Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Metamorfosa asa
...Dalam metamorfosa asa, aku menemukan bahwa luka yang menari adalah awal dari cahaya yang menuntunku pulang....
...🦋...
Begitu sampai rumah orang tuaku memarahiku setelah mengetahui aku bolos bersama teman-temanku. Mereka menganggap aku mulai berubah menjadi anak yang nakal.
Dengan nada tegas, Papah berkata, "Kamu pikir bolos sekolah itu baik? Apa yang kamu pikirin? Mau jadi apa kamu kalau kayak gini, Putri!"
Mamahku pun menimpali, "Mamah sama Papah gak gedein kamu buat jadi kayak gini, Putri. Kamu harus milih temen yang baik kayak Aurel, bukan yang membawa pengaruh buruk!"
Aku hanya terdiam sambil menunduk, merasa disudutkan. Namun, jauh di dalam hati, aku ingin menjelaskan bahwa teman-temanku tidak seperti yang mereka pikirkan.
"Mereka? anak nakal? mereka baik, Pah!" aku akhirnya menyuarakan isi hatiku.
"Bahkan jauh-jauh lebih baik daripada harus berteman sama orang yang kayak Aurel! Mereka nggak pernah anggap aku ada! Mereka baik cuma pas ada Mamah sama Papah! Kalian gak tau apa yang sebenernya udah terjadi."
Ingatan itu membawa aku kembali ke masa lalu. Aku teringat seseorang yang pernah menjadi sahabat terdekatku, Aurel. Aku menarik napas panjang, menatap ayah dan ibuku dengan penuh keyakinan.
"Mah, Pah, Putri tahu bolos itu salah. Putri janji nggak akan ngulangin lagi. Tapi, tolong jangan nilai temen-temen Putri cuma dari apa yang kalian denger. Mereka orang baik. Bahkan ditengah kesibukan kalian, mereka yang selalu ada buat Putri. Putri gak boleh keluar, Putri gak boleh main sama temen, gak boleh ini, gak boleh itu, semua Putri turutin. Tapi sesekali Putri juga mau seneng-seneng sama temen Putri, Mah, Pah."
Orang tuaku terdiam, mencoba memahami apa yang aku katakan.
Dengan berat hati Mamahku berkata, "Putri.. sebentar lagi kita bakal pindah."
Aku bertanya-tanya, "Maksud Mamah apa?"
"Rumah ini di jual, usaha Mamah dan Papah bangkrut. Lagipula sebentar lagi kamu juga lulus, jadi ini waktu yang pas. Sebenernya usaha kita udah terancam bangkrut dari tahun lalu, tapi Mamah sama Papah berusaha bertahan sampai menunggu kamu lulus."
Air mata ku hampir jatuh, tapi aku berusaha menahan nya. "Terus kita pindah kemana? Apa gak ada cara lain?"
"Ada dua pilihan, Putri.Kita pindah ke Salatiga mencari pekerjaan baru atau kita pulang kampung ketempat nenek sama kakek di Jogja."
"Dan Mamah sama Papah sudah putuskan untuk kita pindah ke Yogyakarta aja, karena disana kita punya banyak kenalan daripada ke Salatiga yang kita gak punya kenalan sama sekali."
"Terus sekolah Putri gimana Mah, Pah?"
"Kamu nerusin SMP disana. Ya walaupun sekolah itu bukan sekolah favorit dan hanya sekolah ditempat yang terpencil, tapi sekolah itu lumayan bagus buat kamu, Putri."
Aku yang masih kaget dan tak bisa menerima, berlari mengunci diri di kamar. Aku duduk di sudut ruangan sambil menatap dinding kosong. Aku nangis sejadi-jadinya. Melempar semua barang yang ada seperti, bingkai foto, vas bunga, dan yang lainnya sampai kamarku bak kapal pecah.
“Putri! Keluar dari kamar sekarang!” suara Papahku terdengar dari luar. Aku diam, pura-pura tidak mendengar.
Setelah beberapa menit, terdengar langkah kaki berat mendekat.
Mamahku berteriak, "PUTRI BUKA PINTUNYA! KAMU SELALU AJA KAYAK GINI. MENGUNCI DIRI DI KAMAR. APA KAMU GAK TAKUT HAHH?"
Terkesan sedikit lucu jika Mamahku berkata seperti itu, seakan dia lupa aku selama ini berteman dalam kesepian dan kegelapan. Jadi apa yang harus aku takut kan?
Iya, mungkin aku takut. Takut kalau aku tidak bisa mengontrol diri ku dan akan melukai orang lain. Maka dari itu setiap aku marah, aku lebih memilih menyendiri dan mengurung diri di kamar. Kalau pun aku melukai, setidaknya aku hanya bisa melukai diri sendiri. Bukan oranglain.
...
Papahku mencoba merusak lobang kunci kamar dengan pisau. Setelah berhasil, pintu kamar di dobrak hingga terbuka lebar. Wajahnya penuh amarah.
“Kamu ini kenapa, hah?"
Aku tetap diam, menahan air mata yang mulai menggenang.
“Daripada kamu kayak gini, mending kamu belajar, Putri!" Ucap Mamahku dengan nada tinggi.
Amarahku yang selama ini terpendam akhirnya meledak. Aku berteriak,
“Aku capek! Kalian tahu nggak sih!"
Tanganku menyambar tumpukan buku di meja, melemparkannya ke lantai hingga berserakan. Aku meraih boneka Barbie yang pernah mereka belikan saat sekolahku mengadakan study tour. Barbie itu pemberian Mamahku.
...
*Flash back on*
Saat berjalan-jalan di TMII mamahku mengajakku dan Aurel ke sebuah pusat oleh-oleh.
"Aurel, kamu suka Barbie? Ini tante beliin buat kamu."
Saat itu aku pergi study tour hanya bersama Aurel. Karena Salsa, Intan dan teman yang lain berbeda kelompok denganku dan akhirnya berpencar. Saat itu juga orangtua Aurel tidak ikut karena ada urusan lain, jadi Ibu Aurel menitipkannya pada Mamahku.
Aku melihat Barbie itu. Barbie itu mempunyai sayap bak bidadari, aku juga mau memiliki Barbie yang cantik seperti itu. Walau aku lebih suka boneka daripada Barbie, tapi aku suka karena Barbie itu bersayap.
"Mah, Putri juga mau." Ucapku.
"Kamu buat apa, Putri? Kamu kan gak suka Barbie, kamu gak usah beli. Barbie itu mahal, kalau gak kamu mainin sayang uangnya."
"Tapi kan Barbie itu bisa dipajang dikamar Putri, Mah? bisa buat kenang-kenangan." Ucapku dengan air mata sedikit menetes.
"Gak usah. Kamu beli gelang tali aja itu, kamu kan suka pakai gelang. Kalau Aurel kan gatel-gatel kalau pake gelang."
Aurel sedikit sedih melihatku. Lalu berkata,
"Tante, Kirana beliin aja Barbie ini, yang sama kayak punyaku. Biar nanti kita bisa kembaran."
*Flash back off*
...
Barbie itu kini aku patahkan dengan kasar dan melemparnya ke sudut ruangan.
"Kalian cuma peduli sama nilai, tugas, belajar! Aku aja nggak dibolehin main sama teman-temanku!" teriakku lagi, suaraku serak karena emosi yang memuncak.
Ibuku, yang terkejut melihatku yang biasanya diam, mencoba mendekat.
"Kamu ini apa-apaan sih! Pantes sama orang tua kayak gini, hah? Dikasih tahu yang baik-baik malah ngelawan! Tuh Barbie juga kenapa kamu rusakin? Dari awal emang seharusnya Mamah gak beliin kamu itu."
Namun, aku semakin marah dan terisak.
"Jangan sentuh aku!" teriakku sambil menepis tangan Mamah dengan kasar.
Dalam luapan emosiku, aku mencakar lengan ibuku hingga mengeluarkan darah.
Ibuku terkejut, menarik tangannya sambil menahan rasa sakit.
"Putri!" seru ayahku yang langsung maju untuk menghentikanku.
"Awas!" aku berteriak, air mata membasahi wajahku. Ketika aku berniat pergi, ayah mencoba menahan kedua bahuku. Aku kembali meronta dan mencakar lengannya, membuat goresan yang lebih dalam.
Papah mundur. " Mau ke mana kamu?"
"Udah, biarin aja dia mau pergi ke mana, ke jalanan sana! Luntang-lantung kayak orang hilang! Anak nggak bisa diatur! Lihat aja nanti, bisa apa dia di luar sana nggak ada Mamah sama Papah nya. Biarin diculik sekalian nanti!" teriak Mamah ku.
"Udah, biarin aja dia sendiri di kamar. Biar renungin diri. Gini nih kalau bergaul sama anak nakal. Beresin tuh kamar kamu, tanggung jawab sama perbuatanmu!" tambah papah, lalu pergi meninggalkanku, disusul ibu yang juga meninggalkanku yang masih terisak di lantai.
Keesokan harinya Salsa dan Intan datang ke rumah. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati, berharap bisa menghiburku yang memang akhir-akhir ini di sekolah selalu sedih.
“Putri ada, Tante?” tanya Salsa pada Mamahku.
Biasanya, Mamah ku akan langsung memarahiku dan menyuruh temanku pulang. Namun kali ini, ia hanya mengangguk kecil. “Tunggu sebentar,” katanya.
Mamah ku memanggilku yang masih di kamar. Aku keluar dengan wajah lesu, mataku sedikit sembab.
Salsa tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana.
“Hai, Putri. Gue kangen banget main sama lo.”
Namun, sebelum aku sempat menjawab, Mamahku memotong. “Maaf, Sal, tapi Putri nggak bisa main hari ini. Kamu pulang dulu, ya. Putri lagi nggak enak badan.”
Salsa terkejut, tapi ia mengangguk sopan dan pergi. Setelah itu, Mamahku menatapku dengan penuh rasa bersalah. Ia menyadari, aku memang sedang tidak baik-baik saja.
Malam itu, Papah dan Mamah berbicara pelan di ruang tamu. Mereka mulai berpikir bahwa selama ini mereka terlalu keras padaku.
“Kita harus ubah cara kita. Putri cuma anak-anak. Dia butuh waktu untuk jadi dirinya sendiri,” kata papah dengan nada lirih.
"Iya, lagi pula kita disini tinggal sebentar lagi. Kita kasih waktu yang tersisa ini buat Putri main sama temen-temen nya aja sebelum nanti kita pindah."