Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nara Terkejut
Penjara bawah tanah.
Setelah kabar tewasnya Junto sebelum dieksekusi menggema di seluruh istana, suasana jadi tegang dan penuh tanda tanya. Semua tokoh Istana berbondong-bondong menuju penjara bawah tanah. Sedangkan Raze tertahan oleh hukuman yang menimpanya, hingga ia tidak bisa melihat jasad Junto sang mantan kaki tangan.
Pintu penjara bawah tanah yang berat itu dibuka dengan gemuruh, mengeluarkan bau lembab yang khas. Udara di dalam terasa dingin meski ada kobaran obor di sepanjang dinding.
Di tengah keremangan, para tokoh utama berkumpul. Nara dan Arven mungkin datang bersama dengan ekspresi serius. Nara tetap terlihat fokus, meski hatinya merasakan ada yang aneh di balik semua ini. Raja dan beberapa pejabat tinggi kerajaan ikut serta, termasuk Ratu Baily juga turut hadir di sisi sang Raja.
Mereka sibuk menerka-nerka apa yang terjadi dan juga berusaha menganalisa, tetapi Raja Veghour dan Kasim lebih sibuk memperhatikan ekspresi dari orang-orang yang hadir di sana.
Begitu sampai di ruang sel, mata mereka langsung tertuju pada tubuh Junto yang terbaring di atas lantai batu dingin. Keadaannya begitu sempurna, hampir tidak ada yang terlihat janggal. Posisi tubuh Junto seperti orang yang sedang tertidur. Tidak ada darah yang mengalir, tidak ada luka yang terlihat mencolok, dan tidak ada tanda keracunan, seolah itu telah menjelaskan kalau Junto mati dengan cara yang terlalu bersih.
Nara yang selalu teliti, mulai mengamati ruangan di sekitar Junto. Tidak ada tanda-tanda pemberontakan yang ditangkap olehnya. Namun, lain cerita dengan Arven dan Raja Veghour yang mengeryitkan dahi. Kedua orang itu tahu sesuatu karena dapat membaca energi. Energi Ratu Baily lah yang terkahir kali ada di sana, selain energi dari para penjaga penjara.
Baik sang Raja maupun Arven, mereka memyimpan penemuan ini untuk dirinya sendiri. Redaksi Arven yang sedari awal tak suka Baily, menjadi semakin membenci. Sedangkan Raja Veghour berusaha menepis, tetapi itulah kenyataannya. Dia sangat menyayangkan kelembutan hati Baily selama ini, jika memang nanti terbukti bahwa benar dialah yang menjadi dalangnya.
Lalu, Raja yang melihat ekspresi sang Ratu menjadi risau, berusaha menenangkan dirinya dengan berpura-pura yakin bahwa ini hanyalah kasus bunuh diri, meski ada sesuatu yang tak dapat ia jelaskan.
Di antara ketegangan itu, Kasim yang berdiri di sisi Raja mengamati dengan wajah yang tenang, namun ada sedikit kerutan di dahinya yang menandakan bahwa dia membaca ketidaknyamanan yang dirasakan Raja Veghour.
"Maf Yang Mulia, apakah Yang Mulia baik-baik saja? Sepertinya anda butuh istirahat, atau mungkin saya siapkan pertemuan jika ada yang ingin dibahas." Bisik Kasim kepada sang Raja.
"Aku butuh berbicara denganmu secara privat."
"Baik Yang mulia."
...****...
Ratu Baily melangkah dengan cepat keluar dari penjara bawah tanah. Ia tak menoleh lagi ke belakang, meskipun bayangan jasad Junto yang terbaring begitu tenang terus mengikuti setiap langkahnya.
Baily kemudian termenung, duduk sambil menatap cermin besar yang ada di depannya. Ia terlihat gusar, kentara sekali ada sesuatu yang sedang ia pikirkan, atau ada juga sesuatu yang mengancam. Bibirnya terlihat bergetar dengan wajah yang pucat, lama-lama, air mata jatuh membasahi pipi mulusnya.
Ratu Baily duduk di tepi tempat tidur dengan air mata yang perlahan mulai mengering. Ketegangan di dalam dirinya belum juga reda, dan meskipun kamar itu terasa sunyi, hatinya tidak bisa menenangkan diri.
Setelah beberapa saat, ia segera memanggil Elira, sang pelayan pribadi. Mereka terlibat obrolan, dimana Baily meminta Elira untuk melakukan sesuatu untuknya secara diam-diam.
Begitu pelayan itu pergi, Baily kembali duduk di tepi tempat tidur, menatap ruangannya yang hening.
...***...
Sementara itu,
Setelah kembali dari penjara bawah tanah, akhirnya Nara kembali berbincang berdua dengan Arven ditempat seperti biasanya. Nara menatap Arven dengan hati yang berdebar. Keheningan di antara mereka semakin terasa pekat, seperti kabut yang menutupi jalan di depan mereka. " Pangeran Arven," ujarnya pelan, suaranya hampir terselip dalam bisikan angin.
"Aku ingin menyusuri kamar Ratu Athera. Kunci ruang itu ada padamu, bukan?"
Arven menoleh.
"Tentu," jawabnya dengan senyum tipis. "Aku selalu menutup rapat kamar milik ibu. Dan jika kau ingin kesana, itu artinya terbuka kembali setelah tertutup lama." Arven melangkah maju, lalu menyerahkan kunci itu kepada Nara dengan tangan yang sedikit ragu. Dia menyadari ada sesuatu yang berbeda dalam cara Nara memandangnya.
Nara menerima kunci itu dengan tangan yang gemetar. Kunci itu berat, seperti simbol beban yang harus ia pikul dalam pencarian kebenaran. Ada kesunyian lagi di antara mereka, kali ini lebih terasa panjang. Nara menatap kunci di tangannya, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan melihat Arven.
"Terima kasih," katanya pelan, meski kata itu terasa seperti jarak yang semakin besar. Arven hanya mengangguk, tanpa mengetahui bahwa ada banyak hal yang tak terucapkan di antara mereka, hal-hal yang mulai membangun dinding tak kasat mata di antara mereka.
Nara melangkah hati-hati di dalam kamar milik Ratu Athera. Suasana di dalam kamar itu terasa sepi, seperti menyimpan banyak cerita yang belum terungkap. Ruangan itu dipenuhi dengan furnitur elegan, juga ada sesuatu yang seolah mengundang rasa di sudut kamar. Beberapa benda antik teronggok dengan rapi, seperti patung marmer yang tampak terjaga dengan baik. Pemandangan dari jendela besar menghadap ke taman yang tenang, menyempurnakan kesan mistis dari ruang itu. Nara terus menyusuri ruangan dengan penuh minat yang tinggi.
Matanya berkeliling, menelaah tiap detail yang mungkin bisa memberi petunjuk lebih tentang kehidupan Ratu Athera. Ia memperhatikan meja kecil di dekat jendela, di mana sebuah buku besar terbuka. Buku itu tampak seperti catatan pribadi milik sang Ratu. Namun, Nara tidak menyentuhnya, pikirannya lebih tertarik pada sesuatu yang lebih menonjol di dekat tempat tidur. Ada sebuah lukisan besar yang terbalut kain tebal, menutupi seluruh permukaan kanvasnya.
Dengan rasa ingin tahu yang semakin mendalam, Nara melangkah mendekat. "Apa itu?" tanyanya tanpa berniat membangunkan kesan aneh dalam dirinya.
Pangeran Arven yang berdiri tidak jauh darinya, akhirnya menjawab dengan nada tenang. "Itu adalah lukisan ibuku, Ratu Athera." Nara terdiam beberapa detik, mencerna informasi itu.
Penasaran yang menggebu-gebu, Nara tak bisa menahan keinginannya untuk melihat lebih dekat. "Bolehkah aku membuka kain penutupnya?" ia meminta ijin kepada Arven. Matanya berbinar dengan rasa ingin tahu yang tak terbendung.
Arven memandang Nara sejenak, ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk memberi izin. Nara dengan hati-hati menarik kain penutup itu, dan...jantungnya berdebar hebat. Begitu kain itu terangkat, sebuah wajah wanita tak asing yang nampak dalam lukisan itu. Seketika Nara merasa jantung miliknya ingin melompat keluar.
Nara membekap mulutnya seraya mundur beberapa langkah. Ia terkejut bukan main dengan sosok Ratu Athera yang... mirip sekali dengan seseorang di dunia nyata yang ia tinggali.
Jadi... jadi ini alasan terkuat, aku masuk ke dunia bayangan ini.
Wajah ratu Athera mirip sekali dengan client di dunia nyata yang ia bantu. Namun, Nara gagal memaksimalkan perjuangan sehingga client tersebut meregang nyawa. Padahal Nara yakin, beliau hanya korban yang berusaha membela diri. Sejak saat itu, Nara selalu kepikiran dan mengkritik dirinya sendiri payah dan selalu merasa ada yang kurang meskipun dia berhasil dalam sebuah kasus.
.
.
Bersambung.