kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Adiba kaget, tapi, ia ingat dengan kata-kata Satria, jika Novi lajang.
"Umi-nya Faraaz?"
"Walau Faraz tidak lahir dari rahimku, aku sudah menganggapnya sebagai anakku."
Adiba tersenyum kecil, rupanya memang ada sesuatu diantara Satria dan Novi.
"Aku akan marah jika ada yang mencoba mencelakainya seperti ini."
"Apa sebegitu bencinya mbak Novi padaku sampai terus berasumsi aku dengan sengaja menenggelamkan Faraz?" Tatapan Adiba berubah sedikit lebih tajam."Apa karena mas Satria menikahi ku dan bukan menikahi mbak Novi?"
Tangan Novi menggenggam sendok dan pinggiran piring sampai memucat.
"Kamu nggak pantas buat mas Satria," tuturnya lalu melangkah pergi.
Adiba tersenyum kecut. "Permainan monster dan korban memang menakutkan. Karena korban perlahan akan berubah menjadi monster tanpa dia sadari."
Adiba melangkah keluar dari dapur, perlahan menapaki lantai dengan gontai. Sayup terdengar suara Satria yang masih menenangkan Faraz yang tak mau makan. Suara Novi yang membujuk juga terdengar dari sana. Adiba melangkah terus dan berhenti di ambang pintu. Menyaksikan Faraz dalam pangkuan Satria, dan Novi yang menyangga piring berisi nasi dan ayam goreng, merayu Faraz agar makan.
"Aku umi-nya Faraaz." Kata-kata yang Novi ucapkan kembali terngiang di kepala Adiba. Ia menghela napas dalam, mengusir sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya.
"Sepertinya, akan makin sakit jika aku terus melihat pemandangan ini, ke kamar saja," gumamnya dalam hati. Lalu melangkah masuk ke kamarnya.
Nyai Atiyah sempat melihat menantunya itu berlalu, berganti memandang Novi yang masih merayu Faraz.
"Ayo, makan Faraz biar nggak sakit," bujuknya lembut.
"Enggak," tolak Faraz menyembunyikan wajahnya di dada Satria.
"Kamu dari siang belum makan, loh. Kasihan Abi..." bujuknya lagi.
"Makan dikit, ya, Raz." Satria ikut bersuara. Faraz menggeleng.
"Nak Novi," panggil Nyai Atiyah. Novi menoleh padanya.
"Sudah malam, nak Novi pulang saja."
"Tapi, nyai...." Novi merasa keberatan di usir halus begini.
"Enggak enak sama warga kalau nak Novi malam-malam begini masih terlihat di sini. Terima kasih atas perhatiannya buat Faraz, di sini sudah ada kami, Abi dan umi-nya Faraz juga."
Satria ikut menatap ibunya, melihat ke sekitar tak ada Adiba. Ia terlalu fokus pada Faraz sampai tak memperhatikan Adiba sama sekali.
"Iya, pulanglah, Nov. Makasih, ya."
Novi merasa sakit yang mendalam tengah meremas jantung hatinya. Satria bahkan ikut menyuruhnya pergi.
"Abi dan umi-nya Faraaz ada disini." Penuturan nyai Atiyah menggaung di kepalanya. "Gadis itu sudah mengambil segalanya dariku," pikir Novi semakin merasa tersakiti.
Ia lantas meletakkan piring diatas meja. Lalu pamit dengan senyum pahit.
"Maaf, mas Satria, Nyai, sudah membuat tidak nyaman. Aku hanya ingin membantu saja, tidak tega melihat Faraz begini karena kecerobohan Adiba," kata Novi mengusap kepala Faraz.
"Adiba memang tidak tau tentang trauma Faraz, Nov. Dia sama sekali tak ada maksud mencelakai Faraz. Anak santri yang kebetulan lewat juga melihat gimana usaha Adiba menyelamatkan Faraz," tutur nyai Atiyah yang tak ingin Adiba terus dipandang buruk.
"Tapi..." Novi berganti memandang Satria dan Faraz dalam pelukan.
Novi tersenyum kecut, Satria sepertinya juga membenarkan nyai Atiyah. Ia lantas menyalami nyai Atiyah. "Novi pulang dulu, nyai."
"Terima kasih sudah sangat perhatian pada Faraz." Nyai Atiyah tersenyum. "Ayo, kuantar kamu pulang. Ini sudah malam."
"Tidak perlu, Nyai. Rumah dekat kok, bisa pulang sama anak pondok juga." Novi menolak halus.
"Ya sudah, saya antar ke depan."
Di kamar.
Adiba duduk memeluk lututnya. "Aku tak diharapkan di sini. Aku juga sudah mencelakai Faraz, apa mas Satria nanti akan menceraikan aku?"
Adiba menghela napas pelan, "Baru sebentar, masa udah cerai?"
Adiba mendesah lagi, menyembunyikan wajahnya diantara lutut. Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Lekas Adiba mendongak, melihat di ujung sana Satria masuk dan menutup pintu.
Satria tak melihat Adiba langsung, ia melangkah ke lemari di sisi kamar. Satria sendiri merasa sangat bersalah pada Adiba karena sudah mengabaikan tadi. Ia buka pintu lemari, sembari menyusun kata untuk Adiba. Tapi, ia seperti seorang bodoh yang kehilangan semua ilmunya.
Satria membuka kemejanya yang basah karena sedari tadi memeluk Faraz yang enggan ditinggal.
Hening.
Adiba pun tak mau bersuara, membuat udara di sekitar Satria semakin menipis.
"Kamu... Udah makan?" tanyanya lirih.
"Udah."
Jawaban singkat Adiba membuat Satria kesusahan meneguk ludahnya. Satria mengganti kemeja dengan kaus hitam, memberanikan diri melihat ke arah Adiba. Gadis yang tengah duduk diatas ranjang itu rupanya juga sedang melihat padanya.
Adiba berpaling. "Faraz gimana?"
"Lagi sama umi."
"Oh."
Hening lagi. Satria melangkah mendekat.
"Maaf, aku nggak tau masalah trauma Faraz. Dia terlihat baik-baik saja waktu aku tinggal sebentar ambil handphone di teras pas mas Satria telpon tadi." Adiba mencoba menjelaskan, tapi, ia merasa percuma. "Mungkin saja pikiran mas Satria seperti mbak Novi," pikir Adiba yang tak tau jika Satria justru merasa bersalah sekali padanya.
"Kalau mas Satria mau menceraikan Adiba...."
"Kamu ngomong apa sih?" Suara Satria memotong terdengar marah.
Adiba mendongak, memandang pria yang kini sudah berdiri di sisi ranjang.
"Mbak Novi...."
"Dia udah pulang."
"Oh..." Adiba menunduk, mengganti posisi duduknya dengan bersila.
"Jangan ngomong seperti itu lagi."
"Ngomong apa?" tanya Adiba mengangkat wajahnya.
"Hal yang dibenci Alloh."
"Cerai?"
"Aku nggak akan pernah nglakuin itu, Adiba."
Adiba tersenyum getir. "Tapi, aku udah mencelakai Faraz."
"Siapa yang bilang begitu."
"Mbak Novi."
Satria terdiam, "Aku akan menegurnya nanti. Ada batasan yang tak bisa ia lampaui."
Satria menggenggam tangan Adiba. "Jangan katakan itu lagi."
"Mas Satria nggak marah sama Adiba?"
Satria menggeleng, menarik tangan Adiba dan mengecup punggung tangannya.
"Mas minta maaf, sudah mengabaikan kamu tadi. Mas terlalu mencemaskan Faraz sampai lupa ada hati yang harus mas jaga."
Adiba tersenyum, kali ini lebih tulus dan tenang. Dan ketenangan itu menyalur pada Satria. Rasa lega yang tiba-tiba memenuhi rongga dadanya.
"Boleh mas cium bibir kamu?"
Adiba terkesiap, dadanya malah berdebar tak karuan. "Iisshh, mas Satria, kalau mau cium ya, cium apa kenapa mesti pake nanya dulu sih, kan jadi deg-degan." Batin Adiba bergemuruh saking gugupnya, mengangguk pelan.
Satria mengulas senyum, menyentuh wajah Adiba dan semakin mendekat.
"Abi!"
Suara panggilan lirih Faraz terdengar dari luar. Satria menjauh dan tersenyum lucu, ciuman pertama mereka gagal.
"Iya," seru Satria beranjak, berjalan mendekat ke pintu dan membukanya lebar.