Black World

Black World

The Start of The Endless Nightmares

Hujan rintik-rintik membasahi jalanan Kota Bandung yang sunyi. Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Lampu-lampu jalanan menerangi genangan air yang membentuk cermin-cermin kecil, memantulkan cahaya redup yang hampir tak mampu menembus kabut tipis. Bau tanah basah bercampur aroma kopi dari warung-warung kaki lima yang sudah tutup memenuhi udara dingin malam. Di tengah kesunyian itu, Bacin, seorang polisi muda dengan rambut hitam pendek yang rapi dan wajah tampan yang sedikit tegang, duduk di balik kemudi mobil patroli polisi. Matanya, meskipun lelah, tetap tajam mengamati jalanan.

Jas hujannya yang hitam mengkilap memantulkan cahaya samar lampu mobil. Di usia 25 tahun, Bacin sudah melewati banyak kasus, dari pencurian kecil hingga perkelahian antar geng, tapi bayangan wajah ibunya yang hilang 13 tahun yang lalu masih menghantui pikirannya. Ia masih ingat jelas senyum ibunya, kehangatan pelukannya, dan aroma parfum mawar yang selalu melekat padanya. Hilangnya ibunya tanpa jejak, saat Bacin masih berumur 12 tahun, menjadi luka yang tak pernah sembuh. Keinginan untuk menemukan ibunya, untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, adalah alasan utama Bacin memilih menjadi polisi. Mobil patroli melaju perlahan, lampu rotator biru dan merahnya berputar-putar, menerangi jalanan yang gelap.

Bacin mengerutkan kening, sesuatu terasa janggal. Ada ketegangan di udara, lebih dari sekadar kesunyian malam. Sebuah firasat buruk mulai menjalar di hatinya. Hujan semakin deras, dan angin bertiup lebih kencang, seolah-olah berbisik tentang misteri yang belum terpecahkan. Di radio, suara samar-samar siaran berita tentang serangkaian kasus hilangnya beberapa wanita muda di daerah pinggiran kota terdengar sayup-sayup. Kasus ini memang belum menjadi tanggung jawabnya secara langsung, tapi ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang mengingatkannya pada hilangnya ibunya.

Itulah kenapa Bacin memilih menjadi polisi, untuk mencari keadilan dan mencari ibunya, meskipun dia tahu pencarian itu mungkin seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Malam ini terasa berbeda, jauh lebih mencekam daripada biasanya. Mobil patroli berhenti di depan sebuah rumah tua yang terbengkalai, tampak menyeramkan dalam kegelapan. Ia merasa perlu untuk memeriksa lokasi tersebut. Dan dalam satu sudut pikirannya, ada sebuah panggilan tugas yang tak bisa ia abaikan, sebuah panggilan yang terkait dengan kasus yang mungkin tersembunyi dibalik kesunyian malam ini. Suatu panggilan yang mungkin akan membawanya lebih dekat pada jawaban yang selama ini ia cari.

Bacin mengeluarkan senter dari holster di pinggangnya, cahaya putih terang menerobos kegelapan. Sinar senter itu menari-nari di dinding-dinding rumah tua yang lapuk, menyingkapkan detail-detail mengerikan: bata-bata yang retak dan hampir runtuh, jendela-jendela yang pecah dan kosong, dan bayangan-bayangan yang aneh yang berkelap-kelip di setiap sudut ruangan. Pistol dinas di tangan kanannya terasa dingin dan berat. Ia melangkah perlahan, hati berdebar-debar, kaki menginjak lantai kayu yang berderit setiap kali ia melangkah. Udara di dalam rumah terasa lembap dan dingin, bau apak dan tanah menyeruak ke hidungnya. Suasana mencekam itu semakin diperparah oleh suara-suara aneh yang samar-samar terdengar dari dalam kegelapan—desisan angin, atau mungkin… sesuatu yang lain?

Bacin terus melangkah maju, senternya menyinari setiap sudut ruangan. Rumah itu tampak kosong, kecuali beberapa perabotan tua yang berserakan dan berdebu. Di tengah ruangan, ia menemukan sebuah foto keluarga yang terjatuh dan setengah terkubur debu. Bacin mengambilnya; gambar itu menunjukkan sebuah keluarga bahagia, seorang wanita cantik dengan senyum ramah—wanita yang sangat mirip dengan ibunya—bersama seorang pria dan seorang anak perempuan kecil. Di balik foto itu, tersembunyi sebuah kartu pos usang. Bacin membaliknya. Tulisan tangan yang samar-samar terlihat, tertanggal 13 tahun yang lalu—waktu yang sama saat ibunya menghilang. Ada sebuah alamat di kartu pos itu, alamat sebuah desa terpencil di luar kota.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari lantai atas. Langkah kaki itu pelan tapi pasti, semakin mendekat. Bacin merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Ia merapatkan pegangan pistolnya, senternya tetap terarah ke atas, menunggu siapa atau apa yang akan muncul dari kegelapan. Ia berbisik, "Siapa di situ?" Keheningan. Hanya suara angin dan derit rumah tua yang menjawabnya. Namun, suara langkah kaki itu masih terdengar, mendekati Bacin. Ia merasakan hawa dingin yang luar biasa dan sesuatu yang menyeramkan. Ia harus segera menemukan jawabannya dan mengerti apa yang sedang terjadi. Ini bukan hanya sebuah panggilan tugas, tetapi juga petunjuk yang mungkin membawanya lebih dekat pada kebenaran tentang hilangnya ibunya. Aroma tanah basah dan mawar kembali menyeruak ke indra penciumannya, mirip sekali dengan aroma yang dulu selalu melekat pada ibunya.

Langkah kaki itu berhenti tepat di atas kepala Bacin. Keheningan yang mencekam mencengkeramnya. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar di tengah keheningan itu, bercampur dengan suara desiran angin yang menerobos celah-celah dinding rumah tua. Bacin mengangkat senternya, cahaya putih menerangi tangga yang terbuat dari kayu lapuk. Di puncak tangga, di balik bayangan gelap, sesuatu bergerak. Sebuah bayangan samar, tinggi dan kurus, menghilang secepat munculnya. Bacin menggeram pelan, merasa bulu kuduknya berdiri. Ia perlahan menaiki tangga, setiap langkahnya diiringi derit kayu yang nyaring dan menggema.

Di lantai atas, ia menemukan sebuah ruangan kecil yang terkunci. Bacin mencoba membuka pintu, tetapi terkunci rapat. Ia mengeluarkan kunci pas dari saku celananya, dan dengan hati-hati mencoba membuka paksa gembok yang berkarat. Bunyi logam bergesekan terdengar nyaring di ruangan senyap itu, menambah rasa tegang yang sudah mencekam. Setelah beberapa saat berjuang, gembok itu akhirnya terbuka. Bacin mendorong pintu perlahan, cahaya senternya menerangi ruangan yang gelap dan berdebu. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja kayu tua yang di atasnya tergeletak sebuah buku harian tua dan sebuah kotak kayu kecil yang terukir dengan simbol-simbol aneh. Di sudut ruangan, ia melihat sebuah foto, foto wanita yang sama seperti di foto yang ia temukan di lantai bawah, tetapi dalam foto ini wanita itu tampak lebih muda, dan bersama seorang pria yang wajahnya sebagian tertutup bayangan.

Di samping foto itu, ada sebuah surat yang terlipat rapi. Bacin mengambil surat itu, membuka lipatannya dengan hati-hati. Tulisan tangan wanita itu tampak gemetar, terkesan ditulis dalam keadaan terburu-buru dan ketakutan. "Bacin sayang," tulis wanita itu, "jika kau menemukan surat ini, berarti aku tidak akan kembali. Aku mohon, jangan cari aku. Ini demi keselamatanmu. Ada sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang… lebih besar dari yang kau bayangkan. Kebenarannya tersembunyi di dalam kotak kayu itu. Lindungi dirimu, nak… maafkan Ibu…" Surat itu berakhir begitu saja, meninggalkan Bacin terpaku dengan rasa takut dan pertanyaan yang membuncah di dalam hatinya. Kotak kayu kecil itu. Buku harian tua itu. Apakah di situlah jawaban dari semua misteri yang selama ini membayangi hidupnya? Ia merasakan sebuah kekuatan misterius dan menyeramkan mengelilinginya, seperti sebuah ancaman yang tak terlihat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!