Aditya, seorang gamer top dalam Astaroth Online, mendadak terbangun sebagai Spectra—karakter prajurit bayangan yang ia mainkan selama ini. Terjebak dalam dunia game yang kini menjadi nyata, ia harus beradaptasi dengan kekuatan dan tantangan yang sebelumnya hanya ia kenal secara digital. Bersama pedang legendaris dan kemampuan magisnya, Aditya memulai petualangan berbahaya untuk mencari jawaban dan menemukan jalan pulang, sambil mengungkap misteri besar yang tersembunyi di balik dunia Astaroth Online.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LauraEll, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12 : Desa Tertinggal
Fajar menyingsing di kota Vinbelt. Lyra, Dale, dan Spectra bersiap menerima misi pertama mereka sebagai The Hunters. Vizcount Granbell telah memberikan peta dan rincian tentang sebuah wilayah penuh bahaya di utara, tempat makhluk kegelapan dikabarkan muncul. Namun, rencana mereka terganggu ketika seorang utusan kerajaan tiba di kediaman Vizcount.
Seorang ksatria berpakaian zirah emas dengan lambang Kerajaan Crimson mendekati mereka. “Pangeran Dale Crimson, Yang Mulia Raja Edgard memanggil Anda segera kembali ke ibu kota. Ini adalah perintah.”
Dale mendengus, wajahnya berubah masam. “Perintah? Aku sudah bukan anak kecil lagi. Aku punya urusan yang lebih penting di sini!”
Ksatria itu, dengan suara dingin, menjawab, “Yang Mulia tidak menerima penolakan. Beliau telah memerintahkan kereta untuk membawa Anda segera.”
“Kenapa dia memanggilku sekarang? Apa ini karena aku meninggalkan istana untuk menjadi petualang?” Dale menggertakkan giginya, lalu menatap Lyra dan Spectra dengan tatapan penuh frustrasi.
Vizcount Granbell mencoba menenangkan situasi. “Dale, jika Raja Edgard memanggilmu, pasti ada sesuatu yang sangat penting. Mungkin ini kesempatan untuk mendapatkan dukungannya dalam misi kalian.”
Namun, Dale hanya menggeleng keras. “Aku tahu ayahku. Ini pasti hanya cara untuk mengontrolku lagi!”
Spectra, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang tetapi tegas. “Kalau begitu, pergi dan temui dia. Masalahmu dengan ayahmu bukan alasan untuk mengabaikan perintah seorang raja. Aku akan mengambil misi ini sendirian.”
“Sendirian?!” Dale hampir berteriak. “Kau bercanda, kan? Misi ini berbahaya!”
Spectra menatap Dale dengan pandangan dingin. “Aku tidak bercanda. Aku bisa mengurusnya. Kau urus masalah keluargamu, dan Lyra…” Ia melirik Lyra. “Awasi Dark Forest. Jika ada pergerakan aneh, kita perlu tahu.”
Lyra tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi Spectra, hati-hati. Jangan terlalu memaksakan diri.”
Dale menatap Spectra dengan perasaan bercampur aduk. Ia ingin menolak, tetapi ia tahu bahwa tak ada gunanya melawan perintah Raja Edgard. Dengan berat hati, ia menaiki kereta yang disiapkan.
Setelah perpisahan itu, Spectra kembali ke kota Eldenris untuk mempersiapkan perjalanan ke wilayah utara. Saat ia memasuki Guild Petualang, suasana seperti biasa ramai dengan suara tawa dan perdebatan para petualang. Namun, perhatian Spectra tertuju pada seorang gadis kecil yang berdiri di sudut ruangan. Wajahnya panik, dan matanya yang besar berlinang air mata.
Gadis itu, mengenakan pakaian sederhana yang sudah kotor, mencoba berbicara kepada sekelompok petualang kelas B. “Tolong! Tolong bantu aku! Ibuku diculik!”
Salah satu petualang, pria bertubuh besar yang sebelumnya mengejek Dale, melipat tangan di dadanya sambil berkata dengan nada sinis, “Kami tidak punya waktu untuk cerita dongengmu, Nak. Jika ibumu benar-benar diculik, sewa saja penjaga desa.”
Air mata mengalir di pipi gadis itu. “Bukan manusia yang menculiknya… itu iblis! Aku melihat mereka dengan mata kepala sendiri!”
Kata “iblis” langsung membuat ruangan menjadi sunyi sejenak. Namun, tak lama kemudian, petualang lain mulai tertawa kecil.
Spectra, yang sejak awal mengamati, melangkah maju. “Kau bilang iblis menculik ibumu? Di mana ini terjadi?”
Gadis itu, meski ragu-ragu, mengangkat wajahnya dan menatap Spectra. “Di desa kecil kami… di barat laut Eldenris. Mereka datang di malam hari dan mengambilnya. Aku lari ke sini untuk mencari bantuan, tetapi tak ada yang percaya padaku.”
Spectra melirik ke arah para petualang yang tertawa tadi. “Kalian semua lebih suka menertawakan anak kecil daripada melakukan sesuatu yang berguna?”
Pria bertubuh besar itu menyeringai. “Jika kau ingin mati melawan iblis, itu urusanmu sendiri.”
Spectra mengabaikannya dan berlutut di depan gadis itu. “Aku akan membantumu. Tunjukkan jalan ke desamu.”
Gadis kecil itu tersenyum untuk pertama kalinya. “Terima kasih… terima kasih banyak, Kakak!”
Mereka berdua memulai perjalanan saat matahari mulai tenggelam. Spectra membawa pedangnya andalan nya Kubikiri, sementara gadis kecil itu memimpin jalan. Di sepanjang perjalanan, Spectra mencoba mengorek informasi lebih banyak.
“Siapa nama ibumu?” tanya Spectra.
“Namanya Elira,” jawab gadis itu dengan suara lirih. “Dia sangat baik, semua orang di desa mencintainya. Tapi beberapa minggu terakhir, kami melihat tanda-tanda aneh. Ternak mati tanpa sebab, dan udara di malam hari menjadi dingin.”
Spectra mengangguk. “Desamu terletak di dekat perbatasan hutan gelap, kan?”
Gadis itu mengangguk. “Ya. Orang-orang di desa selalu takut masuk ke sana.”
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka tiba di desa yang tampak sepi. Rumah-rumahnya kecil dan tua, dengan beberapa di antaranya sudah tidak terurus. Penduduk desa yang masih tersisa menatap Spectra dengan curiga, tetapi gadis kecil itu segera menjelaskan siapa dia.
“Ibu kepala desa mungkin tahu lebih banyak,” kata gadis itu sambil memimpin Spectra ke sebuah rumah di tengah desa.
Ibu kepala desa, seorang wanita tua dengan mata yang tajam, menyambut mereka. Ketika mendengar tujuan Spectra, wajahnya berubah serius.
“Kami telah kehilangan lebih dari sekadar Elira,” katanya. “Dalam beberapa minggu terakhir, empat orang telah hilang. Kami tahu ada sesuatu yang gelap di luar sana, tetapi kami tidak berdaya melawannya.”
Spectra menatapnya tajam. “Apakah ada jejak yang ditinggalkan?”
Wanita itu mengangguk dan memimpin mereka ke tepi desa. Di sana, tanahnya terlihat hangus, seolah-olah sesuatu yang panas melintasinya. Di antara abu itu, Spectra menemukan bekas cakar besar—lebih besar dari manusia atau hewan biasa.
“Iblis,” gumam Spectra. “Mereka pasti membawa orang-orang yang hilang ke sarang mereka. Aku akan mencarinya.”
Spectra mengikuti jejak itu ke dalam hutan gelap di dekat desa. Gadis kecil itu ingin ikut, tetapi Spectra menyuruhnya tinggal di desa. “Aku akan membawa ibumu kembali,” katanya singkat sebelum menghilang di antara pepohonan.
Hutan itu sunyi, terlalu sunyi. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa aroma busuk yang menyengat. Spectra menggenggam pedangnya erat, setiap langkahnya penuh kewaspadaan.
Setelah berjalan beberapa waktu, ia menemukan sebuah gua yang mulutnya dipenuhi simbol-simbol aneh yang berpendar dengan cahaya merah. Ia tahu ini bukan gua biasa. Energi gelap terasa menyengat di udara.
Di dalam, ia menemukan beberapa sel kecil yang diisi oleh penduduk desa yang hilang. Namun, belum sempat ia membebaskan mereka, suara langkah berat terdengar mendekat. Seekor iblis besar, berbentuk menyerupai serigala dengan tanduk bercabang, muncul dari bayangan.
“Iblis penjaga,” gumam Spectra. Ia mengangkat pedangnya, bersiap menghadapi pertempuran yang tidak bisa dihindari.