Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri Baru Tenebris Arcanum
“Icicle Spear!” seru Kaito dengan penuh semangat. Tombak-tombak es yang ia lemparkan melesat cepat, seperti kilatan cahaya, menuju lawannya yang terus menghindar dengan lincah. Serangan itu menghantam tanah, meninggalkan jejak beku di setiap tempat yang dilalui. Namun, tak satu pun mengenai target.
“Siapa kau? Dan apa maumu?” tanya Kaito dengan nada tajam sambil meluncurkan tombak es tambahan, mencoba menghentikan pergerakan lawannya.
“Nanti kau akan tahu sendiri,” jawab lawannya dengan santai, tak menunjukkan sedikit pun niat untuk membalas serangan Kaito. Ia terus menghindar, seolah sedang mengukur kemampuan Kaito.
Kaito mendengus, merasa dipermainkan. Tombak esnya berhenti dilempar, dan ia memutuskan untuk menghemat mana. Dengan gerakan cepat, Kaito melompat maju, menerjang lawannya untuk bertarung dalam jarak dekat. “Ice Fang!” serunya. Taring es berbentuk pedang muncul di tangannya, tajam dan berkilauan seperti kristal, siap menebas lawan.
“Hooo, kau cukup terampil juga rupanya,” kata lawannya sambil mengeluarkan belati pendek untuk menangkis serangan Kaito. Dentingan logam dan es memenuhi udara. “Ayo, serang aku lebih serius lagi,” ejeknya sambil tetap bertahan, tanpa memberikan serangan balik.
Kaito menghentikan serangannya dan mundur beberapa langkah. Ia memandang lawannya dengan penuh rasa curiga. “Jika kau tidak ingin bertarung sungguhan dan juga tidak mau memberikan informasi, aku lebih baik pergi mencari teman-temanku,” ucap Kaito dengan nada dingin. Ia berbalik dan mulai berlari menembus kabut, meninggalkan lawannya.
“Oi, tunggu! Urusan kita belum selesai!” teriak lawannya sambil mengejar.
“Berisik! Kau terlalu banyak gaya,” balas Kaito dengan tajam. Ia mengangkat tangannya, membekukan kabut di sekitarnya menjadi kristal es yang berjatuhan, membuka jalan agar ia dapat terus melarikan diri.
Lawannya mendecak kesal. “Sial, orang ini sungguh merepotkan,” gumamnya. Namun, ia mencoba trik lain. “Oi, tunggu! Aku punya informasi yang akan sangat berguna untukmu!” teriaknya, mencoba memancing perhatian Kaito.
“Sudah terlambat. Aku tidak suka orang yang banyak basa-basi,” jawab Kaito tanpa ragu. Ia terus melesat menuju tempat yang lebih tinggi, berharap bisa mengamati keadaan sekeliling.
Lawannya menggeram, kehilangan kesabaran. Dengan gerakan cepat, ia menghembuskan napas api besar yang melahap salju dan es di sekitarnya, membuat tanah menjadi licin dan mencair. Kaito sedikit terganggu, tetapi tetap melanjutkan larinya. Bola-bola api ditembakkan ke arahnya, namun Kaito menghindari setiap serangan sambil sesekali melempar tombak es ke belakang untuk memperlambat pengejarnya.
Setelah mencapai tempat yang lebih tinggi, Kaito melompat ke puncak pohon tertinggi. Dari sana, ia memindai medan. Jauh di kejauhan, terlihat kobaran api di dua titik berbeda. “Sepertinya itu Katsuya dan Sai,” pikirnya. Di sisi lain, tanah yang berhamburan menunjukkan pergerakan seseorang. “Mungkin itu Yuki.” Kilatan petir dan tembakan es terlihat di arah lain. “Tapi di mana Hiyori?” gumamnya sambil menganalisis situasi.
Tiba-tiba, panas yang menyengat menyerangnya dari bawah. Pohon tempat Kaito berpijak terbakar oleh nyala api besar. Ia melompat untuk menghindari, namun di bawahnya sudah menunggu kobaran api yang berputar-putar seperti gelombang.
“Haha! Kau tidak akan lari kali ini!” ejek lawannya dengan senyum sinis.
“Frozen Tempest!” Kaito berteriak, menciptakan badai salju yang menderu-deru, membekukan area di sekitarnya. Kobaran api dan badai es bertabrakan, menciptakan ledakan uap yang memenuhi udara.
Pertempuran dimulai. Kaito menciptakan pijakan-pijakan es di udara, melompat dengan lincah untuk menghindari kobaran api musuhnya. Lawannya, meski kesulitan bergerak karena suhu ekstrem, tetap mencoba menyerang dengan belatinya yang memerah akibat panas.
Dentingan antara taring es Kaito dan belati musuhnya terdengar nyaring di tengah badai. Setiap kali lawannya menciptakan api, Kaito segera memadamkannya dengan semburan air beku. Udara dingin yang menusuk tulang membuat lawannya semakin kesulitan bergerak, sementara Kaito tetap lincah di udara.
“Cukup sudah,” kata Kaito, nadanya dingin. “Jika kau ingin serius, aku akan menunjukkan keseriusanku.” Dengan gerakan cepat, ia meluncur ke udara, menciptakan taring es yang lebih panjang dan tajam. Ia melancarkan serangan bertubi-tubi, membuat lawannya terpojok.
“Aku tidak akan kalah dari anak kecil sepertimu!” teriak lawannya, mencoba menahan serangan Kaito.
Namun badai es yang semakin kuat membuat lawannya melemah. Kobaran apinya mulai padam, dan gerakannya semakin melambat. Kaito berdiri di udara dengan pijakan es, memandang musuhnya dengan tatapan dingin.
“Berhenti mempermainkanku. Jika kau tidak punya alasan untuk bertarung, aku akan mengakhirinya di sini.” Kaito mengangkat taring esnya yang bersinar tajam di bawah kilauan badai, bersiap memberikan serangan terakhir.
Dengan kekuatan penuh, Kaito melesat bagaikan kilat menuju lawannya. Ia menebaskan taring esnya dengan kekuatan penuh, setiap ayunan menciptakan suara mendesing di tengah badai yang membeku. Namun, lawannya yang terpojok tak tinggal diam. Ia memanggil kekuatan api yang sangat besar, kobaran yang begitu panas hingga udara di sekitarnya bergetar. Api tersebut menghantam taring es Kaito, melelehkannya dalam sekejap dan memaksa Kaito mundur.
"Sial," gumam Kaito, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Badai es yang ia ciptakan mulai kehilangan cengkeramannya. Salju yang sebelumnya menutupi medan pertarungan kini meleleh menjadi genangan air. Udara dingin mulai berubah menjadi hangat, semakin panas seiring kobaran api lawannya yang terus menyala.
Namun, si pengendali api itu tampak kelelahan. Nafasnya terengah-engah, wajahnya basah oleh keringat. "Aku akan mengakhiri ini sekarang," katanya dengan suara serak, memusatkan seluruh mana yang tersisa. Dua belati api muncul di tangannya, menyala dengan intensitas yang luar biasa, memancarkan cahaya menyilaukan di tengah kabut sisa badai es.
Ia melesat maju, kobaran api di belatinya menggores udara, menghasilkan semburan panas yang memecah kebekuan di sekitarnya. Setiap langkahnya mendekatkan dirinya ke Kaito, hingga akhirnya ia berada tepat di depan sang pengendali es, siap mengakhiri pertarungan ini dengan satu serangan mematikan.
Namun, Kaito tidak bergeming. Dengan ketenangan yang mencengangkan, ia mengangkat tangan sambil mengeluarkan jurus andalannya, "Water Element: Aqua Dragon Technique."
Dari genangan air yang sebelumnya terbentuk akibat es yang meleleh, seekor naga besar muncul, berputar-putar di sekitar Kaito. Tubuh naga air itu bersinar dengan biru yang menakutkan, menciptakan tekanan yang luar biasa. Lawannya terkejut, tak sempat menghindar ketika naga itu menghantamnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Ia terlempar beberapa meter, api di belatinya padam seketika.
"Kau hanya bisa melelehkan es, bukan berarti kau bisa menghancurkan air," kata Kaito dingin. Ia melangkah maju, tatapannya penuh penghinaan.
Lawannya bangkit dengan susah payah, tubuhnya basah kuyup dan gemetaran. "Kau sombong, tapi aku belum kalah!" Dengan tekad terakhir, ia berusaha memanggil api sekali lagi. Memusatkan mananya ke suatu titik dan menciptakan api yang sangat panas dan padat, namun Kaito memotong niat itu dengan satu kalimat yang menghantam mentalnya: "Jika kau belum menguasai elemen magma, apimu bukan tandingan esku."
Kaito mencoba menggunakan suatu jurus yang telah ia latih selama ini, suatu jurus yang menggunakan mana yang cukup banyak.
"Domain Expansion: Absolute Zero" dalam sekejap, dunia di sekitar mereka membeku. Api yang sebelumnya berkobar padam dalam satu hembusan dingin yang menusuk. Pohon, tanah, bahkan udara terasa membatu oleh es yang begitu dingin hingga retakan terdengar di setiap arah. Lawannya berdiri kaku, tubuhnya tertutup lapisan es yang tebal. Nafasnya membeku, gerakannya terhenti. Hanya Kaito yang tetap bergerak bebas di tengah kehampaan es yang mutlak.
"Jika aku mau, aku bisa saja menghabisimu di sini," kata Kaito sambil menatap lawannya yang kini tak berdaya. "Namun, ada hal yang lebih penting." Dengan satu gerakan, ia mengubah naga air di sekelilingnya menjadi naga es, yang menghantam tubuh lawannya dengan kekuatan telak, membuat es di sekitarnya pecah menjadi serpihan tajam.
Tanpa membuang waktu, Kaito melompat dan mulai berlari menuju sumber benturan sihir es yang ia lihat di kejauhan. "Hiyori, aku akan menemukannya," gumamnya dalam hati, meninggalkan medan pertarungan yang kini sunyi, hanya menyisakan pecahan es dan sisa-sisa api yang telah padam.
Di sisi Yuki, meskipun tubuhnya penuh luka dan napasnya terengah-engah, ia tetap bertarung dengan gigih, mengimbangi lawannya yang sangat kuat. Setiap gerakan yang ia buat penuh dengan tekad, meski tenaganya mulai menurun. Lawannya, seorang petarung tangguh dengan elemen angin, terus menyerang dengan hembusan angin tajam yang memotong udara. Yuki menggunakan elemen tanahnya untuk menciptakan dinding perlindungan, namun tekanan serangan lawan semakin besar, membuat retakan mulai muncul di pertahanannya.
“Tidak buruk, nona. Tapi kau belum cukup kuat untuk melawanku,” ucap lawannya sambil meluncurkan serangan lain, gelombang angin yang menghancurkan dinding tanah Yuki dalam satu serangan.
Sementara itu, di sisi Katsuya dan Sai, keduanya berjuang keras menghadapi musuh dengan tubuh yang penuh luka. Bekas tusukan belati di tubuh mereka membuat gerakan menjadi lebih lambat, namun mereka terus bertarung dengan semangat pantang menyerah. Sai meluncurkan serangan api yang berputar, menciptakan pusaran panas yang mendorong lawannya mundur, begitu juga dengan Katsuya yang masih terus berjuang dengan kobaran-kobaran api membara yang sangat panas.
“Kau cukup kuat untuk membuatku terpojok,” ucap lawannya, seorang pria dengan elemen tanah yang mampu menciptakan tombak batu. “Tapi masih terlalu lemah untuk menang.”
Di sisi lain, Yusei berdiri berhadapan dengan Ryusei dan Ren. Aura ketegangan di antara mereka semakin kuat, meskipun tidak ada serangan yang dilancarkan. Ryusei, dengan sikap tenang, mencoba berbicara kepada Yusei.
“Aku tidak punya banyak waktu,” kata Ryusei dengan suara tegas. “Temanku akan segera kehabisan darah. Ia butuh pertolongan segera. Jadi, aku akan bertanya sekali lagi: apakah kau mau bergabung dengan kami?”
Yusei tetap diam. Ia menatap Ryusei dengan sorot mata penuh keraguan, pikirannya dipenuhi teori-teori dan penjelasan yang sebelumnya diungkapkan oleh lawannya.
Ryusei melanjutkan, “Dengan kekuatanmu, kita bisa menghentikan Kuroten dan pasukan iblisnya. Kita bisa mengubah dunia ini—dunia yang busuk karena sihir menjadi tempat yang lebih indah, di mana kerja keras adalah kunci segalanya. Apa yang kau katakan, Yusei Shimizu?”
Namun, Yusei tetap tidak merespons. Ia hanya menatap Ryusei dengan ragu. Tujuannya menghentikan Kuroten memang sejalan dengan tujuan Tenebris Arcanum, tetapi reputasi organisasi itu sebagai kelompok kriminal yang menculik anak-anak berbakat membuat Yusei tidak bisa mempercayainya sepenuhnya.
Ryusei menghela napas. “Mungkin sudah waktunya kita mengakhiri ini. Suatu saat, kita akan bertemu lagi. Saat itu tiba, pastikan kau sudah memiliki jawabannya.” Ia melangkah mundur, membuka portal bercahaya dengan elemen cahaya miliknya. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh kembali ke arah Yusei.
“Kau berasal dari Akademi Altais, bukan? Sudah tahun keempat. Apa kau mengenal seseorang bernama Akira?” tanyanya.
Wajah Yusei berubah tegang mendengar nama sahabatnya disebut. “Apa hubunganmu dengan Akira?” tanyanya dengan nada serius.
Ryusei tersenyum kecil. “Dari reaksimu, aku yakin kau mengenalnya. Suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi. Saat itu, aku akan menceritakan segalanya.” Dengan itu, ia dan Ren yang terluka berat menghilang ke dalam portal cahaya.
Di tempat lain, Yuki yang sudah kehabisan tenaga berdiri dengan susah payah, tubuhnya penuh luka. Lawannya tersenyum dingin. “Kau beruntung, nona. Sudah waktunya aku pergi,” ucapnya sambil melangkah menuju portal cahaya yang diciptakan Ryusei. Sebelum pergi, ia berbicara melalui alat komunikasi sihirnya, “Dia bukan kriteria yang kita cari.”
Hal yang sama terjadi pada Sai dan Katsuya. Meskipun berhasil memojokkan lawan mereka, musuh juga memilih untuk mundur melalui portal cahaya. “Mereka cukup kuat,” ujar salah satu musuh, “tapi mereka belum membangkitkan elemen magma. Mereka juga bukan kriteria yang kita cari.”
Katsuya mencoba mengejar, berteriak marah, “Hei, jangan lari! Urusan kita belum selesai!” Namun, portal sudah tertutup sebelum ia berhasil mendekat.
Di sisi lain, Hiyori yang terkapar penuh luka mendengar suara seseorang mendekat. “Sampai jumpa, nona. Kau beruntung bisa selamat. Orang-orang merepotkan akan segera datang,” ucap pria itu dingin sebelum menghilang ke dalam portal. Beberapa saat kemudian, Kaito tiba, segera menghampiri Hiyori dan menggunakan sihir penyembuhnya untuk merawat luka-lukanya.
Tak jauh dari sana, lawan Kaito yang terkapar berkomunikasi melalui alat sihir. “Maafkan aku, Tuan Ryusei. Dia adalah orang yang memenuhi kriteria, tapi aku gagal mengalahkannya,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Ryusei menjawab dari seberang komunikasi, “Tidak apa-apa. Kau boleh kembali sekarang. Berarti kita sudah memiliki dua kandidat yang memenuhi kriteria: Yusei Shimizu dan Kaito Mizuhara. Dan kita juga mendapatkan informasi penting. Sudah waktunya menjemput orang yang selama ini kita tunggu… Akira Engetsu.”
Kaito, yang baru saja menyelesaikan penyembuhan Hiyori, merasakan sesuatu yang aneh. Ia menatap ke arah pertempuran yang baru saja usai, dengan firasat buruk menggelayuti pikirannya. “Apa sebenarnya yang mereka rencanakan?” gumamnya, sebelum melanjutkan pencarian anggota tim lainnya.