dalam waktu singkat, Dupak Jaya menarik napas panjang. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, tubuhnya terasa sedikit ringan. Aroma gamelan yang tadinya seperti beban pun kini terdengar seperti musik pengantar tidur.

Shantand beranjak, lalu menyerahkan cuilan tahu itu.

“Telanlah sekarang,” ujarnya datar.

Dupak Jaya memandang ragu.

“Itu penawar sementara,” lanjut Shantand sebelum ia bertanya. “Akan meringankan penderitaanmu... hanya untuk tujuh hari. Maka gunakan waktu itu untuk satu hal penting—kembalikan sobekan kitab itu pada Lurah Samunthu. Biarkan beliau yang menyerahkannya padaku. Jika itu berhasil, maka aku akan menyembuhkanmu sepenuhnya.”

Dupak Jaya menggenggam tahu kecil itu, lalu menatap wajah Shantand dalam-dalam. Ada rasa sakit, tapi juga penyesalan.

“Jadi begitulah takdir menertawakanku,” gumamnya lirih. “Dari semua yang pernah kualami, justru bocah ini yang menentukan hidup dan matiku.”

Awalnya, seberkas niat licik sempat melintas di benak Pendekar Dupak Jaya. Tatkala ia melihat Shantand yang berdiri tenang di hadapannya, membawa penawar yang telah lama ia cari, pikirannya tergerak untuk bertindak curang—merebut obat itu dengan paksa. Ia adalah ahli silat, dan bocah di depannya itu... hanya murid muda, bukan?

Namun bayangan akan nama baiknya yang telah remuk di depan para muridnya beberapa waktu lalu membuatnya ragu. Jika kali ini ia kembali bertindak pengecut, maka kejatuhannya di mata dunia persilatan akan semakin dalam dan tak bisa diperbaiki.

Dengan hati gundah, Dupak Jaya akhirnya menerima cuilan tahu itu dari tangan Shantand. Ia menatapnya seksama—seukuran pil kecil, dengan bagian tengah yang tampak aneh: hijau tua, kecoklatan, dan tampak lengket seperti jamur yang difermentasi.

“Bentuknya... menjijikkan,” gumamnya lirih.

Ia masukkan ke mulutnya. Seketika rasa pahit, anyir, dan tekstur lembeknya menyebar ke seluruh rongga lidah. Wajahnya menyeringai geli, menahan dorongan mual yang mendesak dari perut. Dengan cepat ia raih gelas bambu berisi air dan meneguknya hingga tandas.

Beberapa detik berlalu... lalu tubuhnya mulai terasa hangat. Gelombang hangat itu menjalar dari perut ke dada, lalu ke kepala dan ujung-ujung jari. Ketegangan ototnya luruh, dan napasnya terasa lebih lega. Wajahnya semula pucat kini mulai bersemu merah muda.

Dupak Jaya mengerjapkan mata beberapa kali.

“Ini...” katanya terengah, “ini bekerja!”

Ia menatap Shantand—kali ini bukan dengan curiga atau marah, tapi dengan rasa hormat yang tumbuh dari lubuk hati terdalam.

“Terima kasih,” katanya, suara itu lirih tapi tulus.

Shantand hanya mengangguk pelan, lalu membenarkan letak labunya di pinggang. Tatapannya teduh, tapi penuh makna.

“Jangan lupa janji Anda,” ujarnya pendek. “Tujuh hari, dan tidak lebih.”

Shantand membungkuk hormat. “Aku berpamitan, Pendekar,” katanya singkat, lalu berbalik meninggalkan gubuk itu tanpa menunggu jawaban.

Langkahnya ringan menuruni bukit, menyusuri jalur setapak yang dipenuhi semilir angin senja. Cahaya matahari yang mulai condong memantulkan rona jingga di wajahnya, membuat siluet tubuhnya tampak gagah meski masih muda.

Setelah jarak antara dirinya dan Perguruan Harimau Terbang cukup jauh, suara dari dalam labu di pinggangnya kembali terdengar.

“Hei, muridku…” suara Bhaskara mendesah panjang, “Aku harus tahu. Apa sebenarnya yang kau tambahkan ke dalam cuilan tahu itu? Aku lihat wajah si Dupak Jaya hampir pingsan menahan rasa mual!”

Shantand tak langsung menjawab. Ia melirik labu di pinggangnya, lalu menahan tawa. Sudut bibirnya terangkat licik, lalu...

“Upil,” katanya santai.

“Upil?” Bhaskara terdengar bingung.

Shantand meledak dalam tawa lepas.

“Bruakakakakakakak!! Iya, Guru. Upil! Hanya sedikit, tapi cukup membuat rasa jijiknya abadi dalam ingatannya! Kau lihat tadi ekspresi wajahnya? Hahaha, sungguh lucu!”

Bhaskara pun ikut tertawa, meski lebih tertahan. “Kau... benar-benar muridku! Taktik dan balas dendammu tidak memerlukan jurus, cukup dengan... upil.”

Tawa mereka riuh, menggema ringan di sepanjang jalan setapak, menyatu dengan desir angin senja yang membawa aroma tanah dan pohon pinus liar.

Shantand melanjutkan perjalanannya, dengan langkah ringan dan hati lega. Di balik semua kelucuan itu, ia tahu: langkah demi langkah, ia sedang menulis takdir barunya di dunia persilatan.

1
Guchuko
Cerita yang menarik dan bikin geregetan. Semangat terus thor!
Fauzy Husain Bsb: ashiap.. thanks 😊
total 1 replies
L3xi♡
Jatuh cinta sama plot twistnya, bikin penasaran terus 🤯
Fauzy Husain Bsb: trima kasih kk/Grin//Smile/
total 1 replies
Fauzy Husain Bsb
ini adalah kisah konyol ttg reinkarnasi yg absurd, yok di coret 2 😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!