Tidak terpikirkan oleh Sabrina lulus kuliah kemudian menikah. Pertemuanya dengan Afina anak kecil yang membuat keduanya saling menyayangi. Lambat laun Afina ingin Sabrina menjadi ibu nya. Tentu Sabrina senang sekali bisa mempunyai anak lucu dan pintar seperti Afina. Namun tidak Sabrina sadari menjadi ibu Afina berarti harus menjadi istri Adnan papa Afina. Lalu bagaimana kisah selanjutnya? Mampukah Sabrina berperan menjadi istri Adnan dan menjadi ibu sambung Afina???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyebabkan Jantung Berdebar.
Sampai di ruang rawat Afina. Mata Sabrina mengembun, kala menatap bocah kecil itu meringkuk. Bocah yang akhir-akhir ini jarang Sabrina temui karena kesibukan.
"Fina sakit apa Pak?" lirih Sabrina.
Adnan menceritakan tentang penyakit demam yang di derita putrinya.
"Kamu tahu kan In, selama Afina bersama kamu, sering menginap di rumah kamu, berat badan nya naik. Terus sekarang coba lihat, jadi kurus begitu." Adnan melirik Sabrina yang sedang menatap sendu wajah Afina.
"Ya Allah..." Sabrina menyesal. Afina memang susah sekali makan, jika tidak pandai-pandai membujuknya.
"Bapak juga sih! Kenapa Nggak diantar ke rumah!" Sabrina merengut kesal.
"Bukan begitu In, makanya, aku mohon, jadilah istriku," tegas Adnan.
Jleb.
Sabrina langsung tidak bersuara, ia bingung entah harus menjawab apa. Jujur ia memang sangat menyayangi Afina, tetapi untuk menikah dengan Adnan, tentu ia harus pikirkan matang-matang.
Adnan adalah seorang duda, tetapi bukan status duda itu yang membuat Sabrina ragu. Yang pertama. Adnan pernah gagal dalam rumah tangganya. Jika ia menerima, tidak akankah berpengaruh dalam rumah tangga nya kelak?
Yang kedua, Sabrina belum berpikir akan menikah di usianya yang baru genap 22 tahun.
"Ina..." Adnan menepuk pelan pundak Sabrina. Seketika Sabrina terlonjak kaget. Sabrina mendongak menatap wajah pria itu, baru kali ini paham. Walaupun sudah sering jalan bersama Sabrina tidak pernah memperhatikan Adnan sedekat sekarang.
"Sabrina... kamu sudah dantang Nak?" tanya mama Fatimah. Mama Fatimah membuat kedua insan itu membuang pandangan ke arah Fatimah. Rupanya beliu baru keluar dari toilet.
"Sudah Bu. Ibu apa kabar..." Sabrina segera menghampiri Fatimah, mencium punggung tangan wanita yang lebih tua dari Kamila 10 tahun itu.
"Baik Nak," Fatimah tersenyum manis.
"Ya Allah... pasti Afina nanti senang begitu bangun melihat kamu disini,"
Sabrina hanya mengangguk tersenyum lalu mengikuti Fatimah yang mengajaknya duduk di sofa.
Sedangkan Adnan sudah duduk lebih dulu, sambil membuka lap top yang ia abaikan sejak kemarin.
"Bu, ini titipan dari Bunda," Sabrina meletakkan kue di atas meja.
"Alhamdulillah... tapi bunda kamu kok repot-repot..." mama Fatimah membuka mika kue ambil satu kemudian menggigitnya.
"Waah... enak banget, kue buatan Bunda kamu, memang perlu diacungi jempol," puji Fatimah sambil mengunyah.
"Terimakasih, jika Ibu suka," Sabrina tersenyum melihat Fatimah menikmati kue.
"Nan, coba ini," Fatimah mengangkat mika kue, agar Adnan mengambil. Adnan ambil satu lalu mencicipi. Mereka ngobrol panjang lebar sambil sarapan. Adnan kemudian ijin ke toilet.
"Nak Sabrina... Ibu berharap kamu bersedia menikah dengan Adnan," pinta Fatimah kemudian.
"Pak Adnan juga sudah membicarakan itu Bu, tapi... Saya akan rundingkan dengan Ayah dan Bunda dulu," Sabrina menjawab sopan.
"Baiklah... tapi yang penting... Saya ingin mendengar jawaban kamu dulu Nak?" cecar Fatimah.
Sabrina menoleh Afina kemudian mengangguk. "IsyaAllah... Saya bersedia Bu,"
Jawaban Sabrina membuat senyum Fatimah mengembang.
"Alhamdulillah... hari sabtu, jika Papa Rochmat dan Ayah kamu sudah pulang dari luar kota, kami akan ke rumah kamu Nak," tergambar jelas kelegaan di wajah mama Fatimah.
"Baik Bu,"
"Bundaaa..." terdengar suara Afina Sabrina dan mama Fatimah segera beranjak mendekati nya.
"Afina... kamu sudah bangun?" Sabrina duduk di samping Afina.
"Yeee... Bunda datang..." Afina pun lupa bahwa ia sedang sakit. Seketika ingin bangun saking gembira melihat Sabrina ada di sampingnya.
"Aow" Afina meringis, memegangi kepalanya. Membuat Sabrina dan mama Fatimah mengusap tangan dan pundak Afina.
"Jangan dipaksakan bangun sayang..." Sabrina membetulkan posisi bantal Afina.
"Tapi Bunda nggak boleh pergi ya..." pesan Afina.
"Tidak dong. Bunda kan sudah tidak ada kuliah, jadi... akan menemani Afina disini," hibur Sabrina membuat Afina lega.
"Waah... anak Papa sudah bangun..." Adnan setelah dari toilet, mendengar suara Afina lalu mendekat.
"Sudah, Papa tadi menjemput Bunda ya?" Afina tersenyum.
"Betul," Adnan mencium tangan Fina.
"Mau ke toilet nggak?" tanya Sabrina.
"Mauu..." jawab Afina memajukan bibirnya tampak lucu. Sabrina menggendong Afina ke kamar mandi. Kemudian Adnan mengangkat penyangga infus.
Ketika Sabrina hendak masuk ke toilet, Adnan membuka pintu. Aroma parfum wangi dari tengkuk Sabrina membuat mata Adnan terpejam mengendus aroma tersebut.
Jeduk"
Kepala Sabrina membentur hidung mancung Adnan. "Astagfirrullah..." Adnan terkejut.
"Maaf, saya nggak tahu, kalau Bapak deket begitu... sekarang mending Bapak ke luar, biar saya yang mengurus Afina," titah Sabrina menahan napas.
Adnan tidak menjawab lalu kembali sembari memegang hidungnya yang lumayan sakit.
"Ma, lebih baik, Mama pulang dulu, istirahat, biar aku yang menjaga Afina, lagian kan ada Sabrina." Adnan kasihan pada mama Fatimah, terlihat kantung mata, karena kurang tidur sejak kemarin.
"Begitu ya Nan? Baiklah..." mama Fatimah segera telepon Supir, minta dijemput. Tidak lama kemudian supir telepon balik Fatimah mengabarkan bahwa ia sudah menunggu di parkiran rumah sakit. Mama Fatimah beranjak ambil tas. Benar kata Adnan, badanya memang terasa sakit semua, beristirahat sejenak akan lebih baik
"Mama pulang ya Nan. Kamu sama Sabrina belum muhrim loh, jangan terlalu dekat dulu," mama Fatimah terkekeh.
"Cek! Mama..." Adnan menggaruk tengkuknya. Lalu mengantar Fatimah sampai di pintu.
Adnan kembali masuk, terdengar samar-samar obrolan Sabrina dan Afina dari toilet, kemudian menghampiri mereka.
"Sudah?" tanya Adnan.
"Pak tolong," Sabrina minta agar Adnan memegang infus seperti sebelumnya. Lalu menggendong Afina.
Sabrina kembali menidurkan Afina, netranya tertuju di samping ranjang, sudah ada sarapan pagi yang disiapkan pihak rumah sakit untuk Afina.
"Sekarang waktunya makan, Bunda suapin okay..." Sabrina mengangkat nampan ke pinggir ranjang.
"Iya... tapi nggak mau sayur..." rengek Afina.
"Ini, nih... sebabnya Afina sakit, sampai kurus, karena... Afina nggak makan sayur kan? Benarkan?" Sabrina menoel hidung Afina.
"Tapi mulut Afina pahit Bun," kilah Afina.
"Yang namanya orang sakit, semua makanan nggak ada yang enak. Nah, agar mulut Afina tidak pahit lagi sekarang makan dulu, minum obat, sembuh terus pulang," Sabrina menjelaskan.
"Iya deh" Afina pun membuka mulut dan menerima suapan pertama.
Adnan yang sedang melanjutkan pekerjaan di sofa melempar tatapan sekilas lalu mengukir senyum.
"Afina tahu nggak? Kenapa kelinci itu badanya tidak kurus, dan tidak gemuk, selalu menggemaskan, selalu lincah, dan enerjik?" tanya Sabrina ketika Afina akan melepeh wortel yang sudah di mulut dan akhirnya Afina mengunyah lalu menelan.
"Kenapa?" tanya Afina.
"Sekarang nyuap dulu, baru Bunda jawab."
"Aaaa..." Afina membuka mulut.
"Kerena... kelinci itu suka sekali makan sayur," Sabrina memberi pengertian-pengertian kecil hingga makanan dalam piring habis. Setelah minum obat, Afina kembali tidur. Sabrina lalu membentang selimut menutup tubuh Afina.
Sabrina menoleh Adnan yang sedang bekerja berkali-kali kuap menahan kantuk. Sabrina mendekati menatap wajah Adnan tampak mengantuk dan lelah.
"Bapak ngantuk banget? Sedang mengerjakan apa?" tanya Sabrina perhatian.
"Menyusun pengembangan sistem perencanaan mahasiswa baru," jawab Adnan menoleh Sabrina.
Entah keberanian darimana Sabrina duduk di samping Adnan.
"Boleh saya bantu?" Sabrina kembali bertanya.
"Tidak usah, kamu juga kan cape," Adnan menggeleng.
"Sudah... Bapak istirahat dulu," Sabrina ambil alih lap top dari tangan Adnan. Namun, Adnan justeru terpaku menatap wajah Sabrina yang lagi-lagi menyebabkan jantungnya berdebar.
"Tenang saja Pak, saya tidak akan mencuri data kebijakan internal kampus kok," tandas Sabrina.
"Bukan begitu maksud saya," Adnan mengalah kemudian merebahkan tubuhnya di sofa, kakinya menelusup di belakang badan Sabrina.
Sabrina terkejut menoleh kebelakang lalu memajukan bokongnya, meletakkan laptop di atas meja lalu melanjutkan pekerjaan Adnan.
********
Bersambung.
lbh gk nyambung lg 🤣🤣🤣🤣
hajar bello