Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekesalan Gabriel
Langit sore memancarkan warna jingga. Gabriel, seorang pria mapan dengan wajah tampan dan aura dingin yang sulit ditembus, melangkah keluar dari kantornya dengan ekspresi letih. Dasi hitam yang terpasang sempurna di lehernya tampak sedikit longgar, menandakan harinya yang panjang. Jay, asistennya yang selalu siaga, berjalan di sampingnya sambil membawa beberapa dokumen yang tadi diselesaikan oleh bosnya.
“Tuan Gabriel, mobil sudah siap,” ucap Jay dengan suara tenang, sembari membukakan pintu penumpang belakang.
Gabriel hanya mengangguk pelan, melepas jas yang ia kenakan dan menyerahkannya pada Jay sebelum masuk ke dalam mobil. Matanya yang tajam tampak memejam sesaat begitu ia duduk, mencari sedikit ketenangan di tengah lelahnya.
Jay segera menuju tempat mengemudi dan menyalakan mesin. Mobil mewah itu meluncur menuju Grand Celestial Towers, sebuah gedung yang megah dan mewah, salah satu properti milik Gabriel sekaligus tempat tinggalnya.
Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hening. Jay yang memahami sifat bosnya, memilih untuk tidak berbicara. Gabriel membuka matanya sesekali, melihat pemandangan kota senja yang dipenuhi gemerlap lampu yang mulai hidup dari balik jendela mobil.
Namun pikirannya melayang-layang, mengingat kembali insiden pagi tadi, ketika ia bertemu seorang wanita yang tidak hanya berhasil memancing rasa ingin tahunya, tetapi juga menjadi pengecualian dari alergi aneh yang ia miliki.
“Jay,” suara berat Gabriel memecah keheningan.
Jay melirik dari kaca spion. “Ya, Tuan?”
“Wanita tadi pagi. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia,” ucap Gabriel singkat tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Jay mengangguk patuh. “Saya akan segera mencari informasi yang Tuan butuhkan.”
Gabriel tidak menanggapi. Ia hanya memejamkan mata lagi, mencoba mengabaikan dorongan penasaran yang mulai merayap di pikirannya.
Mobil itu berhenti di lobi Grand Celestial Towers. Lampu-lampu gedung mulai memancarkan cahaya yang megah, mencerminkan kemewahan di setiap sudutnya. Gabriel keluar dari mobil dengan langkah anggun namun tetap dingin. Jay menyusul di belakang, memegang pintu lift untuknya.
Saat mereka menunggu lift turun, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat. Gabriel, yang biasanya tidak memperhatikan orang sekitar, tiba-tiba menoleh. Matanya terpaku pada sosok wanita yang berjalan mendekat (Desi) wanita yang tak hanya menarik perhatian, tetapi juga mematahkan keunikan tubuhnya yang alergi disentuh oleh wanita. Wanita yang ia temui pagi tadi.
Wanita itu berjalan dengan tenang. Pakaian sederhana yang ia kenakan bergerak lembut mengikuti langkahnya. Rambut panjangnya yang hitam dibiarkan terurai, memberikan kesan anggun namun penuh percaya diri. Matanya lurus ke depan, seakan tak memedulikan dunia di sekitarnya, termasuk Gabriel yang berdiri di dekat lift.
Gabriel berdiri tegak, tangannya secara perlahan melepas sarung tangan yang selalu ia kenakan. Ia menyerahkannya kepada Jay, yang melirik dengan ragu.
“Tuan Gabriel, apa yang—”
“Diam,” potong Gabriel, matanya masih terpaku pada Desi.
Saat wanita itu berjalan melewati mereka, tidak menyadari keberadaan Gabriel terus melangkah melewatinya tanpa basa-basi.
Namun Gabriel bertindak cepat. Ia meraih pergelangan tangan nya dan menariknya hingga berdiri tepat di depannya. Tindakan itu membuat wanita itu terkejut, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, wanita ini memandang Gabriel dengan sorot mata dingin dan penuh tanda tanya.
Gabriel, yang biasanya tidak pernah menyentuh orang lain tanpa alasan, merasa lega karena alerginya tidak bereaksi. Ia mencoba memanfaatkan momen itu untuk memulai pembicaraan.
Mereka saling bertukar kalimat, tetapi dialog mereka tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Wanita itu tampak genit tapi tidak peduli, sementara Gabriel yang biasanya selalu unggul dalam setiap situasi justru mendapati dirinya bingung menghadapi sikap wanita itu.
Selama percakapan itu, Jay hanya berdiri di dekat lift, menyaksikan dengan heran bagaimana bosnya mencoba berbicara dengan seseorang yang terlihat sama sekali tidak terpengaruh oleh pesonanya.
Setelah beberapa menit, Gabriel akhirnya menyudahi pembicaraan dan menyuruh wanita itu pergi.
"Oke, bye-bye, Om Tampan," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya sebelum berbalik pergi.
Gabriel membeku di tempatnya. Kata “Om” yang keluar dari mulut wanita ini terasa seperti ejekan baginya. Om? Aku terlihat setua itu? pikirnya kesal.
Namun kekesalannya semakin menjadi-jadi ketika Desi berpamitan kepada Jay dengan panggilan, “Kak.” padahal umur mereka sama.
Jay yang merasa tidak nyaman, hanya tersenyum kikuk. Ia menatap punggung Desi yang perlahan menghilang di sudut lobi, lalu melirik Gabriel dengan ekspresi canggung.
Gabriel mendengus, lalu melangkah masuk ke dalam lift tanpa berkata sepatah kata pun. Ekspresinya gelap, menandakan bahwa ia sedang menahan amarah. Jay mengikuti dari belakang, mencoba menjaga jarak agar tidak menjadi pelampiasan kekesalan bosnya.
Di dalam lift, suasana menjadi lebih hening. Gabriel berdiri dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celananya, matanya menatap ke arah panel angka yang terus berganti. Jay berdiri di sudut lift, mencoba menyesuaikan napasnya yang tiba-tiba terasa berat akibat tekanan dari aura bosnya.
“Dia memanggilku Om,” gumam Gabriel tiba-tiba, memecah keheningan.
Jay mengerjapkan mata, bingung apakah ia harus merespons atau tidak.
“Om? Dan kau dipanggil Kak?” Gabriel mengulang dengan nada penuh ironi. Wajahnya terlihat tidak percaya sekaligus kesal.
Jay, yang merasa dirinya terpojok, mencoba meredakan suasana. “Mungkin dia hanya bercanda, Tuan. Lagipula, Anda tidak terlihat tua sama sekali.”
Gabriel melirik asistennya dengan pandangan tajam, membuat Jay merasa semakin salah bicara. “Aku tidak butuh pendapatmu,” balas Gabriel dingin.
Lift akhirnya berhenti di lantai tertinggi, tempat penthouse Gabriel berada. Tanpa menunggu, Gabriel melangkah keluar dengan langkah cepat, meninggalkan Jay yang hanya bisa menghela napas lega setelah tekanan di dalam lift tadi.
Setelah Jay melihat tuannya masuk kedalam kediamannya. Ia kembali turun ke lift bawah nya, tempat tinggalnya. Yah, Jay diberi fasilitas tempat tinggal di gedung yang sama oleh Gabriel, namun di lantai dan unit yang berbeda.
Setibanya di penthouse, Gabriel melempar jasnya ke sofa dan melonggarkan dasinya. Ia berjalan ke arah kulkas, menuang segelas jus, lalu meneguknya dengan cepat. Matanya menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota malam yang memukau. Namun pikirannya tidak bisa lepas dari pertemuannya dengan Desi.
Wanita itu benar-benar aneh, pikir Gabriel. Ia mencoba menganalisis situasi, tetapi setiap kali wajah Desi terlintas di pikirannya, ia merasa semakin kesal. Kekesalan itu bukan hanya karena panggilan “Om,” tetapi juga karena sikap cuek Desi yang membuatnya merasa diremehkan.
“Dia harus tahu siapa aku,” gumam Gabriel dengan nada penuh tekad. Ia meneguk jus nya sekali lagi, lalu berjalan ke arah kamar untuk membersihkan diri.
Gabriel melangkah memasuki kamar mandi dengan langkah mantap. Ia menyalakan shower, membiarkan air hangat mengalir membasahi tubuhnya yang lelah. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tetapi ingatan akan sentuhan tadi terus berputar di benaknya.
Setelah beberapa menit, Gabriel mematikan shower dan meraih handuk. Ia mengeringkan tubuhnya dengan cepat, lalu mengenakan piyama satin biru tua yang terlipat rapi di rak. Dengan rambut yang masih sedikit basah, ia melangkah keluar dari kamar mandi menuju ranjangnya yang luas dan nyaman.
Ia duduk di tepi ranjang, memandang tangannya sendiri. Ia membuka telapak tangan, menatapnya seolah-olah itu adalah benda asing. Ia bahkan menggerakkan jemarinya, memastikan tidak ada ruam atau gejala apa pun.
Kemudian, ia berdiri dan berjalan menuju cermin besar di sudut kamar. Gabriel melepaskan piyamanya, memeriksa kulit di seluruh tubuhnya dengan seksama. Tidak ada tanda-tanda merah, tidak ada gatal, tidak ada bengkak.
“Wow,” gumamnya dengan nada tak percaya.
Ia kembali duduk di ranjang, membiarkan punggungnya bersandar ke kepala tempat tidur. Matanya menerawang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
Selama bertahun-tahun, dirinya hidup dengan alergi aneh yang membuatnya tidak bisa menyentuh orang lain tanpa menimbulkan ruam atau gatal yang menyakitkan. Namun, wanita itu menjadi pengecualian. Tangannya menyentuh kulitnya, menariknya mendekat, tetapi hingga kini tubuhnya tetap baik-baik saja.
Wanita itu bukan hanya menjadi pengecualian, tetapi juga menimbulkan rasa ingin tahu yang mendalam.
Gabriel mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu membiarkan tawa kecil keluar dari bibirnya. “Apa-apaan ini...” gumamnya pelan, antara bingung dan terhibur oleh situasi yang tak terduga ini.
Wanita itu berhasil membuatnya merasa tidak seperti dirinya sendiri, dan entah kenapa, ia ingin bertemu dengannya lagi.
skg d kmr.
msh sama yg banting pintu
semangat Thor