Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 08
Mereka duduk di bangku kayu usang di sebuah taman kecil di sudut kota. Matahari pagi mulai menghangatkan udara, tetapi angin masih terasa menusuk kulit. Reyna bersandar di bahu Kamala, menggenggam erat jemarinya yang dingin.
"Ibu lapar," bisik Reyna pelan.
Kamala menelan ludah, mencoba menahan rasa sesak di dadanya. Ia merogoh saku jaketnya, berharap menemukan sedikit uang sisa, tetapi yang ia dapatkan hanyalah selembar kertas lusuh dan beberapa koin receh yang bahkan tidak cukup untuk membeli sebungkus roti.
Ia menghela napas panjang, menatap sekeliling taman. Beberapa orang tua sedang berolahraga, anak-anak kecil berlarian di sekitar ayunan, dan pedagang kaki lima mulai membuka dagangan mereka. Aroma gorengan yang menguar dari gerobak kecil di sudut taman membuat perut Kamala semakin perih.
"Ibu akan cari makanan, ya? Kamu tunggu di sini sebentar," kata Kamala lembut.
Reyna mengangguk patuh, meskipun matanya tampak lelah.
Kamala bangkit dan berjalan pelan, mendekati seorang pedagang nasi uduk. Ia menggigit bibir, ragu untuk membuka suara. Tapi ia harus mencobanya.
"Permisi, Pak... saya ingin beli sebungkus nasi, tapi uang saya kurang. Bisa tidak saya bantu cuci piring atau bersih-bersih sebagai gantinya?" tanyanya, suaranya hampir bergetar.
Pedagang itu, seorang pria tua dengan kumis tebal, menatapnya lama sebelum menghela napas. "Kamu bawa anak kecil itu, kan?" tanyanya, melirik ke arah Reyna.
Kamala mengangguk.
Pria itu lalu mengambil sebungkus nasi dan memberikannya pada Kamala. "Ambil saja," katanya singkat.
Kamala terkejut, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Pak..."
Pria itu hanya mengangguk dan kembali melayani pelanggan lain.
Kamala kembali ke bangku taman dengan langkah cepat, membawa sebungkus nasi uduk di tangannya. Namun, begitu ia sampai di tempat tadi, langkahnya terhenti mendadak.
Bangku kayu usang itu kosong.
Jantung Kamala berdegup kencang. Matanya langsung menyapu seluruh taman, mencari sosok kecil yang tadi bersandar di bahunya.
"Reyna?" panggilnya, suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban.
Kamala melemparkan pandangannya ke segala arah. Beberapa anak masih bermain di ayunan, orang tua tetap berolahraga, dan para pedagang sibuk melayani pembeli. Tapi Reyna tidak ada di sana.
"Nggak mungkin..." bisiknya, napasnya tersengal. Tangannya gemetar, hampir menjatuhkan bungkusan nasi yang masih hangat.
Kamala berlari ke arah ayunan, lalu ke belakang taman, bahkan ke dekat gerobak pedagang kaki lima. "Reyna!" suaranya semakin nyaring, penuh kepanikan.
Beberapa orang mulai meliriknya, tetapi tidak ada yang tahu di mana Reyna.
Kamala merasakan kakinya melemas. Ia menelan kepanikannya, mencoba berpikir.
Baru beberapa menit ia pergi. Reyna tidak mungkin pergi jauh. Tapi... apakah seseorang membawanya pergi?
Jantungnya mencelos membayangkan kemungkinan itu.
Ia berlari ke arah pedagang nasi uduk tadi. "Pak! Apa Bapak lihat anak saya? Gadis kecil, rambutnya sebahu, pakai baju biru?" tanyanya dengan suara tergesa-gesa.
Pria tua itu mengerutkan kening. "Tadi dia masih duduk di bangku, tapi saya nggak lihat lagi setelahnya."
Kamala merasa tubuhnya bergetar hebat. Ia berbalik, melangkah ke mana saja, mencari, berteriak memanggil Reyna.
Tapi gadis kecil itu tetap tidak terlihat.
Dan semakin lama Kamala mencari, semakin kuat ketakutan yang merayapi pikirannya.
Reyna menghilang.
******
Kamala kembali duduk di bangku kayu usang itu dengan napas tersengal, tubuhnya lemas. Keringat dingin mengalir di pelipisnya meskipun udara pagi masih terasa dingin.
Matanya masih liar menyapu setiap sudut taman, berharap Reyna tiba-tiba muncul dari balik pepohonan atau berlari ke arahnya sambil tersenyum. Tapi tidak ada.
Tangannya mengepal di atas pangkuan. Bungkusan nasi uduk yang tadi ia bawa kini terasa tak ada artinya.
"Reyna..." bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.
Berbagai kemungkinan buruk mulai membanjiri pikirannya. Apakah Reyna tersesat? Apakah ada orang yang membawanya pergi? Ia tidak bisa memikirkan kemungkinan terburuk itu.
Ia menunduk, berusaha mengendalikan napasnya yang semakin berat. Air mata menggenang di matanya, tetapi ia tidak boleh panik. Ia harus berpikir jernih.
Kamala mengusap wajahnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh, tetapi tiba-tiba...
"Ibu!"
Suara kecil itu membuatnya menoleh dengan cepat.
Di sana, Reyna berlari ke arahnya dengan senyum lebar, membawa dua es krim di tangannya. Tepat di belakangnya, berdiri seorang pria yang wajahnya tidak asing bagi Kamala.
Jantungnya masih berdegup kencang, tetapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan kelegaan.
Reyna langsung melompat ke pangkuannya, menyodorkan satu es krim. "Ini buat Ibu!" katanya riang, tidak menyadari bahwa ibunya hampir saja kehilangan akal sehat karena mencemaskannya.
Kamala menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Ia memeluk Reyna erat sebelum akhirnya menatap pria yang berdiri di depan mereka.
Pria itu tersenyum kecil, membawa dua kantong plastik yang tampak penuh. "Tadi, aku lihat dia sedang membantu seseorang nenek menyebar jalan. Jadi kupikir lebih baik aku menemaninya. Aku juga membelikannya sedikit makanan," kata pria itu sambil mengangkat kantong plastik yang dibawanya.
Kamala masih menatapnya sejenak, lalu beralih ke Reyna.
"Reyna, kamu nggak boleh pergi begitu saja tanpa bilang ke Ibu," suaranya terdengar sedikit bergetar, entah karena amarah atau rasa syukur karena Reyna selamat.
Reyna menatap ibunya dengan mata polos. "Maaf, Ibu... Tapi tadi nenek itu hampir jatuh di tengah jalan. Aku cuma mau bantu. Terus, Om ini datang dan membelikanku es krim!" katanya, sambil menikmati es krimnya.
Kamala menghela napas panjang, lalu menatap pria di depannya. Wajah itu memang familiar, tapi ia tidak tahu pasti siapa pria ini dan kenapa ia terus muncul.
"Kau..." Kamala menelan ludah. "Kenapa selalu membantu kita?"
Pria itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar, dan duduk di bangku. "Entahlah.... mungkin karena aku tahu bagaimana rasanya kelaparan dan kehilangan tempat untuk pulang," katanya pelan.
Kamala terdiam, menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar begitu tulus, namun juga menyimpan luka lama.
Reyna, yang tidak terlalu memahami percakapan mereka, tetap menikmati es krimnya dengan riang. "Om juga beli ayam goreng! Ibu pasti suka!" katanya sambil menunjuk kantong plastik yang dibawa pria itu.
Kamala menunduk menatap kantong itu. Ia bisa melihat dua bungkus nasi ayam goreng di dalamnya, bersama beberapa makanan ringan.
"Aku tidak bisa menerimanya begitu saja..." gumam Kamala.
Pria itu mengangkat bahu. "Anggap saja ini balasan karena Reyna sudah membantu seseorang hari ini. Aku tidak sering bertemu anak sekecil ini yang punya hati besar."
Reyna tersenyum bangga, sementara Kamala hanya bisa menghela napas.
"Terima kasih..." katanya pelan.
Pria itu mengangguk, lalu berdiri. "Aku harus pergi. Masih ada urusan yang harus aku lakukan."
"Om, pasti datang lagi kan, main sama aku?"
Pria itu terdiam sejenak, menatap Reyna yang menatapnya penuh harap. Senyumnya semakin melembut, lalu ia mengangguk pelan.
"Kalau ibumu mengizinkan, Om akan datang lagi," katanya sambil melirik sekilas ke arah Kamala.
Reyna bersorak kecil, jelas senang dengan jawaban itu. "Yeay! Ibu, boleh kan?" tanyanya antusias.
Kamala menatap Affan dengan penuh pertimbangan. Pria itu baik, tidak diragukan lagi. Tapi ia masih belum tahu apa niat Affan yang sebenarnya.
Namun, melihat mata Reyna yang penuh harapan, Kamala akhirnya menghela napas. "Kita lihat nanti," katanya, tidak memberikan jawaban pasti.
Affan tersenyum kecil. "Baiklah, sampai jumpa lagi, Reyna," katanya sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Kamala mengawasi sosok itu menjauh, perasaannya campur aduk. Apakah pertemuan ini benar-benar kebetulan? Ataukah takdir memang sedang mempermainkan mereka?
Sementara itu, Reyna masih tersenyum bahagia sambil menggigit es krimnya, seolah dunia ini tidak memiliki masalah sama sekali.
Kamala menatap Reyna dengan lembut, tapi juga dengan sedikit ketegasan. "Reyna, lain kali kalau mau pergi, kamu harus bilang dulu ke Ibu, ya?"
Reyna yang masih asyik dengan es krimnya mengangguk pelan. "Iya, Ibu. Maaf..." suaranya terdengar sedikit bersalah.
Kamala menghela napas dan meraih tangan kecil Reyna, menggenggamnya erat. "Ibu khawatir sekali. Ibu pikir kamu hilang…"
Reyna menatap ibunya dengan mata bulatnya yang jernih. "Aku cuma mau bantu nenek itu, Bu. Dia hampir jatuh, terus Om Affan datang dan membantuku juga. Om Affan baik, kan?"
Mendengar nama itu, Kamala sedikit tertegun. "Kamu tahu namanya?"
Reyna mengangguk dengan semangat. "Iya! Dia bilang namanya Om Affan."
Kamala akan mengingatkan nama itu dengan hati-hati, tetapi ia akhirnya hanya menghela napas pelan. "Baiklah, tapi lain kali, kamu harus tetap bilang ke Ibu sebelum pergi, ya?"
Reyna mengangguk patuh, sementara Kamala menatap ke arah di mana Affan tadi menghilang. Nama itu… Affan. Nama yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Kamala menghela napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih berdegup kencang. Ia menatap Reyna yang kini asyik menikmati es krimnya, seolah tidak ada kejadian menegangkan barusan.
"Kita pergi dari sini, Reyna," ujar Kamala lembut, meski ada nada tegas dalam suaranya.
Reyna menatap ibunya dengan sedikit bingung. "Pergi ke mana, Bu?"
"Kita cari tempat lain yang lebih aman," jawab Kamala sambil meraih tangan kecil Reyna dan menggenggamnya erat.
Ia tidak bisa lagi merasa tenang di taman ini. Pertemuan dengan Affan, kepanikan saat kehilangan Reyna, semuanya membuatnya sadar bahwa mereka tidak boleh terlalu lama diam di satu tempat. Terlalu banyak mata yang bisa mengawasi. Terlalu banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Reyna mengangguk pelan, lalu bangkit dari bangku kayu usang itu. "Baik, Ibu. Tapi kita mau ke mana?"
Kamala menatap sekeliling, mencari arah. Ia tidak punya tujuan pasti, hanya ingin menjauh. Namun, yang jelas, ia harus menemukan tempat yang cukup aman untuk mereka berdua.
Tanpa menjawab, ia menggenggam tangan Reyna lebih erat dan mulai melangkah pergi, meninggalkan taman kecil itu, menuju ketidakpastian yang masih menunggu di depan.
******
Saat mereka berjalan meninggalkan taman, Reyna yang masih asyik menjilati es krimnya tidak memperhatikan jalan. Kamala sudah beberapa kali memperingatkan, tetapi gadis kecil itu tetap melangkah dengan riang, matanya lebih fokus pada es krim daripada arah yang ia tuju.
Tiba-tiba...
Bruk!
Tubuh kecil Reyna terpental sedikit ke belakang setelah menabrak seseorang. Es krim di tangannya jatuh ke tanah, menciptakan noda lengket di trotoar. Reyna terdiam, matanya membesar saat melihat seorang pria paruh baya di depannya menatapnya dengan wajah kesal.
"Astaga!" Pria itu mengibaskan kemeja putihnya yang kini terkena noda es krim. "Anak kecil, lihat jalan kalau berjalan! Lihat ini, bajuku kotor!" suaranya meninggi, jelas-jelas marah.
Reyna langsung menunduk, menggigit bibirnya dengan perasaan bersalah. "Maaf, Om..." katanya pelan.
Kamala yang baru saja sadar dengan apa yang terjadi segera menarik Reyna ke belakangnya. "Maaf, Pak. Anak saya tidak sengaja," ujarnya dengan tenang, berusaha menenangkan situasi.
Namun, pria itu masih memasang wajah tidak puas. "Tidak sengaja? Lihat bajuku! Ini mahal, tahu?! Apa kau pikir cukup hanya dengan bilang maaf?"
Kamala mengeratkan genggamannya pada tangan Reyna. Ia tahu pria seperti ini, orang-orang yang menganggap materi lebih penting daripada memahami keadaan.
"Sekali lagi, kami benar-benar minta maaf," kata Kamala, suaranya tetap lembut, meskipun di dalam hatinya, ia mulai merasa tidak nyaman.
Pria itu mendecak, mengibaskan kemejanya sekali lagi, lalu menatap Kamala dan Reyna dengan sinis. "Kemeja ini mahal. Aku tidak bisa begitu saja membiarkannya kotor karena kecerobohan anakmu. Aku ingin kau menggantinya."
Kamala mengepalkan tangannya. Ia tahu bahwa pria ini hanya mencari alasan untuk mengintimidasi mereka.
"Pak, saya sudah meminta maaf. Ini hanya es krim, bisa dicuci."
Pria itu mendengus. "Kau pikir aku tidak punya urusan lain selain mencuci baju? Aku tidak peduli bagaimana, pokoknya kau harus mengganti bajuku atau membayar ganti rugi."
Reyna menggenggam tangan Kamala lebih erat, tubuhnya sedikit bersembunyi di balik ibunya. "Ibu…" bisiknya takut.
Kamala menarik napas dalam. Ia tahu ia tidak punya uang untuk membayar ganti rugi yang diminta pria itu, dan ia tidak ingin berdebat lebih lama di tengah jalan.
"Pak, maaf, tapi saya tidak bisa mengganti baju Anda," katanya tegas.
"Jika Anda keberatan, silakan cuci sendiri atau biarkan kering. Itu hanya noda es krim, bukan tinta permanen."
Mata pria itu menyipit. "Apa kau bilang?"
Kamala tidak mundur. "Kami sudah meminta maaf. Jika itu tidak cukup untuk Anda, maka itu masalah Anda, bukan saya."
Pria itu mendecak marah, tetapi sebelum ia bisa membalas, suara lain terdengar dari belakang mereka.
"Masalah apa ini?"
Kamala menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di belakang pria itu. Wanita itu mengenakan gaun elegan dengan tas tangan mahal yang tergantung di lengannya. Wajahnya tampak tegas, tetapi sorot matanya lebih tenang dibanding pria yang sedang marah itu.
"Ada apa, Mas?" tanya wanita itu, melirik Kamala dan Reyna sekilas sebelum menatap kemeja pria itu yang terkena noda es krim.
Pria yang dipanggil itu langsung menunjuk Reyna dengan kesal. "Anak kecil ini menabrakku dan mengotori bajuku! Ibunya menolak menggantinya!"
Wanita itu menghela napas, lalu menatap Kamala dengan lebih saksama. "Anda ibunya?"
Kamala mengangguk. "Iya, Bu. Saya sudah meminta maaf. Ini hanya es krim, bisa dicuci, tapi suami Anda memaksa saya untuk mengganti bajunya."
Wanita itu mendecak pelan dan menatap pria itu dengan tatapan tajam. "Mas, kau ini keterlaluan. Itu hanya noda kecil, kenapa harus mempermasalahkan sampai sejauh ini?"
"Tapi..."
"Sudahlah!" potong wanita itu tegas. "Aku akan membelikanmu baju baru nanti, jangan membuat malu di tempat umum seperti ini."
Seno tampak tidak terima, tetapi tidak berani membantah lebih lanjut. Ia hanya mendengus kesal dan berbalik tanpa mengatakan apa-apa lagi.
Wanita itu kemudian menatap Reyna yang masih menunduk. "Kamu baik-baik saja, Nak?" tanyanya dengan suara lebih lembut.
Reyna mengangguk pelan.
Wanita itu tersenyum tipis lalu menoleh pada Kamala. "Saya minta maaf atas sikap suami saya. Dia memang suka berlebihan."
Kamala sedikit terkejut dengan sikap wanita itu, tetapi ia tetap membalas dengan sopan. "Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih."
Wanita itu hanya mengangguk sebelum berbalik dan berjalan menyusul suaminya yang sudah lebih dulu pergi.
Kamala menghela napas panjang, merasa lega karena masalah itu akhirnya selesai. Ia berjongkok di depan Reyna dan menyentuh bahu kecilnya. "Kamu tidak apa-apa?"
Reyna mengangguk lagi, meskipun matanya masih terlihat sedikit takut. "Aku tidak sengaja, Bu…"
Kamala tersenyum dan mengusap kepalanya. "Ibu tahu. Tapi lain kali, kalau jalan, lihat ke depan, ya?"
"Iya, Bu…"
Kamala menggandeng tangan Reyna lagi dan melanjutkan langkah mereka. Insiden tadi memang membuatnya sedikit kesal, tetapi ia bersyukur semuanya bisa diselesaikan tanpa lebih banyak masalah.
Saat mereka berjalan menjauh dari tempat kejadian, Reyna masih terlihat murung. Kamala menyadarinya dan berusaha menghiburnya.
"Kamu sedih karena es krimmu jatuh?" tanya Kamala lembut.
Reyna mengangguk pelan. "Iya… es krimnya enak, Bu."
Kamala tersenyum kecil dan mengusap kepala anak itu. "Tidak apa-apa. Nanti kalau ibu punya uang, ibu akan belikan kamu es krim lagi, ya?"
Reyna mengangkat wajahnya, matanya berbinar sedikit. "Benar, Bu?"
Kamala mengangguk. "Tentu. Tapi kamu harus janji akan lebih hati-hati saat berjalan."
Reyna langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Janji, Bu!"
Mereka kembali berjalan, tangan kecil Reyna menggenggam erat jemari Kamala.
Meskipun insiden tadi sedikit mengganggu, Kamala merasa lega karena semuanya sudah berlalu. Namun, di dalam hatinya, ia masih memikirkan sesuatu, bukan tentang pria arogan itu, tetapi wanita yang datang membelanya.
Wanita itu terlihat begitu berwibawa, bahkan bisa mengendalikan suaminya hanya dengan beberapa kata. Kamala bertanya-tanya, siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ia merasa ada sesuatu yang familiar dari tatapannya?
Sambil melanjutkan perjalanan, Kamala tak menyadari bahwa dari kejauhan, seseorang tengah memperhatikannya dengan tatapan penuh arti. Sosok itu berdiri diam, matanya mengikuti setiap langkah Kamala dan Reyna, seolah-olah sedang menilai sesuatu.
"Siapa orang itu? Dan apa hubungannya dengan Kamala?"