Menceritakan tentang dimana nilai dan martabat wanita tak jauh lebih berharga dari segenggam uang, dimana seorang gadis lugu yang baru berusia 17 tahun menikahi pria kaya berusia 28 tahun. Jika kau berfikir ini tentang cinta maka lebih baik buang fikiran itu jauh - jauh karena ini kisah yang mengambil banyak sisi realita dalam kehidupan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Pelataran rumah itu terasa hening, hanya terdengar langkah pelan Yeon Ji yang masih mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Aska berdiri di sisinya, mengawasi setiap gerakan dengan cermat.
"Kakimu sudah jauh lebih baik," ujar Aska dengan suara rendah. "Kau bisa mulai melatihnya untuk jarak-jarak pendek, seperti ke kamar mandi atau sekadar berjalan di sekitar kamar tidurmu."
Yeon Ji tersenyum tipis, meski masih ada keraguan di sorot matanya. "Semua ini berkat bantuan Anda, Tuan. Kalau bukan karena Anda, saya mungkin tidak akan sejauh ini."
Aska hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Tepat saat itu, seorang pelayan muncul dari arah dapur, membawa nampan berisi makan malam mereka.
"Tuan, Nona. Saya membawakan makan malam kalian," ucap pelayan itu sambil membungkuk sopan.
"Silakan letakkan saja di sini," sahut Yeon Ji sambil menunjuk meja kecil di dekat mereka.
Pelayan itu segera meletakkan makanan di atas meja, lalu pamit meninggalkan mereka dengan langkah tenang. Namun, saat Yeon Ji kembali duduk, ia mendapati Aska sedang menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Kenapa Anda melihat saya seperti itu, Tuan?" tanyanya, sedikit kikuk.
Aska tersenyum samar. "Entahlah. Saat kau berbicara dengan pelayan tadi, rasanya aku melihat seseorang yang berbeda."
Yeon Ji mengernyit, bingung. "Seseorang yang berbeda? Maksud Anda?"
"Ketika kau berbicara tadi," ujar Aska, masih dengan nada tenang, "aku tidak melihat Yeon Ji yang biasa kukenal. Aku seperti melihat seorang Nona besar di rumah ini."
Wajah Yeon Ji langsung memerah. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Namun, momen itu seketika terhenti oleh suara keras yang memecah kesunyian.
"Hey anjing, apa kau lihat dimana kakek?"
Mingyu muncul dari arah taman, suaranya terdengar keras dan sembarangan. Tanpa menunggu jawaban, ia melanjutkan, "Aku sudah mencarinya ke ruang kerja, tapi dia tidak ada."
Aska menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa kau tidak punya sopan santun sedikit pun?"
Mingyu mengangkat bahu, ekspresinya tetap santai. "Sopan santun? Apa hubungannya dengan pertanyaanku soal Kakek?"
Sebelum Aska sempat membalas, Yeon Ji bangkit dari kursinya. Ia berdiri tegak, meskipun tubuhnya masih terlihat sedikit gemetar.
"Kakek ada di kamarnya," ujar Yeon Ji dengan suara tenang. "Beliau baru saja pulang dari pertemuan."
"Oh, begitu. Baiklah, aku akan menemuinya," jawab Mingyu santai.
"Tuan, tunggu!" panggil Yeon Ji sebelum Mingyu sempat melangkah pergi.
Mingyu berbalik, sedikit kesal. "Apa lagi? Kakek sudah tidur?"
"Bukan itu. Aku ingin bertanya sesuatu," ujar Yeon Ji ragu-ragu.
Mingyu menghela napas, lalu melipat tangannya. "Cepat katakan. Aku sibuk."
"Apakah Tuan tahu Kakek sakit apa? Beberapa hari lalu, beliau sempat batuk-batuk dan sesak napas. Tuan Wang bahkan memberinya pil, tapi saat kutanya, Kakek tidak menjawab apa-apa. Apa Anda tahu sesuatu?"
Sesaat, Mingyu tampak terdiam. Namun, ekspresinya segera berubah menjadi senyum sinis.
"Sakit? Aku tidak tahu soal itu," katanya, suaranya terdengar mengejek. "Tapi kalau itu benar, aku berharap penyakitnya cukup parah untuk membuatnya mati lebih cepat."
Yeon Ji memandangnya dengan mata terbelalak. "Tuan! Bagaimana bisa Anda bicara seperti itu tentang Kakek?"
"Kenapa kau khawatir?" Mingyu menyeringai, nada suaranya penuh ejekan. "Tenang saja. Kalau dia mati, aku akan memberimu dua persen dari hak waris yang kudapat sebagai ucapan terima kasih atas kabar bahagia ini."
Kata-kata itu menusuk perasaan Yeon Ji. Ia ingin membalas, tetapi Mingyu sudah berbalik dan melangkah pergi sebelum ia sempat berkata apa-apa. Hening kembali menyelimuti pelataran, meninggalkan Yeon Ji yang terpaku dengan rasa kecewa bercampur marah.
Ruang Baca Pribadi Do Hyun

Cahaya lampu meja menerangi tumpukan dokumen di atas meja kayu mahoni yang mengilap. Udara di ruangan itu terasa hening, hanya diiringi suara gemerisik kecil ketika Wang He menuangkan air ke dalam gelas.
"Tuan, ini obat Anda," ujar Wang He sambil menyodorkan gelas dan beberapa pil.
Do Hyun menerimanya tanpa banyak bicara. Ia menelan obat itu, lalu meletakkan gelas kosongnya dengan hati-hati di atas meja. Pandangannya tetap tertuju pada dokumen di hadapannya.
"Apa Kim Woon sudah berangkat?" tanyanya datar.
Wang He mengangguk pelan, meski raut wajahnya menyiratkan keraguan. "Tuan, tolong jangan terlalu khawatir. Dokter sudah mengatakan stres berlebihan tidak baik untuk kesehatan Anda."
Do Hyun hanya mengangguk tipis, tetapi sebelum ia sempat menanggapi, pintu ruangan terbuka tanpa ketukan.
Mingyu masuk dengan langkah santai, senyum sinis menghiasi wajahnya. Sebuah map tergenggam di tangannya, terlihat sedikit lecek seolah dipegang dengan sembarangan.
"Jadi benar kau sedang sakit," katanya, memecah keheningan.
Do Hyun menoleh pelan, tatapannya dingin. Namun, Mingyu tidak terpengaruh.
"Berapa sisa umurmu, Kek? Setahun? Dua tahun? Aku harap lebih cepat dari itu," lanjutnya dengan nada mengejek.
Do Hyun tetap tenang. "Apa yang membawamu ke sini, Mingyu?"
"Ah, ya. Hampir saja aku lupa," jawab Mingyu seraya melempar map itu ke atas meja. "Aku butuh tanda tanganmu di dokumen ini."
"Untuk apa?" tanya Do Hyun sambil membuka map tersebut.
"Temanku akan membuka galeri lukisan. Dia ingin kau menjadi salah satu investornya."
Do Hyun membaca dokumen itu dengan saksama. Alisnya sedikit terangkat ketika menemukan angka yang tertera di dalamnya.
"200 miliar?" tanyanya, suaranya terdengar seperti gemuruh rendah.
"Temanku ingin membawa beberapa lukisan ternama ke galeri itu," jelas Mingyu santai. "Untuk itu, mereka butuh jaminan juga pengamanan ekstra."
Do Hyun menutup map itu dengan bunyi pelan, pandangannya tajam menusuk Mingyu. "Mingyu, apa kau lupa bagaimana terakhir kali temanmu meminta kita menjadi investornya? Dia mengalami kebangkrutan besar, dan kita harus menanggung sebagian kerugiannya."
Mingyu mengangkat bahu, wajahnya tetap tanpa rasa bersalah. "Lalu? Apa itu masalah besar?"
"Maaf," ujar Do Hyun dingin, "kali ini aku tidak akan memenuhi permintaanmu. Temanmu, Vernon, hanyalah pria dengan sejuta mimpi tanpa bakat. Dia tidak akan pernah berhasil menjalankan apa pun."
Mingyu menyeringai. "Jadi apa? Kita tidak akan bangkrut walaupun dia memintanya setiap tahun, kan? Apa yang sebenarnya kau takutkan, Kek?"
Do Hyun menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya di kursi. "Mingyu, mulai sekarang, cobalah lebih fokus dan bertanggung jawab pada perusahaan. Yeon Ji sedang hamil, dan kau akan segera menjadi seorang ayah."
Mingyu memiringkan kepala, tampak terkejut sesaat sebelum senyumnya kembali muncul. "Jadi dia hamil? Kalau begitu, selamat. Itu artinya sebentar lagi aku benar-benar akan lepas dari pengawasanmu, kan?"
"Mingyu," ujar Do Hyun perlahan, nadanya lebih tegas. "Dokter mengatakan kehamilan Yeon Ji sangat rentan. Dia membutuhkan banyak dukungan, baik secara medis maupun emosional."
Mingyu mendengus. "Kau sudah membayar dokter itu, kan? Kalau masih kurang, kau bisa membawa ayah-ibunya, keluarganya, atau siapa pun untuk tinggal di rumah ini. Aku tidak peduli."
Do Hyun menghela napas sekali lagi, membuka kembali map itu. Dengan gerakan tenang, ia mengambil pena dari mejanya dan menandatangani dokumen tersebut tanpa berkata apa pun lagi.
"Ini berkasmu," katanya sambil menyerahkan map itu kembali.
Mingyu mengambil map itu tanpa rasa terima kasih. "Terima kasih, Kek. Aku pergi dulu."
Tanpa menunggu balasan, Mingyu berbalik dan meninggalkan ruangan dengan langkah santai.
Setelah pintu tertutup rapat, Wang He menatap Do Hyun dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran. Suaranya pelan namun tegas saat ia bertanya, "Tuan, mengapa Anda menyetujui permintaan itu begitu saja? Bukankah Anda tadi mengatakan tidak akan memenuhi permintaannya?"
Do Hyun bersandar di kursinya, matanya terarah ke segelas air yang masih menyisakan setengah isinya di meja. Ia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Uang 200 miliar itu bukan masalah besar untuk kita. Yang lebih penting sekarang adalah memastikan Mingyu tidak membuat kekacauan selama kehamilan Yeon Ji."
Wang He tampak ingin berkata sesuatu, tetapi ia menahan diri. Ia tahu bahwa tidak ada keputusan Do Hyun yang diambil tanpa pertimbangan matang, meski terlihat berlawanan dengan logika.
kakek yg egois dan berhati iblis...bagaimana jika cucux benci yeon ji berubah menjadi bucin...