Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Keluarga Dewa ke Rumah Sakit
Tak lama setelah Dewa sempat drop, suara langkah cepat terdengar di lorong rumah sakit. Ibu Dewa, Ayah Dewa, dan Nayla datang dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Ibu!” suara Nayla yang pertama kali terdengar, langsung berlari menghampiri Dewa yang masih duduk di kursi tunggu. Matanya berkaca-kaca saat melihat kakaknya terlihat lemah.
Ibu Dewa segera meraih tangan Dewa, menggenggamnya erat. “Nak, kamu baik-baik saja? Ezra bilang kamu hampir pingsan!” Suaranya penuh kecemasan.
Dewa menatap ibunya dengan lelah, tapi tetap mencoba tersenyum. “Aku nggak apa-apa, Bu… Cuma kecapekan sedikit.”
Ayah Dewa yang berdiri di belakangnya hanya menghela napas panjang, menatap putranya dengan sorot mata serius. “Kamu ini kenapa nggak pernah jaga diri? Jangan sampai kamu ikut tumbang, Dewa.”
Dewa menunduk sedikit, merasa bersalah karena membuat keluarganya khawatir. “Maaf, Yah… Aku nggak maksud bikin kalian cemas.”
Nayla, yang masih berdiri di sampingnya, ikut bersuara. “Kak, kalau Kakak sakit juga, siapa yang bakal jaga Kak Ariana?”
Ucapan adiknya itu membuat Dewa tersentak. Memang benar, ia harus kuat agar bisa tetap berada di sisi Ariana.
Ibu Dewa mengusap punggung putranya dengan lembut. “Nak, Ibu tahu kamu sayang sama Ariana, tapi kamu juga harus ingat kalau kamu punya tubuh yang harus dijaga. Ibu nggak mau kehilangan kamu.”
Dewa menatap ibunya, lalu mengangguk pelan. “Iya, Bu… Aku ngerti.”
Ezra yang berdiri di samping Dewa akhirnya ikut bicara. “Tante, Om, tenang aja. Kami juga bakal jagain Dewa. Dia ini keras kepala, susah dibilangin.”
Rangga menimpali dengan nada bercanda, “Iya, makanya kita harus paksa dia buat istirahat.”
Ibu Dewa tersenyum tipis mendengar sahabat-sahabat Dewa yang begitu peduli padanya. Sementara itu, Ayah Dewa menatap putranya dengan tegas. “Kalau kamu butuh waktu buat istirahat, jangan ragu buat bilang. Kamu nggak harus selalu menanggung semuanya sendirian.”
Dewa mengangguk lagi, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran keluarganya. Setelah berbincang sebentar, akhirnya mereka semua masuk ke dalam ruangan Ariana untuk melihat keadaannya.
Meskipun situasi masih penuh kekhawatiran, Dewa merasa lebih kuat dengan adanya orang-orang yang selalu mendukungnya.
...****************...
Sore itu, setelah memastikan Ariana dalam keadaan stabil, Dewa menerima pesan dari ayahnya yang memintanya untuk berbicara empat mata. Mereka memilih tempat yang lebih tenang di area taman rumah sakit, di bawah pohon rindang yang meneduhkan suasana.
Dewa duduk di bangku panjang, sementara ayahnya berdiri sebentar, menghela napas sebelum akhirnya ikut duduk di sampingnya. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.
“Dewa, ada yang ingin Ayah bicarakan denganmu.”
Dewa menatap ayahnya dengan sedikit penasaran. Ia tahu bahwa pembicaraan ini bukan sekadar obrolan biasa.
Ayahnya melanjutkan, suaranya sedikit berat, “Dewa… Ayah cuma punya kamu, Ibu, dan Nayla di dunia ini. Setelah berpisah dari Ibumu, Ayah memang memilih untuk fokus bekerja. Tapi bukan berarti Ayah tidak peduli dengan kalian.”
Dewa terdiam. Ia tahu perceraian orang tuanya bukan hal yang mudah bagi keduanya, dan selama ini, ia lebih banyak berpihak pada ibunya karena ia tumbuh besar bersamanya.
“Ayah mungkin tidak selalu ada di samping kalian,” lanjut Ayahnya, “tapi Ayah ingin memastikan kalau kamu dan Nayla punya masa depan yang baik.”
Dewa menatap lurus ke depan, menyimak dengan serius.
“Sekarang kamu sudah dewasa, sudah mulai bekerja, dan punya tanggung jawab besar. Ayah bangga melihatmu tumbuh menjadi pria yang kuat,” katanya dengan nada penuh kebanggaan. “Tapi satu hal yang ingin Ayah pastikan… Apakah kamu benar-benar bahagia dengan jalan yang kamu pilih?”
Pertanyaan itu membuat Dewa sedikit terkejut. Ia tahu bahwa ia sedang berjuang keras—untuk Ariana, untuk keluarganya, untuk semua hal yang sedang ia jalani. Tapi… apakah ia benar-benar bahagia?
Dewa menghela napas pelan. “Aku nggak tahu, Yah… Tapi aku tahu satu hal, aku nggak mau melihat orang-orang yang aku sayangi menderita. Aku nggak mau Ibu dan Nayla hidup dalam kekurangan, dan aku juga nggak mau kehilangan Ariana.”
Ayahnya menatapnya dalam-dalam. “Itu pilihan yang mulia, Nak. Tapi Ayah ingin kamu tetap memikirkan dirimu sendiri. Jangan sampai kamu mengorbankan kebahagiaanmu hanya untuk memastikan semua orang baik-baik saja.”
Dewa tersenyum kecil. “Aku akan baik-baik saja, Yah. Aku janji.”
Ayahnya mengangguk, lalu menepuk bahunya dengan lembut. “Baiklah. Kalau itu keputusanmu, Ayah akan selalu ada untuk mendukungmu. Kamu bukan sendirian dalam perjalanan ini, Dewa. Ingat itu.”
Dewa menatap ayahnya, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasakan kehangatan seorang ayah yang selama ini jarang ia rasakan. Percakapan itu mungkin singkat, tapi Dewa tahu bahwa di balik semua kata-kata ayahnya, tersembunyi cinta dan kepedulian yang mendalam.