Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Sementara di kediaman keluarga Dirgantara, suasana pagi berjalan seperti biasa. Di ruang makan, Nayya dengan telaten melayani suaminya di meja makan, sebelum pria itu berangkat ke kantor.
Beberapa hari ini, Keyvan disibukkan dengan urusan perusahaan cabang yang mengalami sedikit masalah. Namun, meskipun lelah, ia tetap menikmati sarapan buatan istrinya dengan santai.
Saat melihat suaminya dalam keadaan baik, Nayya akhirnya memutuskan untuk membicarakan sesuatu yang mengganggunya sejak semalam.
"Sayang, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ujarnya sambil menuangkan teh ke dalam cangkir Keyvan.
Keyvan menoleh sebentar dengan ekspresi penasaran. "Apa? Kau ingin berbelanja? Berapa yang kau butuhkan, sayang?" tanyanya dengan nada santai.
Nayya mendengus pelan, sedikit kesal dengan respons suaminya yang selalu berpikir bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan uang. "Bukan itu," sahutnya. "Ini tentang Keynan."
Keyvan mengangkat alisnya. "Memangnya, dia kenapa?"
Nayya menarik napas sebelum melanjutkan. "Semalam, dia pulang bersama Axeline dan seorang wanita bernama Agnes."
Keyvan menghentikan gerakannya sejenak, seolah mencoba mengingat siapa yang dimaksud Nayya. Ia tetap diam, menunggu istrinya melanjutkan.
"Keynan bilang, Agnes hanya teman. Tapi, yang aku lihat, sepertinya tidak seperti itu," tambah Nayya pelan.
Keyvan akhirnya bersandar santai di kursinya. "Apa maksudmu? Kau pikir dia kekasih Keynan?" tanyanya dengan nada ringan.
"Tadinya aku berpikir begitu," jawab Nayya. "Mereka terus berpegangan tangan dan terlihat dekat. Tapi Keynan menyangkalnya dan ..." Ucapan Nayya menggantung di udara. Pikirannya kembali pada momen saat Keynan menatap Axeline. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak seharusnya ada dalam hubungan saudara.
Keyvan mengernyit, merasa istrinya terlalu lama terdiam. "Dan apa?" desaknya.
Nayya menelan ludah, ragu sejenak sebelum akhirnya kembali berkata, "aku merasa aneh dengan cara Keynan saat menatap Axeline. Mereka seperti mempunyai hubungan."
Keyvan tertawa kecil, seolah menertawakan sesuatu yang tidak masuk akal. "Mereka saudara, tentu saja mereka mempunyai hubungan," ucapnya ringan.
"Tidak, Van. Bukan seperti itu," bantah Nayya, suaranya sedikit lebih tegas. "Tapi ..."
Keyvan hanya menggelengkan kepala, menolak terlalu memikirkan ucapan istrinya. "Sudahlah, sayang. Jangan terlalu dipikirkan," ujarnya, meletakkan peralatan makannya sebelum mengusap bibir dengan serbet.
"Aku sudah selesai. Aku berangkat dulu." Ia kemudian mengecup singkat bibir Nayya sebelum berdiri dan berjalan meninggalkan ruang makan.
Nayya hanya bisa menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, sementara hatinya diliputi rasa cemas.
"Tapi, yang aku lihat ... Keynan seperti mempunyai hubungan spesial dengan Axeline," gumamnya lirih, dengan perasaan tidak nyaman yang menguasai hatinya.
Sementara itu, di dalam mobil, keduanya diam setelah adegan ciuman itu. Tidak ada yang berbicara, hanya suara napas yang terdengar samar di antara mereka. Hingga akhirnya, Keynan membuka suara. Suaranya terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.
"Maaf," ucapnya.
Axeline tersenyum sinis, lalu memalingkan wajah ke luar jendela, enggan menatap pria di sampingnya. Hatinya sudah cukup lelah untuk berharap sesuatu yang tidak pasti.
"Selalu begitu," ujarnya dingin. "Sama seperti saat kau merenggut kesucianku, kau juga mengatakan hal yang sama."
Keynan mengepalkan tangannya, merasakan hantaman keras di dadanya. Bagaimanapun ia ingin menyangkal, kenyataannya memang begitu. Kesalahan yang ia buat tidak bisa dihapus, dan ia tahu Axeline terluka lebih dalam daripada yang terlihat di luar.
Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Axeline sudah melanjutkan, suaranya bergetar meski ia berusaha tetap tegar.
"Aku mencoba memaklumi itu, walaupun menyakitkan. Aku tahu kau tidak sadar saat itu karena pengaruh alkohol. Tapi sekarang ..." Axeline menarik napas dalam, mencoba mengendalikan gejolak emosinya. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia menahannya untuk jatuh. Lalu, dengan mata yang penuh luka, ia menoleh menatap Keynan.
"Seperti yang kau katakan sebelumnya, kita ini saudara. Jadi, aku mohon, berhenti melakukan hal ini padaku."
Kecewa? Tentu saja. Bukan hanya karena apa yang Keynan lakukan, tapi juga karena sikap pria itu setelah semuanya terjadi.
"Axeline, aku ..."
"Cukup, Kak!" potong Axeline tajam, membuat Keynan terdiam.
Axeline menatapnya dalam, mencari sesuatu, entah harapan atau jawaban di mata pria itu. Tapi yang ia temukan hanyalah rasa bingung dan ketidakpastian.
"Awalnya aku bingung, kenapa kau mendiamkanku dan bersikap dingin padaku? Tapi sekarang aku mengerti." Axeline tersenyum miris. "Aku tidak akan mengungkit apa yang terjadi di antara kita. Aku juga tidak akan meminta pertanggungjawaban mu. Tapi, aku mohon, menjauh lah dariku. Itu akan sangat membantuku melupakan semuanya." Axeline menelan ludah, menahan sesak di dadanya sebelum melanjutkan, "Lagipula, Kakak juga harus menjaga perasaan Kak Agnes dan ..."
"Sudah aku katakan, dia bukan ... "
"Aku tidak peduli," sela Axeline cepat. Tatapannya berkabut, dan air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh, memburam kan pandangannya.
"Aku benar-benar tidak peduli. Jadi, jangan ganggu aku lagi." Tanpa menunggu reaksi dari Keynan, Axeline membuka pintu mobil dan turun. Ia melangkah pergi begitu saja, mengusap kasar air matanya yang terus mengalir, meninggalkan pria itu yang masih terpaku di tempatnya.
Keynan hanya bisa menatap punggung Axeline yang semakin menjauh, hatinya terasa semakin berat seiring langkah wanita itu. Tangannya masih terkepal di atas kemudi dengan rahang yang mengeras.
"Brengsek," umpatnya pelan, menekan kemudi dengan frustrasi.
"Apa yang sudah kau lakukan, Keynan? Kenapa kau terus menyakiti Axeline?" Keynan merasa marah dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menahan dirinya. Walaupun, apa yang ia lakukan karena rasa cintanya, tapi ia tidak mungkin mengatakannya.
Keynan menghela napas panjang, mencoba meredam emosi yang berkecamuk di dadanya. Kata-kata Axeline terus terngiang di telinganya
"Kau pengecut, Keynan. Kau pengecut." Keynan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, matanya terpejam, namun pikirannya terus berputar tanpa henti. Jika saja keadaan berbeda, jika saja mereka bukan saudara, tentu ia akan dengan senang hati bertanggung jawab atas semua yang telah terjadi. Tapi kenyataannya, mereka terikat oleh hubungan darah, sesuatu yang tidak bisa diubah begitu saja.
Jika mereka nekat bersama, apakah Axeline bisa bertahan menghadapi hujatan orang lain? Apakah ia sendiri sanggup melihat wanita itu tersakiti hanya karena perasaannya yang terlarang?
"Aku menginginkanmu, tapi itu tidak mungkin. Itu sebabnya, kita harus saling menjauh," lirihnya dengan suara yang dipenuhi kepedihan. "Tapi aku tidak bisa, Axeline. Aku tidak bisa."
Keynan masih di sana, duduk diam dalam kesunyian, menatap ke arah di mana Axeline menghilang dari pandangannya. Hatinya kacau, pikirannya berantakan.
Namun, di antara kekacauan yang ia rasakan, ada satu hal yang tiba-tiba muncul semakin kuat dalam dirinya.
Tatapannya berubah tajam, penuh tekad yang semakin dalam.
"Tidak," gumamnya. Kini, suaranya terdengar lebih mantap. "Semua belum pasti jika kita belum mencoba."