Anand dan Shan, dua sepupu yang tumbuh bersama, tak pernah membayangkan bahwa hidup mereka akan berubah begitu drastis.
Anand dikhianati oleh kekasihnya—wanita yang selama ini ia cintai ternyata memilih menikah dengan ayahnya sendiri. Luka yang mendalam membuatnya menutup hati dan kehilangan arah.
Di sisi lain, Shan harus menelan kenyataan pahit saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Pengkhianatan itu membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.
Dalam kehancuran yang sama, Anand memutuskan untuk menikahi Shan.
Lantas apakah yang akan terjadi jika pernikahan tanpa cinta dilakukan? Akankah luka dapat disembuhkan dengan mereka menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 32
Sudah seminggu berlalu sejak insiden itu. Rumah besar yang dulu dipenuhi tawa, kini hanya dipenuhi ketegangan dan luka.
Pagi itu, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah. Seorang perempuan muda turun dengan seragam rapi dan koper di tangan. Seorang ART lama membukakan pintu.
“Selamat pagi, saya Dira. Pembantu khusus yang diminta Pak Virzha untuk merawat Bu Mikha,” ucapnya sopan.
Ranika yang baru turun dari lantai atas melihat pemandangan itu. Matanya langsung menyipit, jantungnya berdegup marah.
“Pembantu khusus?” gumam Ranika pelan, lalu berjalan cepat ke arah Dira. “Kau siapa?”
“Saya… saya ditugaskan Pak Virzha, Bu. Katanya Bu Mikha sedang hamil dan butuh perhatian khusus.”
Braak! Tas kecil di tangan Ranika jatuh ke lantai. Nafasnya tercekat.
“Luar biasa, Virzha,” ucap Ranika sambil menahan air mata. “Untuk Mikha, kau sewa pembantu pribadi. Untukku, kau bahkan tak pulang.”
Virzha muncul dari ruang kerja. “Ranika, tolong jangan buat keributan pagi-pagi. Mikha butuh ketenangan.”
Ranika mendekat, nadanya tajam
“Kau pikir aku nggak butuh ketenangan? Anakmu, Anand, belum pulang sejak hari itu! Dia tinggal di rumah sakit terus karena perempuan yang kau nikahi itu, Kamu lihat rumah ini? Rumah yang dulu penuh cinta, sekarang seperti neraka, dan semua karena dia—”
matanya menatap tajam ke arah kamar Mikha
“Ranika cukup!” bentak Virzha. “Aku tak ingin anak dalam kandungan Mikha ikut stres karena sikapmu.”
Ranika tertawa getir
“Kau lebih peduli anakmu dari perempuan lain, daripada keluarga yang kau bangun selama belasan tahun?”
Suasana membeku.
Dira berdiri canggung, tidak tahu harus ke mana. Para pembantu lain menunduk, tak berani bicara. Mikha pun hanya mengintip dari balik pintu kamarnya, memegang perutnya dengan raut cemas.
Dalam hati Ranika berteriak
"Rumah ini bukan milikku lagi. Suamiku bukan milikku lagi. Bahkan hatinya pun telah mati untukku."
Air matanya jatuh, namun ia segera membalikkan badan, meninggalkan mereka dengan rasa hancur yang ia telan sendiri.
---
Mikha duduk tenang di dalam kamar yang kini sepenuhnya menjadi miliknya. Ia bisa mendengar dengan jelas suara Ranika yang melengking dari ruang depan, kemarahan yang memuncak, dan nada tegas Virzha yang mencoba mengendalikan situasi. Namun tidak ada rasa bersalah di wajah Mikha.
Ia hanya tersenyum kecil, tangannya mengelus perutnya yang mulai membuncit.
“Kamu dengar itu, Nak?” bisiknya lembut. “Mereka ribut lagi. Tapi nggak apa-apa, semua ini demi kamu.”
Mikha bangkit perlahan, lalu berjalan ke sisi kamar, tempat sebuah foto tergantung di dinding foto seorang wanita tua yang tersenyum penuh kehangatan.
“Nek…” ucapnya lirih, menatap mata neneknya dalam foto. “Lihat aku sekarang. Aku berhasil membuat Ranika merasa seperti aku waktu kehilangan Nenek"
Ia duduk kembali di ujung kasur, senyumnya semakin tipis, hampir seperti seringai.
“Dulu aku hancur waktu nenek pergi. Tapi sekarang aku tahu rasanya bisa bikin orang lain merasakannya juga. Rasanya… puas.”
Air matanya tak lagi jatuh. Hatinya telah lama membatu. Yang tersisa hanyalah ambisi dan dendam yang perlahan-lahan terbayar.
***
Cahaya lampu gantung menyinari meja makan panjang yang telah tertata rapi. Para asisten rumah tangga sibuk menata piring dan mangkuk, aroma makanan menggoda memenuhi udara. Mikha melangkah pelan dari arah dapur, perutnya yang mulai membesar membuat jalannya sedikit hati-hati.
Virzha menarik kursi dengan penuh perhatian.
“Duduk sini, Mikha,” ucapnya lembut. Ia bahkan menyelipkan bantal kecil di belakang punggung Mikha agar lebih nyaman.
Ranika duduk di sisi meja yang berseberangan, menatap mereka dengan mata yang nyalang. Senyum sinis menghiasi wajahnya, penuh luka, penuh amarah. Mona di sampingnya sama-sama membatu, pandangan tajamnya tertuju pada Mikha dengan kebencian yang tak tersembunyi.
Mikha tersenyum tipis, lalu bangkit. Ia mengambil sendok dan mulai menyendokkan lauk ke piring Virzha.
“Ini favorit Pak Virzha kan? Tadi saya minta ke Mbak Ayu buat masak yang pak Virzha suka,” katanya pelan.
Virzha mematung sejenak. Ia memandangi Mikha, matanya berubah. Dalam diam, pikirannya memutar ulang kenangan belasan tahun hidup dengan Ranika, tak sekalipun ia pernah mendapatkan perlakuan seperti ini. Makan malam selalu hambar, bahkan saat rumah tangga mereka masih ‘baik-baik saja’.
Mungkin ia bisa mengambil sendiri makanannya, seperti biasanya. Tapi malam ini… Mikha melayaninya.
Dan bukan cuma ini. Pagi tadi, Mikha menyetrika bajunya, menyiapkan dasi, memilih kaus kaki, bahkan mengelap sepatu kerjanya. Hal-hal kecil yang selama ini tak pernah ia pikirkan akan ia dapatkan dari seorang istri.
Virzha menggenggam sendoknya. Ia menarik napas panjang.
Mungkin… mungkin Mikha pantas mendapatkan cintanya.
Mungkin ia lebih dari sekadar tanggung jawab.
Sementara itu, Ranika memalingkan wajah, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. Mona menggenggam tangannya diam-diam di bawah meja, mencoba menenangkan, walau hatinya sendiri nyaris meledak.
Hening menyelimuti ruangan. Tapi semua orang tahu malam itu, ada hati yang hancur, dan ada hati yang perlahan mulai tumbuh.
***
Lampu meja di sudut ruangan menyala redup. Di luar jendela, langit gelap tanpa bintang, dan suara hujan ringan memukul kaca. Anand duduk diam di kursinya, masih mengenakan jas putih dokter yang kini terlihat lelah dan kusut.
Baru saja ia selesai menangani pasien terakhir. Hari ini, seperti beberapa hari sebelumnya, ia memilih tinggal di rumah sakit. Ia belum siap. Belum sanggup pulang ke rumah, bukan karena lelah… tapi karena luka.
Dengan tangan gemetar, Anand menarik laci kecil di mejanya. Sebuah kotak beludru biru muda berada di dalamnya. Ia menggenggam kotak itu erat-erat, lalu membukanya perlahan. Cincin berlian mungil di dalamnya berkilau lembut, seolah mengolok-oloknya.
“Seharusnya bulan depan, cincin ini sudah melingkar di jari mu, namun sepertinya nggak akan pernah...”
Air mata menggenang di mata Anand. Ia mengangkat pandangan ke arah foto kecil Mikha yang masih terselip di balik papan tulis jadwal tugas. Senyumnya di foto itu begitu manis. Waktu itu Mikha baru saja lulus, mereka berjanji akan menikah tahun ini.
Pernikahan yang ia impikan, rumah yang bahkan sudah siap ditempati kini tidak akan pernah menjadi milik nya dan Mikha.
Padahal rumah mewah yang sudah ia beli sudah ia alihkan atas nama Mikha. Tapi semua impian itu… telah mati. Kini Mikha telah menjadi istri ayahnya. Dan bukan cuma itu, dia sedang mengandung anak Virzha.
Anand tertunduk, memejamkan mata sambil menggenggam kotak cincin itu di dada. Napasnya berat, dadanya sesak.
"Kenapa Mikha? kenapa?" bisiknya lirih.
Kotak cincin itu masih berada di genggaman Anand erat, seperti ia menggenggam sisa-sisa harapan yang tinggal bayangan. Tapi hanya sesaat. Dengan amarah yang meledak dari luka yang tak mampu ia redam, ia mengangkat tangannya dan melempar kotak cincin itu ke lantai.
*BRAK!*
Kotak itu memantul, lalu terbuka. Cincin di dalamnya terlempar dan bergulir ke sudut ruangan, seolah ikut ingin menjauh darinya.
“Sial!” Anand memukul meja, matanya memerah, dadanya sesak. Ia membungkuk, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Hatinya hancur… dan tak ada obat yang bisa menyembuhkannya.
Tiba-tiba...
**DING!**
Suara notifikasi dari ponselnya terdengar nyaring di ruangan yang sepi.
Dengan malas, Anand melirik layar ponselnya yang tergeletak di samping keyboard. Dan saat ia melihat nama pengirim pesan itu, matanya membelalak.
"Ayah"
Teks pesan yang singkat tapi menohok:
> *"Anand... Kamu dimana? Pulang lah ke rumah."*
Anand mencengkeram ponselnya, rahangnya mengeras.
Rumah?
Rumah yang mana? Yang kau isi dengan istri yang seharusnya jadi milikku?
Dengan napas berat, Anand menyalakan layar ponsel sekali lagi, menatap pesan itu dengan mata berkaca-kaca. Tapi ia tak membalas.
Dia hanya bergumam pelan…
“Kau sudah merebut dia dari ku ayah"
Virzha sebenarnya mencintai istrinya cuman krn dibawah pengaruh ibu nya Ranika jadi kayak gitu, Anand juga cintanya terlalu besar buat Mikha dan effort nya dia gak main main, sedangkan Mikha? neneknya meninggal gara-gara si Mona dan Ranika, dia nggak cinta tapi demi neneknya dia cuman pengen balas dendam🥺🥺
eps 1 udh menguras tenaga sekale