"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 | Taman Belakang Sekolah
“Ayo ke taman!” ajaknya lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar.
Tanpa sadar, kakiku mulai melangkah mengikuti langkahnya. Aku tidak tahu mengapa aku melakukannya, tapi ada dorongan yang membuatku mengikuti ke mana pun dia pergi. Mungkin karena di tengah kebingunganku, aku merasa sedikit lebih tenang saat berada di dekatnya. Entah kenapa, aku merasa Ryan tidak akan pernah menilai aku, bahkan ketika aku merasa tidak yakin tentang diriku sendiri.
Taman belakang sekolah itu lebih sepi daripada kantin yang penuh dengan siswa. Beberapa pohon besar yang rimbun meneduhkan area itu, memberikan suasana yang lebih damai. Aku menarik napas panjang, merasa lebih nyaman dengan udara segar yang mengelilingi kami. Aku duduk di salah satu bangku taman, dan Ryan duduk di sampingku, agak lebih dekat dari yang kuinginkan.
Aku membuka bekalku dan mulai memakannya dengan pelan, sementara mataku terus menatap daun-daun yang berguguran di sekitar taman. Angin yang sepoi-sepoi menggerakkan ranting pohon, dan rasanya ada kedamaian di sana, jauh dari keramaian yang biasanya mengelilingiku di kantin. Setiap daun yang jatuh seakan memberikan rasa tenang yang sangat aku butuhkan saat itu.
Namun, ketenanganku itu terganggu oleh suara Ryan yang tiba-tiba terdengar di sampingku.
“Aura, kamu kenapa?” tanyanya, suaranya lembut namun penuh perhatian, seolah-olah ia tahu ada yang mengganjal dalam diriku.
Aku menoleh sekilas, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang mulai tumbuh di dada.
“Apa maksudmu?” jawabku, meskipun aku tahu bahwa ia sedang mencoba menggali lebih dalam.
Ryan menatapku dengan pandangan yang tajam, seolah bisa membaca setiap ekspresi wajahku. Matanya tidak lepas dariku, membuatku merasa sedikit terintimidasi.
“Kenapa kamu selalu menghindar dari aku? Ada yang salah, kah?” tanyanya lagi.
Aku bisa merasakan kekhawatirannya meskipun ia tidak menunjukkan perasaan itu dengan jelas. Aku terdiam sejenak, mencerna setiap kata-katanya. Apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Ryan? Kenapa aku merasa canggung ketika ia terlalu dekat? Kenapa aku menghindar meskipun sebenarnya aku tidak ingin melakukannya? Sepertinya, selama ini aku berusaha menutupi perasaan yang tak bisa aku jelaskan.
“Aku … bukan menghindar,” jawabku akhirnya, dengan suara yang pelan, hampir seperti bisikan.
Aku menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan matanya yang tajam. “Aku hanya tidak terbiasa dekat dengan seorang cowok.”
Kata-kataku terdengar sangat sederhana, tetapi seolah mewakili perasaan yang selama ini terpendam. Aku selalu menjaga jarak dengan orang lain, terutama cowok, karena aku takut akan hal-hal yang tidak bisa aku kontrol. Takut kalau aku akan merasa terikat atau terbebani. Dan yang lebih menakutkan, takut kalau perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Ryan terdiam sejenak, seolah mencerna jawabanku. Wajahnya tampak berpikir, namun tetap dengan senyuman tipis yang selalu ada di bibirnya. Ada sesuatu yang membuat senyuman itu lebih dari sekadar basa-basi; senyuman yang tidak pernah gagal membuat jantungku berdetak lebih kencang, meski aku terus berusaha menyangkalnya.
“Aku mengerti,” ujarnya pelan, namun ada ketulusan dalam nada suaranya yang membuatku merasa sedikit lebih tenang. Mata cokelatnya menatapku lekat, seperti berusaha memahami setiap rahasia yang selama ini kusimpan rapi. “Aku ingin dekat denganmu …”
“Kenapa?” tanyaku, lebih keras dari yang seharusnya. Suaraku bergetar, dipenuhi kekhawatiran dan frustrasi yang tak bisa kutahan. “Kenapa kamu ingin dekat denganku? Seharusnya kamu membiarkan aku hidup sendiri.”
Ryan menghela napas, angin meniupkan helaian rambut hitamnya yang berantakan. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti, meninggalkan hanya suara dedaunan yang berguguran di antara kami. Matahari mulai meredup, mengubah langit menjadi semburat jingga dan ungu. Cahaya itu memantul di wajah Ryan, menambah kehangatan yang anehnya menyakitkan.
“Aura … Aku …”
Aku memalingkan wajahku, memandangi dedaunan kering yang berguguran. Ada keindahan dalam cara dedaunan itu melayang di udara sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Aku selalu menyukai momen itu, momen singkat ketika sesuatu berada di antara bertahan dan menyerah. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungku yang memukul dada dengan keras.
“Hah … sepertinya aku harus memperingatkanmu sesuatu.”
Ryan tampak semakin serius. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan bahwa ia benar-benar mendengarkan. “Apa itu, Aura?”
Aku membuka mulutku, berusaha merangkai kata-kata yang tepat.
“Aku … tidak bisa-“
“Ryan! Hoi!” Suara itu datang dari jauh, sebuah suara keras memotong sebelum aku bisa mengucapkan apa pun.
Aku dan Ryan sama-sama menoleh ke arah suara itu, terlihat Edo berlari dengan ekspresi penuh semangat. Keringat menetes di dahinya meski sore itu tidak terlalu panas. Ia memandang kami dengan senyum lebar, seolah tidak menyadari ketegangan yang baru saja terjadi.
“Edo? Ngapain kamu ke sini?” Ryan tampak terkejut, alisnya terangkat saat melihat sahabatnya itu.
Edo menghampiri kami dengan langkah-langkah panjang, napasnya terengah-engah namun wajahnya penuh kegembiraan. “Di aula sekolah, ada pameran ekstrakurikuler. Ini waktunya kita buat daftar!” katanya sambil meletakkan tangan di lututnya, berusaha mengatur napas.
Ryan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “Beneran?” Ada kilauan di matanya yang jarang kulihat. Basket memang selalu menjadi gairahnya, sesuatu yang menghidupkan sisi lain dari dirinya.
“Iya, ayo! Kita harus daftar ekstra basket sebelum kuotanya kehabisan,” jawab Edo.
Aku tetap diam di tempatku, menundukkan wajah untuk menghindari tatapan mereka. Rasanya aneh berada di sini, di antara mereka berdua yang punya impian dan antusiasme begitu besar. Sementara aku? Aku hanya ingin tetap tak terlihat, tidak menjadi pusat perhatian, dan hidup dengan aman di balik dinding yang kubangun.
Ryan melirikku sejenak, senyum lembut yang ia tunjukkan tadi mulai memudar. “Aura? Kamu mau ikut bersama kami?” tawarnya, suaranya sedikit ragu.
Aku menelan ludah, merasakan kegetiran menyebar di lidahku. “Nggak, aku di sini aja,” jawabku, mencoba bersikap setenang mungkin meski hatiku terasa seperti berdesir tak nyaman.
Ryan menatapku untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Ya udah, kalau kamu yakin.”
Edo, yang sedari tadi tidak bisa diam, langsung menarik lengan Ryan dan membawanya pergi. “Ayo, bro, cepat! Kita nggak punya banyak waktu.”
Aku menghela napas panjang dan melihat mereka menghilang di kejauhan, langkah mereka semakin cepat, berbaur dengan keramaian suara di halaman sekolah. Kehangatan yang tadi ada mulai tergantikan oleh dinginnya angin sore, seolah-olah matahari pun tahu kapan harus menghilang.
Bekal di pangkuanku mulai mendingin, dan aku sadar belum sempat menyentuhnya. Kuambil sepotong roti dan menggigitnya perlahan, merasakan rasa manis yang hambar di mulutku. Sepertinya, aku selalu menjadi penonton dalam hidupku sendiri.
...»»——⍟——««...