Ambil Saja Suamiku
Di Toko Bayi "Doremi"
Desi berjalan pelan-pelan di antara rak perlengkapan bayi. Perut besarnya membuat langkahnya sedikit berat, tetapi ia tersenyum lebar sambil memandangi baju-baju mungil berwarna pastel. "Ah, bayi kita pasti cocok pakai ini," gumam Desi sambil memegang satu set baju tidur biru lembut.
Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar. Rak-rak di sekitarnya mulai bergetar. Desi melihat sekeliling dengan panik.
"Ada apa ini?" desisnya. Sebelum ia sempat bereaksi, dinding di belakangnya runtuh, disusul plafon yang mulai retak. Desi mencoba berlindung di bawah meja kasir, melindungi perutnya dengan kedua tangannya.
Ketika tim pemadam kebakaran tiba, kekacauan melanda. Asap dan debu memenuhi udara. Orang-orang berteriak meminta bantuan.
Bima memimpin timnya dengan tegas. "Ayo, periksa area sebelah timur dulu! Jangan sampai ada korban yang terlewat!" serunya.
Sementara itu, di bawah reruntuhan, Desi merogoh ponselnya dengan tangan gemetar. Perutnya yang besar membuatnya sulit bergerak di antara puing-puing yang menimpa tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal, namun ia tetap mencoba menekan nomor suaminya. Bima, sang kapten pemadam kebakaran. Hatinya berdebar kencang, berharap Bima bisa segera datang menolongnya.
Desi dengan gemetar dan darah mengalir di bawah pahanya, "Mas Bima… angkat… angkat, tolong…"
Panggilan tersambung. Suara Bima terdengar di ujung sana, penuh kelelahan.
Bima terdengar tergesa-gesa, "Halo? Sayang, aku sedang bertugas. Nanti aku—"
Desi terisak sambil tetap memegang erat perut nya, "Mas Bima! Aku… aku di toko Doremi! Bangunan ini runtuh, aku terjebak! Tolong aku!"
Hening sejenak di seberang. Suara sirine mobil damkar terdengar di arah belakang, diselingi suara teriakan tim evakuasi.
Bima terkejut dan terlihat panik, "Kamu di mana? Di Doremi? Tunggu, aku—"
Desi menahan napas, merasa lega sedikit, namun hatinya semakin berat. Ia mendengar suara Bima yang jelas cemas, tapi saat itu juga, sebuah suara perempuan yang dikenal oleh Desi terdengar samar-samar di arah belakang.
Suara seorang wanita yang memotong ucapan Bima, diikuti tangisan anak kecil.
Maya menangis ketakutan dan berteriak dengan kencang, "Mas Bima, tolong anakku! Abas kesakitan!"
Bima terkejut dan berusaha menenangkan, "Maya, aku di sini! Jangan khawatir, aku akan keluarkan kalian!"
Desi menggigit bibir, perasaan cemburu dan amarah menyelimuti hatinya. Maya. Wanita itu. Cinta pertama Bima.
Desi merasa hatinya hancur mendengarnya. Air mata mengalir di pipinya. Dengan suara tercekat, ia mencoba memanggil suaminya lagi. "Mas Bima… aku masih di sini. Mas Bima?"
Bima tersentak mendengar Desi memanggilnya, "Aku harus menolong Maya dan Abas dulu. Mereka terjebak di bagian terdalam. Desi, aku tidak bisa bicara lama. Bertahanlah, ya. Aku akan menyuruh tim lain mencari kamu!"
Telepon terputus. Meninggalkan Desi dengan hati yang hancur. Desi memeluk perutnya dengan erat, berharap anaknya bisa selamat.
Desi menangis dan dalam hati berkata, “Aku ini istrimu, mas Bima. Aku mengandung anakmu. Tapi kenapa Maya… selalu Maya? Bahkan di saat seperti ini…”
Desi memejamkan mata, menahan air mata yang mulai mengalir. Ia merasa seolah dunia tiba-tiba runtuh lagi, kali ini bukan oleh bangunan, tetapi oleh kenyataan yang menyakitkan. Ia tahu, suaminya memilih untuk menolong wanita lain yang lebih dulu hadir dalam hidupnya.
Tak lama kemudian, Desi melihat Bima muncul dari arah puing-puing. Harapan muncul di matanya, namun seketika hancur saat ia melihat Bima menggendong seorang anak kecil, Abas. Di belakangnya, Maya berjalan dengan tubuh lemah namun wajah penuh kemenangan.
Desi berkata dalam hati dengan hati yang hancur, “Dia datang, tapi bukan untukku…”
Maya melirik Desi sekilas. Tatapannya penuh rasa puas, seolah ia sengaja menunjukkan bahwa Bima ada di sisinya. Desi hanya bisa memandang, tubuhnya terasa semakin lemah.
Desi berbisik pelan, "Mas Bima…"
Air mata mengalir, Desi menggenggam perutnya, berusaha melindungi bayinya, tapi kekuatan itu mulai pudar, dan dunia menjadi gelap.
Di UGD, Tim medis di rumah sakit bekerja dengan tergesa-gesa saat Desi dibawa masuk. Salah satu dokter, Dr. Andini, segera memeriksa kondisinya. "Tekanan darahnya turun drastis! Kita harus segera melakukan operasi," perintahnya.
Seorang perawat, Sari, mencoba menelepon Bima. "Nomor suaminya sudah kita dapat. Aku akan coba hubungi dia."
Di ruang rawat inap, suasana terasa tenang meski penuh kecemasan. Abas duduk di tempat tidur, tubuh kecilnya tampak sedikit lemah. Bima duduk di sampingnya, sambil menyuapkan makanan kepada Abas dengan lembut. Abas menatap Bima dengan mata penuh harap. “Ayah, aku nggak mau makan dulu. Aku mau lihat taman. Bisa ayah gendong aku ke sana?”
Bima tersentak dengan panggilan anak dari cinta pertamanya ini. Bima menatap Abas, senyum hangat terbentuk di wajahnya meskipun hatinya penuh dengan kebingungan.
Bima mengangguk, “Tentu, Nak. Sebentar, ya.”
Bima memindahkan piring makanan ke meja samping tempat tidur, lalu mengangkat Abas dengan hati-hati.
Abas meringis sedikit, tapi senyum bahagia langsung terpancar saat ia merasa tubuhnya terangkat ke pelukan Bima. “Terima kasih, Ayah. Ayah paling baik.”
Bima tersenyum pahit, “Tidak masalah, Nak. Ayo kita lihat taman.”
Abas memeluk Bima dengan erat, berharap bisa merasakan kenyamanan. Bima berjalan menuju jendela kamar rawat inap.
Namun, ponsel Bima berdering, mengganggu ketenangan sejenak. Bima melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Desi, nama sang istri.
Bima merasa gelisah, tidak tahu harus menjawab atau tidak. Ia tahu bahwa Desi baik-baik saja, temannya baru menghubungi nya jika sang istri telah dibawa ke Rumah Sakit. Meskipun agak gelisah, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan Abas yang membutuhkan perhatiannya.
Bima ragu mengangkat ponselnya dan melihat layar. Apakah ia akan mengangkatnya atau tidak.
Maya, yang berada di tempat tidur, melihat ke arah Bima dengan tatapan yang tak terbaca. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa Bima tampaknya ragu-ragu. Maya kemudian membuka mulut dengan suara lirih. “Mas Bima… Apakah itu istrimu yang menelepon?”
Bima terdiam beberapa detik sebelum mengangguk pelan. “Iya, ini Istriku.”
Maya tidak mengucapkan apapun, namun ekspresinya sedikit berubah. Ia kembali memandang ke arah anaknya, Abas, yang kini terlihat tenang di pelukan Bima. “Ayah, lihat… taman!”
Bima menaruh ponselnya kedalam saku nya kembali, setelah dering telfon itu mati. Bima menatap ke luar jendela dan melihat taman kecil yang ada di luar. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke Abas yang sedang tersenyum, seolah ingin merasakan kebahagiaan sederhana itu.
Bima dengan lembut menggenggam tangan Abas lebih erat lagi, “Ya, Nak, lihatlah. Apakah kamu suka taman?”
Abas tertawa ceria, matanya berbinar. “Wah, indah banget, Ayah! Aku suka taman. Terima kasih.”
Bima hanya tersenyum, sedangkan Abas dengan nada manjanya, “Ayah, jika nanti Abas sembuh, Bisakah ayah berjanji untuk membawa Abas ke taman indah lainnya?”
Bima mengangguk pelan. “Janji, Nak. Tapi sekarang, mari kita nikmati pemandangannya taman disini dulu.”
Sedangkan di Ruang Operasi, Sari masih menekan nomor Bima. Namun, panggilan tidak diangkat. Sari gelisah, "Masih sibuk belum diangkat. Apa kita harus menunggu persetujuan keluarga?"
Dr Andini menggeleng, "Kita tidak punya waktu! Nyawa pasien dan bayinya dalam bahaya!"
Sari terlihat bingung dan cemas, namun tak ada waktu untuk berpikir panjang. Semua mata tertuju pada Desi yang tampak semakin lemah. "Tapi, tanda tangan persetujuan...."
Desi tiba-tiba membuka mata dengan lemah. Suaranya hampir tak terdengar.
Desi bersuara dengan lemah, "Aku… aku yang tanda tangan… aku yang setuju…"
Sari dan para perawat lainnya saling bertukar pandang, bingung. "Ibu tidak perlu memaksakan diri, kondisi Anda terlalu lemah."
"Tolong… selamatkan bayiku…" ucap Desi dengan suara hampir tak terdengar.
Dengan berat hati, Sari menyerahkan formulir. Setelah Desi menandatangani dokumen itu, ia kembali tak sadarkan diri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
R@3f@d lov3😘
dasar suami egois dan bodoh 😏 Bima itu...lebih mementingkan orang lain daripada istrinya apalagi itu mantan yang akan jadi pelakor/Puke/
2025-01-17
2
Ayu Padi
nangis thor... br bab pertama... hancurkan Bima yaa desi seperti hatimu yg hancur berkeping²
2025-01-20
1
Ayu Septiani
bab pertama udah bikin emosi aja nih suami Desi. Bima yang bodoh
2025-01-23
0