Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Ferdi sudah berangkat kerja sejak pagi. Di rumah, suasana terasa sunyi. Sinta memilih mengurung diri di kamar. Tidak ada kegiatan yang berarti, hanya memandangi langit-langit dan memainkan ponselnya. Kadang, rasa lapar atau haus memaksanya keluar kamar, tetapi langkahnya selalu terukur, nyaris tanpa suara.
Ketika berpapasan dengan Amara di ruang tengah, Sinta memasang wajah dingin. Pandangannya lurus ke depan, tidak sedikit pun memperhatikan kakak iparnya itu. Sikapnya seolah Amara adalah udara kosong, keberadaannya tidak berarti.
Amara, yang sedang memeriksa beberapa berkas di tangannya, mendongak. Dia memperhatikan Sinta yang berjalan melewatinya begitu saja tanpa sepatah kata pun. Helaan napasnya terdengar pelan, tetapi cukup untuk menandakan kekesalannya.
Langkah Amara terhenti. Dia tidak menoleh, hanya berdiri membelakangi Sinta. Dengan suara yang tegas namun tetap tenang, dia berkata,
"Jadi, ini topengmu, Sinta?"
Sinta terdiam, tidak segera menjawab. Namun, alisnya sedikit terangkat, menunjukkan keterkejutannya atas kata-kata itu.
Amara melanjutkan tanpa menunggu respons, "Tenang saja, aku tidak akan merebut kakakmu. Tapi, asal kamu tahu, kewajibannya sekarang adalah aku. Bukan kamu."
Tanpa menunggu reaksi dari Sinta, Amara melangkah pergi, meninggalkan ruangan. Tapi kata-kata itu, seperti pisau tajam, menancap di hati Sinta.
Sinta mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Dalam hati, dia bergumam, "Aku tidak akan diam saja. Kita lihat siapa yang menang di akhir."
Amara berdiri di dapur, apron melilit pinggangnya, tangannya sibuk menyiapkan makan malam untuk Ferdi. Aroma tumisan bawang memenuhi ruangan, namun pikirannya jauh melayang. Hatinya terasa sesak, bukan karena lelah fisik, tapi karena emosi yang selama ini terpendam.
“Kenapa aku harus takut? Ini rumahku, hakku. Bahkan Ferdi adalah suamiku, tanggung jawabku, bukan tanggung jawab Sinta,” pikir Amara dengan gemas. Ia meletakkan spatula ke meja dan menatap kosong ke depan.
Selama ini, ia mencoba menahan diri. Bersikap baik, mengerti keadaan, dan mencoba beradaptasi dengan kehadiran Sinta, adik Ferdi, di rumah mereka. Tapi semua usahanya terasa sia-sia. Sinta hanya diam di kamar, keluar hanya untuk makan, dan ketika bertemu dengannya, gadis itu selalu memperlakukannya seperti orang asing.
Amara sudah cukup sabar, tapi kali ini tidak lagi.
Tangannya mulai gemetar ketika mengaduk sup di panci. Air matanya sempat menggenang di sudut mata, namun dengan cepat ia menghapusnya. “Tidak. Aku tidak boleh lemah. Aku juga punya hak di rumah ini.”
Ketika makanan hampir selesai, Amara memandang meja makan yang telah ia tata rapi. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Ferdi harus tahu, aku muak dengan semua ini. Aku akan mulai menghargai orang yang menghargai aku saja. Kalau Sinta ingin tetap seperti ini, biar dia tahu bahwa aku tidak akan tunduk padanya,” gumam Amara dengan nada tegas.
Ketukan pintu depan terdengar. Amara langsung menoleh ke arah suara itu. Bibirnya mengulas senyuman tipis. Ferdi sudah pulang.
“Saatnya aku memperjelas semuanya,” batinnya sambil melangkah keluar dapur untuk menyambut suaminya.
Amara menyambut Ferdi dengan senyum hangat ketika suaminya baru saja pulang kerja. "Mas, mandi dulu ya, biar segar. Aku sudah siapkan makan malam," ucapnya lembut. Ferdi mengangguk, melepas jasnya, dan menuju kamar mandi.
Sementara Ferdi membersihkan diri, Amara duduk di ruang makan, menunggu dengan tenang. Pikirannya melayang, membayangkan bagaimana ia akan menyampaikan uneg-unegnya. Ketika Ferdi akhirnya muncul, ia tampak segar dengan pakaian santainya.
"Mas, sini duduk. Aku sudah siapkan makanan kesukaanmu," kata Amara sambil tersenyum kecil.
Ferdi duduk di kursi, siap menyantap makanan yang terlihat begitu menggugah selera. Namun, sebelum mengambil suapan pertama, ia menoleh ke Amara.
"Sinta mana? Kok nggak ikut makan?" tanyanya heran.
Amara mengangkat alis, lalu terkekeh pelan. "Dia tidur, Mas."
Ferdi tampak kaget mendengar jawaban itu. "Tidur? Bukannya dia biasanya bantu kamu masak atau beres-beres rumah?" tanyanya lagi dengan nada tak percaya.
Mendengar itu, Amara tak bisa menahan diri. Ia tertawa terbahak-bahak, sampai matanya berkaca-kaca. Ferdi hanya menatapnya bingung, merasa ada sesuatu yang terlewatkan.
"Mas, ucapanmu lucu sekali," kata Amara sambil menghapus air mata tawanya. "Aku yang masak, mencuci, dan membereskan rumah. Semuanya aku kerjakan sendiri. Kalau rumah rapi, itu karena aku. Kalau makanan ada di meja, itu juga aku. Sinta? Dia cuma tidur, makan, dan tidur lagi."
Ferdi terdiam sejenak, tampak mencerna perkataan istrinya. "Tapi… dia nggak pernah bilang begitu," ucapnya pelan.
"Tentu saja nggak bilang, Mas. Kalau dia jujur, apa dia masih bisa tidur nyenyak sepanjang hari?" balas Amara dengan nada santai. "Aku nggak pernah protes, karena kupikir, dia butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Tapi kalau Mas masih berpikir dia rajin membantu, aku rasa itu cuma khayalan."
Ferdi merasa bersalah mendengar penjelasan itu. Ia menyadari selama ini, ia terlalu percaya pada adiknya tanpa benar-benar melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Maaf ya, Dek. Aku nggak tahu kalau kamu sudah kerja keras sendirian. Aku janji, nanti kita bicara dengan Sinta soal ini."
Amara tersenyum tipis, merasa lega akhirnya bisa mengungkapkan semuanya. "Aku nggak minta banyak, Mas. Aku cuma ingin dihargai. Kalau Sinta tinggal di sini, dia juga harus tahu batasannya."
Ferdi mengangguk mantap. Malam itu, di tengah obrolan hangat mereka, Amara merasa sedikit lebih dihargai sebagai istri, meskipun masih ada tantangan yang harus mereka selesaikan bersama.
Setelah Ferdi selesai makan, terdengar suara langkah kaki malas dari arah kamar. Sinta muncul dengan wajah khas bangun tidur, rambutnya berantakan, dan mata setengah terpejam. Ia berjalan tanpa ekspresi menuju meja makan.
Ferdi menatap adiknya dengan dingin, pandangannya penuh arti. Namun, Sinta tampaknya tidak peduli. Ia mengambil piring dan langsung menyendok nasi serta lauk, mulai makan tanpa menghiraukan keberadaan Amara dan Ferdi di meja itu.
Amara melirik ke arah Ferdi, memberanikan diri untuk memberi tanda melalui matanya. Ferdi mengerti maksud istrinya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka suara.
"Setelah selesai makan, temui Kakak di ruang tamu, Sinta," ujar Ferdi tegas.
Sinta, yang tengah mengunyah, hanya mengangguk tanpa menjawab. Mulutnya penuh dengan nasi, dan ia tak mau repot-repot mengucapkan sepatah kata pun.
Amara tetap tenang, meskipun hatinya mendidih melihat sikap adik iparnya. Ia tahu, apa pun yang Ferdi katakan nanti, Sinta pasti akan menyalahkannya.
Setelah beberapa menit berlalu, Sinta akhirnya selesai makan. Dengan malas, ia membawa piringnya ke dapur, membilasnya asal-asalan, lalu berjalan ke ruang tamu di mana Ferdi sudah menunggu.
"Ada apa, Kak? Mau ngomong apa?" tanyanya dengan nada tidak sabar, sambil melipat tangan di depan dada.
Ferdi menatapnya tajam, tidak seperti biasanya. "Kakak mau bicara soal tanggung jawab kamu di rumah ini. Kamu tinggal di sini bukan berarti kamu bisa santai-santai terus. Amara sudah cukup lelah mengurus semuanya sendirian. Kamu ini adik Kakak, tapi kamu juga punya kewajiban untuk membantu."
Sinta terdiam, tidak menyangka akan ditegur. Rasa kesal mulai merayap dalam dirinya. Namun, ia mencoba menahan emosinya.
"Oh, jadi ini karena dia, ya? Karena Kakak Amara, makanya aku ditegur?" jawab Sinta dengan nada tinggi, sambil menunjuk ke arah dapur.
Ferdi menggeleng, suaranya tetap tenang namun tegas. "Ini bukan soal Amara. Ini soal kamu. Kamu sudah dewasa, Sinta. Jangan egois. Semua orang di rumah ini punya tanggung jawab. Kalau kamu tinggal di sini, kamu harus menghormati aturan."
Sinta menggertakkan giginya, menahan amarah. Dalam hatinya, ia semakin membenci Amara. Baginya, ini semua adalah permainan Amara untuk menjatuhkannya di depan kakaknya. "Baik, Kak. Aku mengerti," ucapnya dingin, lalu beranjak pergi ke kamarnya.
Namun, dalam pikirannya, Sinta sudah memutuskan satu hal: Amara adalah saingannya. Dan ia tidak akan membiarkan Amara menang begitu saja.