Setelah bangun dari koma karena percobaan bunuh diri, aku terkejut karena statusku menjadi menikah. Ternyata sebuah rahasia yang disembunyikan suamiku bahwa dia seorang profesional pembunuh bayaran.
Aku tak menyangka lelaki yang ku ketahui sebagai Vice President adalah anggota elite organisasi hitam yang menjadi buronan negara.
Teror demi teror datang. Beberapa pihak punya rencana jahat untuk menyingkirkan ku demi harta dan cinta, termasuk ibu tiri dan adikku.
Aku bersedia menukar tubuhku pada lelaki yang menjadi suami kontrak itu untuk sebuah komitmen balas dendam kematian sang ibu.
Akankah kebenaran tentang masa lalu menghancurkan rumah tangga kami? Penuh ketegangan berbalut kisah romansa yang sensual, ikuti cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iris Prabowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mawar Berduri
Hari-hari setelah aku bangun dari koma rasanya tak damai lagi. Novel drama hidupku genrenya bergeser ke misteri. Pasti ada satu hari dalam seminggu aku dilanda cemas, panik, dan takut.
Seperti pagi ini aku menemukan paku kecil pada rice bowl yang kupesan via aplikasi. Hell yeah, aku memang order extra topping tapi ya bukan begini juga. Entah sengaja atau tidak sudah membuat nafsu makan hilang, walau sebenarnya aku lapar berat. Who knows kalau ternyata di dalamnya sudah dikasih tambahan obat berbahaya? Ah aku jadi paranoid berlebih.
Berita hilangnya Leon sudah jadi gosip mouth to mouth di kantor. Beberapa karyawan bahkan berani bertanya padaku tentang kabarnya. Dia sudah jadi mantan, aku tidak peduli apapun. Gosip-gosip berhembus ini membuatku panas dan turut penasaran juga tentang kevalidan informasinya.
Sekelebat muncul keinginan menanyakan langsung pada Luisa. Ah ada gila-gilanya juga bertanya hal sensitif, yang ada dia makin murka mungkin mengejar aku sambil membawa pisau.
"Ada masalah ya?" tanya Biru.
Aku ada janji untuk menemaninya ke toko buku. Dia ingin membeli beberapa buku untuk kado ulang tahun keponakannya. Biru memang kutu buku, saat high school dia akan mudah ditemukan di perpustakaan.
"Memang gue terlihat bermasalah ya?"
"Setiap hari"
Ucapan yang membuat aku menjitak kepalanya. Mungkin karena aku sedang tidak fokus, beberapa kali terlihat hanya menatap satu sudut dengan mulut menganga.
"Can i ask you?"
"Apa?"
"Cowok kalau menghilang tiba-tiba itu kenapa?"
Biru bereaksi 'hah?' dengan pertanyaanku.
"Ngilang ya? Banyak alasan sih mungkin dia ingin sendiri, nggak mau diganggu, dan menghindar dari sesuatu."
"Tapi berhari-hari hilang tanpa kabar wajar nggak? Bahkan pacarnya sendiri nggak dikabarin,"
"Keluarganya?"
"Nggak tahu deh,"
"Hmm... kalau cukup lama nggak ngabarin mungkin dia sengaja menghindar, atau bisa jadi..."
"Bisa jadi apa?"
"Mati"
Mati ya?
Bagaimana jika Leon memang benar-benar hilang? I mean, permanently. Dead.
"Only joking, haha" sahutnya mencubit pipiku. "Memang siapa yang hilang?"
"Pacar teman, hilang beberapa hari tanpa kabar" jawabku bohong. Tidak mungkin memberitahu kalau itu Leon, dia tahu mantanku.
"After three days with no word, it's best to report it to the cops"
Sebaiknya menutup pembahasan orang hilang, bagaimana jika fokus dengan aku dan dia saja?
Aku melewati men's wear lalu melihat ada diskon kemeja lelaki. Tiba-tiba muncul keinginan untuk beli lalu menarik Biru masuk.
Biru suka memakai polo shirt selain kemeja kerja. Tubuhnya terlihat lebih bidang, apalagi bagian otot lengan semakin menonjolkan bukit padat. Style berpakaiannya preppy old money, memakai outfit rapi dan elegan plus jam tangan mewah. Dia punya dua jam favorit, Patek Philippe Calatrava dan Omega Seamaster Aqua Terra. Tapi kalau sekedar kantor cukup pakai Tissot Le Locle.
"Choose one!"
Aku menunjukkan dua polo shirt padanya. Fred Perry twin tipped warna biru dan hijau. Dia menunjuk warna biru.
"Oke green aja. Jarang juga gue lihat lo pake warna hijau"
Lelaki itu menggelengkan kepala lalu menelusuri display lainnya. Melihat koleksi jaket membuat aku ingat Kin. Sebuah high neck track-suit jacket berwarna hijau dan navy. Benchill jacket.
Beda jiwa beda karakter walau sama-sama lelaki. Kin style nya lebih casual, lebih sering menggunakan kaos dan celana. Kadang chino, jeans, atau jogger. Dia tidak suka pakai barang mewah selain kepentingan bisnis. Jadi jangan heran jika melihatnya di kantor style nya old money ala sugar daddy, lepas pulang hanya seperti abang-abang biasa bergaya streetwear.
Biru sempat bertanya untuk apa beli jaket, cepat aku menjawab 'untuk papa' walau sepertinya dia tidak yakin. Dia hanya mengangguk lalu berterima kasih karena aku mentraktirnya polo shirt.
Kadang aku berpikir, are we couple or what? Dia selalu baik, perhatian, dan setiap jalan selalu menggenggam tanganku. Jujur aku takut terjebak lagi dalam friendzone seperti dulu, sudah menyatakan perasaan tapi ditangkisnya dengan jawaban tidak mau pacaran. Huh?
"Kea, close your eyes. Can i take your hand?"
Sebelum pulang dia menyuruhku menutup mata. Biru mengambil tangan kiriku, lalu memasangkan sesuatu seperti bracelet.
"Okay, open!"
Sebuah bracelet melingkar di pergelangan tangan kanan. Titanium bracelet dengan ruby merah. Mendadak hatiku berbunga, spontan reflek memeluknya.
"Thanks, mabiu..."
"Always for you," jawabnya sambil menyisir helai rambut teruraiku dengan jarinya. "Aw, you're blushing like rose"
"Dont staring at me like that, huh!"
Dia mencubit pipiku gemas
***
Pulang dengan membawa rose bouquet. Ini kali pertama aku nekat membiarkan Biru mengantarku di depan rumah pribadi, bukan rumah papa. Aku masih takut menghadapi amarah Luisa jika melihat batang hidungku. Tapi aku juga belum siap jika dua lelaki ini bentrok bertemu.
Memasuki rumah dengan pelan, mengendap-endap seperti maling. Lampu utama sudah padam biasanya sih tanda kalau Kin sudah masuk ke kamar. Lampu kamarnya menyala dan ada suara musik, oke aku bisa memanfaatkan ini untuk cepat berlari ke kamar sebelum dia sadar ada perempuan masuk rumah larut malam sambil menyelundupkan bouquet bunga besar.
"Ngapain?"
Fakk!!
Tiba-tiba lampu utama menyala terang menyilaukan pandangan. Sesosok makhluk berdiri di depanku dengan tangan menyandar tembok. Tatapannya flat, matanya menangkap bunga yang berusaha kusembunyikan dibalik badan.
"Just got back from a date?" tanya Kin menyambar bunga. Dia mengamati dan mencium bunga-bunga itu.
"Siapa dating? Gue? Nggak!"
"Terus ini bunga siapa? Lo beli buat gue? Not a flower person, sorry!"
"Sini ah bunganya!"
Kurebut paksa bouquet mawar di tangan Kin. Aw, sesuatu yang tajam pada bunga menggores kulitku. Rasanya sakit seperti tersilet. Bukan hanya di satu jari tapi empat jariku luka hingga berdarah.
Kin mengambil bunga yang jatuh ke lantai, matanya memperhatikan duri-duri pada tangkai. Dia tertawa renyah.
"Orang gila mana yang kasih bunga plus durinya? Ckck..."
Aku tak menjawab apapun langsung mengambil bunga itu lalu lari ke kamar.
Ini pasti hanya ketidaksengajaan, Biru mungkin tidak sadar kalau bunga mawar yang diberikan untukku sebagian masih ada durinya. Lebih baik aku cepat mengobati luka ini dengan plester.
***