Teror pemburu kepala semakin merajalela! Beberapa warga kembali ditemukan meninggal dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam, ternyata semuanya berkaitan dengan masalalu yang kelam.
Max, selaku detektif yang bertugas, berusaha menguak segala tabir kebenaran. Bahkan, orang tercintanya turut menjadi korban.
Bersama dengan para tim terpercaya, Max berusaha meringkus pelaku. Semua penuh akan misteri, penuh akan teka-teki.
Dapatkah Max dan para anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku? Atau ... mereka justru malah akan menjadi korban selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TPK33
Flashback ON.
Malam itu, sangat gelap dan dingin. Hujan mengetuk jendela Haven Home dengan ritme samar, seolah membisikkan rahasia yang tak seharusnya diungkap. Bangunan itu berdiri kokoh di pinggiran kota yang sunyi, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar. Di balik dinding kokoh yayasan itu, ada dua anak yang terperangkap dalam kisah kelam yang ditulis dengan darah dan penderitaan.
Liam, bocah lelaki berusia sepuluh tahun, duduk di sudut kamarnya yang remang-remang. Matanya yang hitam pekat menatap kosong ke arah seutas tali yang melingkar di tangannya. Sejak kecil, ia belajar bahwa rasa sakit bisa datang tiba-tiba. Entah dengan botol kosong yang pecah di kepalanya, dengan tangan kasar yang menyeretnya ke lantai, atau dengan tali yang menjerat lehernya hingga dunia menjadi kabur. Setiap kali ayah atau ibunya mabuk, tali itu akan melilitnya lebih erat, mencengkeram hidupnya hingga di ambang batas.
Ia mengingat malam-malam ketika tali itu melingkar di lehernya—digerakkan oleh tangan yang lebih besar, lebih kuat, lebih berkuasa. Ayah dan ibunya yang selalu dikuasai aroma alkohol yang menyengat, kerap menjadikan Liam sebagai pelampiasan atas sulitnya hidup mereka. Jika mereka marah, tali itu menjeratnya. Jika mereka teler, tali itu menyiksanya lebih lama.
Liam belajar bahwa kesakitan bisa menjadi sesuatu yang biasa. Tapi, malam ini berbeda. Malam ini, Liam-lah yang memegang kendali.
"Aku sangat penasaran," gumam Liam, nyaris seperti bisikan.
Dengan seringai di bibirnya, Liam mendekati sang ayah yang tengah mendengkur di sofa tua. Di tatapnya botol kosong yang masih bergulir di lantai.
Liam berdiri di belakang sofa, lalu melingkarkan tali di leher sang ayah. Ia menarik perlahan, menikmati bagaimana napas ayahnya tersendat, menikmati bagaimana mata sang ayah membelalak dalam keterkejutan dan ketakutan. Namun, Liam merasa, ada yang ... kurang.
Ayahnya tidak berteriak, tidak menangis seperti dirinya yang melewati semua siksaan itu setiap hari. Pria baya itu hanya meronta dalam diam, seperti tikus kecil yang sekarat. Liam menginginkan lebih. Ia ingin kepala itu … terpisah.
"Hentikan itu, Liam!" Jeritan sang Ibu seketika menghentikan aksinya.
Tali itu terlepas, ayahnya terbatuk keras, mencengkram lehernya sendiri.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Liam. Sangking kerasnya, bocah itu sampai tersungkur di atas lantai.
"Apa yang kau lakukan, Liam?! Apa kau gila?!"
Alih-alih takut, bocah itu justru tersenyum tipis, bibirnya melengkung dalam ketenangan yang mencekam.
"Aku hanya penasaran, Bu. Bagaimana caranya ... membuat kepala bisa terpisah dari tubuh."
Kedua orang tua Liam bergidik ngeri. Mereka saling memandang. Malam itu, mereka berdua berdiskusi panjang. Sebuah keputusan telah di buat.
Keesokan harinya kedua orang tua Liam menjalankan rencana yang sudah mereka susun, mereka membawa Liam pergi. Mereka meninggalkan Liam di Haven Home. Tanpa perpisahan, tanpa penjelasan, tanpa peduli seperti apa latar belakang yayasan tersebut. Yang tersisa dari mereka, hanya tatapan takut.
Liam menatap kedua orang tuanya yang menghilang di balik gerbang. Sedikitpun tak ada ekspresi di wajahnya, Liam bahkan tidak merasa kehilangan.
Ia merasa ... bebas.
---
Setelah kematian sang ibu, Jessie terpaksa harus hidup dengan sang ayah tiri yang sejak dulu sudah mengincar tubuh mungilnya. Pria tua mesum yang selalu membujuk dengan kata-kata manis sebelum mencabik-cabik dan mencicipi setiap jengkal tubuh Jessie.
Dengan mengumpulkan semua keberanian, Jessie berhasil melarikan diri. Seorang tetangga menemukan Jessie dengan tubuh penuh luka. Garis-garis merah di sepanjang lengannya membuat gadis kecil itu tampak memperihatinkan.
Jessie dibawa ke Haven Home dalam keadaan berantakan. Ia sudah tidak lagi menangis, tidak lagi meminta tolong.
Tetangganya yang baik hati mengira bahwa yayasan ini akan menjadi tempat yang lebih aman untuknya. Mereka tidak tahu bahwa Haven Home bukanlah tempat penyembuhan—melainkan tempat yang menciptakan para monster.
Kehadiran Jessie di sambut hangat oleh pimpinan Haven Home. Pimpinan yang baru menginjak usia 20tahun, tetapi sudah di panggil dengan sebutan 'Ayah' oleh para anak-anak yang tinggal di yayasan.
Pria itu tersenyum lembut. Namun, di balik senyum lembut dan jubah panjang itu, tersembunyi sosok iblis keji di dalamnya. Di balik senyum dan kata-kata penuh kasih, tersembunyi kebiadaban yang lebih dalam.
Tubuhnya yang tinggi, mata nya yang gelap seakan menembus jiwa siapa pun yang menatapnya.
"Selamat datang, Jessie." Suaranya terdengar dalam dan tenang, membawa ketakutan yang langsung menyergap. Ketika ia menyentuh bahu Jessie, gadis kecil itu seketika menegang.
"Aku tahu kau telah melalui banyak hal, Jessie." Bisiknya, jemarinya mengusap pipi gadis itu yang pucat pasi. "Tapi, kau tenang saja, kau aman di sini. Aku akan merawat mu … dengan sangat baik."
Dengan gerakan perlahan, jari pria itu turun ke dada Jessie. Meraba pelan, lalu tiba-tiba meremas kuat.
Jessie kesulitan bernapas. Rasanya seperti ada sesuatu yang melilit dadanya, lebih menyakitkan daripada tangan ayah tirinya, lebih menakutkan daripada kegelapan yang selalu menghantuinya.
Bertahun-tahun, Jessie hidup dengan menjalani pelecehan di Haven Home. Tidak terasa, usianya sudah menginjak usia wanita dewasa. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Tubuh Jessie mulai menunjukkan gejala aneh. Jessie sadar bahwa ia tengah ... hamil.
Mengingat semua penderitaan yang telah ia lalui, Jessie tidak bisa menerima kehamilannya. Diam-diam, Jessie memilih untuk menggugurkan janinnya.
Namun, sepandai-pandai ia mengubur bangkai, aksinya itu berhasil terendus oleh sang pimpinan. Seseorang dengan gelar Ayah itu, murka.
"Beraninya kau melenyapkan benih ku!" desisnya. "Kau, memang layak di hukum, Jessie!"
Malam itu, saat hujan turun perlahan menelusuri jendela Haven Home seperti air mata, Jessie menjalani hukumannya.
Bukan dengan cambuk atau pukulan. Melainkan dengan sesuatu yang lebih kejam. Rahimnya diambil, harapannya untuk menjadi ibu kelak, telah direnggut selamanya.
Kejamnya lagi, hukuman yang dilalui Jessie tak berhenti sampai di situ saja. Mereka melakukan sebuah eksperimen terapi gelombang untuk memanipulasi ingatan Jessie.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
PERNIKAHAN YANG DIRANCANGKAN
Setelah kematian Anna, Liam akhirnya menikahi Jessie. Tentu saja pernikahan itu bukan dilandasi karena cinta, melainkan demi menjalankan rencana untuk menjadikan wanita itu sebagai tersangka.
Liam memandang Jessie yang tertidur di sampingnya, napasnya teratur, polos seperti anak kecil. Lalu, tatapan itu beralih pada botol obat penenang milik Jessie yang ada di atas meja, obat yang selama ini kandungannya sudah ia ganti dengan obat racikan Haven Home. Obat yang setiap hari akan membuat Jessie lemah, membuatnya lebih mudah dikendalikan.
"Dasar wanita bodoh," gumam Liam dengan seringainya.
Setiap malam, Liam akan membawa Jessie yang dalam kondisi setengah sadar, ke sebuah ruangan rahasia. Ruangan itu sangat gelap, Jessie duduk di depan layar besar, layar yang hampir memenuhi seluruh ruangan itu.
Layar yang tadinya gelap, kini terang benderang, menjadi satu-satunya cahaya di dalam sana. Beberapa video diputar berulang kali—rekaman pembunuhan yang sangat brutal. Darah, jeritan, mayat yang tergeletak dengan leher terpenggal. Liam membiarkan layar besar itu menyelimuti dunia Jessie.
"Ini tanganmu, Jessie. Kau yang melakukannya. Kau lah pelakunya," bisik Liam lalu terkikik.
Flashback Off.
Jari-jari Liam bergetar hebat, ujung jemarinya terus-terusan meneteskan darah.
"T-tolong hentikan, aku sudah tak tahan lagi," lirihnya sambil menatap kuku-kukunya yang hampir tanggal semua.
Di hadapannya, Bella berjongkok dengan seringai.
"Tidak tahan? Tapi, bagaimana ya, aku belum selesai tuh. —Sekarang, katakan padaku. Siapa sosok yang kalian panggil Ayah itu. —Katakan dengan jujur dan jangan bertele-tele. Karena jika kuku mu habis dan kau masih tetap menutupi nya, maka, jarimu lah yang akan menjadi target selanjutnya."
*
*
*
Thor buat cerita agent agent gitu dunk Thor dgn ruang rahasia dll 🫰
Terima kasih banyak Kak, atas karya luar biasanya ini 🙏🥰🥰